Menurut Drucker, era ekonomi yang berdasarkan manajemen telah berakhir, dan kita sekarang bergerak ke era ekonomi berdasarkan kewirausahaan. Salah satu alasan yang disebutkan adalah karena manajemen menekankan pola berpikir secara rasional agar organisasi tetap survive.
Dalam
sebuah diskusi di Jakarta belum lama ini, V. Winarno, Ph.D., ketua
Sekolah Tinggi Manajemen PPM, menyitir sebuah kesimpulan
mahaguru manajemen modern Peter Drucker. Menurut Drucker, era
ekonomi yang berdasarkan manajemen telah berakhir, dan kita sekarang bergerak ke
era ekonomi berdasarkan kewirausahaan. Salah satu alasan yang disebutkan adalah
karena manajemen menekankan pola berpikir secara rasional agar organisasi tetap
survive. Dengan demikian, manajemen, yang oleh Winarno diidentikkan dengan
birokrasi, ketertiban, aturan, dan prosedur, tak jarang membuat organisasi
lambat menjawab perubahan. Keterlambatan ini sering kali tidak memuaskan
pelanggan dan pada akhirnya akan merugikan organisasi. Dalam konteks ini,
ekonomi yang didasarkan kewirausahaan dirasakan lebih baik, karena setiap orang
diberi kesempatan untuk melakukan yang terbaik dalam waktu cepat.
Tema
diskusi kala itu adalah 'From Entrepreneur to Intrapreneur: How to
Institutionalize Creativity, Innovations, and Intrapreneurship in Your Company'.
Dalam tema tersebut terkesan ada harapan untuk mencari sejumlah cara agar entrepreneurship
spirit dari orang perseorangan (biasanya pendiri organisasi bisnis) dapat
ditularkan secara sistemik ke dalam sebuah sistem organisasi dan membentuk entrepreneurial
organization. Untuk itu diperlukan sejumlah intrapreneur alias intra
corporate entrepreneur (entrepreneur dalam organisasi). Dan mereka yang
diharapkan memainkan peranan sebagai intrapreneur ini adalah-siapa lagi
kalau bukan-para manajer, terutama di lapisan tengah.
Dalam
diskusi tersebut, ikut hadir Marius Widyarto Wiwied, CEO PT
Caladi Lima Sembilan, produsen kaus C-59 yang sudah memasuki pasar
mancanegara dengan merek C-Forty Nine. Ia berusaha membedakan antara manajer, entrepreneur,
dan intrapreneur. Dari aspek kebebasan bertindak, manajer boleh dikatakan
paling tidak bebas. Entrepreneur paling bebas, dan intrapreneur agak
bebas. Ini tampak dalam hal pengambilan keputusan. Manajer harus bersetuju
dengan penguasa (atasannya), menunda keputusan sampai merasa apa yang diinginkan
atasannya tercapai. Entrepreneur mengikuti pandangan pribadi, mengambil
keputusan dan berorientasi pada tindakan. Intrapreneur mahir mengajak
orang lain menyetujui pandangannya, lebih sabar dan mau lebih berkompromi
daripada seorang entrepreneur, sebab bagaimanapun intrapreneur
tetaplah seorang pelaksana.
Laporan
hasil diskusi yang dipublikasikan menunjukkan adanya pergeseran harapan terhadap
peran manajer dalam organisasi, baik organisasi bisnis maupun organisasi
pemerintahan (terutama BUMN dan BHMN). Mereka yang menduduki posisi manajerial
tidak lagi diharapkan sekadar menjalankan fungsi-fungsi manajemen, karena itu
saja tidak cukup untuk menopang pertumbuhan organisasi di tengah arus perubahan
yang makin cepat. Mereka juga diharapkan memainkan peranan sebagai entrepreneur
dalam skala dan intensitas tertentu.
Ada
sejumlah pertanyaan yang masih perlu dicari jawabannya terhadap pergeseran
harapan atas peran para manajer itu. Pertama, apakah hal itu mengukuhkan
sinyalemen sementara pihak mengenai matinya ilmu manajemen, atau sekadar
menunjukkan bahwa manajemen tetap diperlukan, tetapi tidak cukup (necessary
but insufficient)? Kedua, bagaimana dengan peran manajer sebagai pemimpin
yang membuat lahirnya istilah manager-leader (antara lain digunakan
oleh Andrew Tani dan kawan-kawan) atau leader-manager? Ketiga,
jika manajer bisa dibedakan dengan entrepreneur dan intrapreneur,
maka apa yang membedakannya dengan seorang leader? Keempat, apakah kita memiliki
sejumlah kasus untuk membuktikan bahwa kehadiran intrapreneur akan membuat
organisasi berkembang ke arah innovative and creative organization?
Kelima, jika kita ingin membangun sebuah entrepreneurial organization,
apa saja prakondisi dan kondisi yang diperlukan untuk itu?
Meski
pernah memikirkan kemungkinan matinya ilmu manajemen, belakangan ini saya
menyadari bahwa manajemen (dalam arti birokrasi, aturan, dan prosedur) tetap
akan diperlukan. Manajemen itu ibarat tubuh manusia yang melaksanakan berbagai
aktivitas sesuai dengan arahan akal sehat dan hati nuraninya. Tubuh penting,
tetapi bukan yang terpenting. Kegagalan paradigma manajemen terletak pada
dominasinya terhadap hal-hal yang tidak bisa dimanajemeni, yakni spirit manusia.
