Info Pariwisata > Mengenal Tradisi Megalitik di Flores

Pulau Flores yang terdiri dari berbagai suku bangsa, mempunyai kekayaan sejarah dan budaya yang tinggi. Daerah ini menjadi obyek penelitian yang menarik bagi para etnolog dan arkeolog. Pulau Flores dan pulau-pulau kecil disekitarnya mulai dari ujung barat sampai ujung timur mengandung peninggala-peninggalan baik yang berujud budaya materil maupun nilai-nilai tradisi yang berakar sejak zaman dulu.   

Patung Wulu Dewi Hujan

Salah satu tradisi yang masih berakar kuat dan menonjol dalam sistem perilaku budaya sehari-hari adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi arwah leluhur. Dalam buku, "Aneka Ragam Khasanah Budaya IV" yang dikeluarkan Dirjen Dikti tahun 2000 ditulis bahwa tradisi pendirian bangunan megalitik sebagai ujud penghormatan (kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar 2500 - 3000 tahun lalu dan sebagian diantaranya masih berlangsung sampai sekarang.  

Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan.   

Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen-monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya. Tampak juga pada upacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dan tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan sebagainya.   

Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi serta struktur bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan, pengolahan logam dan sebagainya, serta pembuatan benda-benda gerabah, tenun dan senjata.  

Salah satu contoh tradisi megalitik yaitu yang masih berkembang di Kabupaten Ngada, khususnya di wilayah perkampungan yang belum tersentuh suasana kehidupan kota yang modern.

Pola perkampungan orang Ngada berkelompok dalam keluarga besar dalam rumah-rumah panggung berukuran besar, mengelilingi lapangan luas berbentuk persegi panjang (kisanata). Lapangan tersebut sekaligus berfungsi sebagai areal upacara, permusyawaratan pemuka adat, pengadilan dan sebagainya. Salah satu sisi lebar dari lapangan itu, biasanya didirikan nga'dhu dan bhaha. Nga'dhu adalah simbolisasi / personifikasi laki-laki yang biasanya berujud tiang berukir dan diduga kuat bahwa Nga'dhu merupakan transformasi menhir yang biasanya dibuat dari batu.

Sementara itu, bhaga merupakan simbolisasi/personifikasi perempuan yang diujudkan dalam monumen berupa bangunan miniatur rumah. Secara garis besar rumah adat dibagi menjadi dua bagian yakni one (tempat tidur wanita dan memasak) dan teda (tempat menerima tamu dan ruang tidur laki-laki). Pada kedua sisi ambang pintu dipasang dua buah tonggak lepas dan berukir (ata tangi), sementara pada bagian bawahnyaterdapat bilah kayu berukir (kava pere), sehingga untuk dapt memasuki rumah kaki harus diangkat lebih tinggi. Kava pere, ata tangi dan dinging keliling biasanya diukir dengan ragam hias yang juga diukirkan dengan nga'dhu dan bhaha, yang umumnya berupa saluran, lingkaran memusat, spiral, tumpal dan beberapa jenis binatang, seperti ayam (manu), kuda (jara), ular (sawa) atau kerbau (kaba). Binatang-binatang tersebut berkait erat dengan kepercayaan, kosmologi, kejadian manusia dan sebagainya.  

Di Kabupaten Manggarai, sisa-sisa tradisi megalitik ataupun monumen megalit yang tidak berfungsi lagi, juga dijumpai hampir di setiap desa. Salah satu diantaranya adalah monumen megalit yang berbentuk susunan batu temu-gelang (circle) yang berfungsi sebagai kubur para tetua, pemuka adat dan tempat melaksanakan berbagai upacara. Menurut tradisi setempat, monumen yang terletak dua kilometer di sebelah Kota Ruteng, disebut compang. Rumah-rumah di atas tiang, didirikan di sekeliling monumen tersebut.      

Di desa Warloka, desa paling barat Manggarai, ditemukan pula sejumlah besar monumen Megalit, baik yang masih in-situ (asli) maupun yang sudah terganggu (disturbed). Pada umumnya yang berbentuk menhir dan dolmen yang berasosiasi dengan benda gerabah atau keramik (utuh dan pecah), benda-benda gerabah (gelang, cincin, kelad lengan, bandul, cermin, bandul kalung dan sebagainya). Pada umumnya tingkat kesukaran situs-situs upacara/pemujaan di Warloka ini sangat tinggi.     

Peninggalan dan sisa-sisa tradisional megalitik di Flores juga ditemukan di Ende-Lio, Sikka dan Flores Timur. Flores yang memiliki beberapa gunung api, diantaranya masig aktif, menumbuhkan masyarakat dengan kultur yang dinamis seperti terbukti pada lengkapnya komponen budaya yang mewakili hampir seluruh sejarah kemanusiaan.

Di Pulau Flores siapapun dapat melalkukan tamasa budaya dengan wahana terowongan waktu (time tunel) mulai dari masa berburu dengan mengumpulkan makanan tingkat sederhana (palelitik), tingkat lanjut (mesolitik), masa bercocok tanam (neolitik), tingkat kemahiran teknik (paleometalik), masa sejarah sampai masa kini pada ujung yang lain. Keseluruhannya dipertautkan oleh kesinambungan sejarah yang tak pernah putus.

 

Sumber : HU Pos Kupang (Minggu, 17 Mei 2003)

Editor : Vis / BP Kapet Mbay.

BerandaKe awal


Hak Cipta © 1999-2003 Badan Pengelola Kapet Mbay - NTT