Mungkin itu sebabnya Gede Prama mengumandangkan konsep
manajemen sebagai spirit. Manajemen an sich tidak lagi bisa diandalkan
sepenuhnya.
Terobosan
pertama yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kepemimpinan, yang
mulai marak sejak akhir dekade 80-an. Jika manajemen mengurusi benda-benda (things)
dan kepemimpinan bertalian dengan orang (people), maka dalam
pengelolaan sebuah organisasi yang beranggotakan manusia dan memiliki aset-aset
nonmanusia, manakah yang harus didahulukan atau diprioritaskan? Jawaban terhadap
pertanyaan ini akan menjawab pertanyaan tentang istilah mana yang lebih tepat:
manager-leader atau leader-manager.
Terobosan
kedua yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kewirausahaan, yang
boleh dikatakan menyambut milenium ketiga, abad ke-21. Jika paradigma
kepemimpinan berusaha menggugah spirit manusia dalam organisasi, maka paradigma
kewirausahaan menantang keberanian bertindak untuk menyatakan spirit tersebut
dalam bentuk konkret yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders). Diperlukan setumpuk keberanian untuk
melakukan halhal baru (kreatif) atau untuk melakukan sesuatu dengan
cara-cara yang berbeda (inovatif).
Tidak
terlalu jelas bagi saya, atribut macam apa yang membedakan seorang leader dengan
seorang entrepreneur. Keduanya pastilah memerlukan keberanian bertindak yang
digerakkan oleh visi tertentu. Keduanya pastilah memiliki kecenderungan tidak
puas dengan apa yang telah ada (status quo), sehingga berupaya
melakukan perubahan dan pembaruan. Namun, jika fokus pengembangan organisasi
diarahkan melalui pengembangan manusia dalam organisasi, mungkin itu lebih dekat
dengan soal leadership. Adapun fokus pengembangan organisasi melalui
pengembangan produk dan/atau jasa yang kreatif (baru) dan inovatif (berbeda),
mungkin hal itu lebih dekat dengan entrepreneurship. Dapatkah pengembangan
manusia dan pengembangan produk/jasa dalam organisasi dipisahkan secara tegas?
Saya tidak tahu. Akan tetapi, saya kira isu-isu organisasi akan bergerak dari leadership-management
ke entrepreneurial leadership.
Jika
benar bahwa kepemimpinan organisasi kini dan di masa mendatang memerlukan pola
kepemimpinan yang bercorak kewirausahaan (entrepreneurial leadership),
maka bagaimanakah kita membedakannya dengan kepemimpinan yang bercorak
manajemen?
Pada
titik ini, saya kira penegasan Raymond W.Y. Kao, profesor di
Nanyang Business School, Nanyang Technology University, Singapura, menjadi
penting untuk disimak. Menurut Kao, kita harus meninggalkan paradigma bahwa
sebuah korporasi adalah mesin produksi uang untuk kepentingan segelintir orang
saja (yakni investor yang sibuk mempersoalkan ROI-nya). Dan sebagai gantinya,
kita harus menggunakan paradigma bahwa sebuah korporasi adalah sebuah komunitas
entrepreneur yang diciptakan untuk menghasilkan kesejahteraan bagi individu dan
memberi nilai tambah kepada masyarakat.
Dengan
kata lain, peningkatan kesejahteraan individu tertentu (para investor yang
segelintir itu) hanya dapat diterima sepanjang usaha mereka memberikan nilai
tambah bagi masyarakat di sekitarnya. Jika peningkatan kesejahteraan
individu diukur dari return on investment (ROI), maka nilai tambah bagi
masyarakat diukur dari return on labour (ROL, share of fruit of
labour), return on resources (ROR), dan return on environment (ROE).
Jadi, dengan pendekatan entrepreneurial leadership, sebuah organisasi,
terutama organisasi bisnis, tidak boleh hanya disibukkan dengan soal-soal
seberapa cepat dan seberapa besar para shareholder memperoleh ROI-nya,
tetapi juga soal-soal strategis lainnya seperti ROL, ROR, dan ROE dari kegiatan
usahanya.
Dalam
sistem politik dan ekonomi yang masih didominasi oleh paradigma manajemen,
kehadiran entrepreneurial leader agaknya menjadi kerinduan banyak pihak
di negeri ini. Ia bisa diharapkan untuk mengatasi kesenjangan yang amat besar
antara kelompok kaya dan kelompok miskin, sebab ia selalu concern akan perluasan
kesempatan kerja dan kelestarian lingkungan hidup di mana usahanya berlangsung.
Dan mengingat studi Arie De Geus dalam The Living Company (1997),
kita dapat mengatakan bahwa organisasi yang dikendalikan oleh entrepreneurial
leader akan menjadi organisasi bisnis yang mampu bertahan dalam jangka
panjang (ratusan tahun), karena kepedulian mereka terhadap masalah-masalah
sosio-ekonomi dan lingkungan hidup di sekitarnya. Demikiankah?
Sumber : wartaekonomi.com
Editor : Vis - BP Kapet Mbay
Hak Cipta © 1999-2003 Badan Pengelola Kapet Mbay - NT