ADIL, Kamis, 16/5/2002
'Good Bye' Bulan Madu
Reporter: Dani
Adil - Jakarta, Kemesraan rasanya kian cepat berlalu. Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), saling
menyokong satu sama lain. PPP yang semula menolak kepemimpinan perempuan,
mempersilakan Megawati Soekarnoputri tampil sebagai presiden. PDI-P kemudian
mendorong naiknya Hamzah Haz menjadi wakil presiden. Itu sebelas bulan silam.
Kini kongsi dua partai itu makin pecah setelah sebelumnya retak di sana-sini.
Semuanya karena penangkapan Panglima Laskar Jihad, Ustad Ja'far Umar Thalib.
Kepolisian RI menangkap Ja'far di Bandara Juanda, Surabaya, Jawa Timur. Kabinet
menyetujui. Tentu, Presiden Megawati merestuinya. Bahkan, ia yang menitahkan.
''Sudah ada konsultasi polisi dengan kabinet sebelum dilakukan penangkapan,'' terang
Menteri Pertahanan, Matori Abdul Djalil.
Satu sumber di Mabes Polri mengungkapkan penangkapan Ja'far memang sudah
direncanakan. Tapi selama ini polisi terus menanti lampu hijau dari Mega sebelum
akhirnya bergerak menangkap Ja'far di Bandara Juanda, pada Sabtu dua pekan lalu.
Saat itu Ja'far baru tiba dari lawatan di Ambon, Maluku.
Ja'far ditangkap lantaran diduga menghasut massa melalui ceramahnya pada dua hari
menjelang peristiwa Soya, Ambon, yang menewaskan 12 orang, Ahad (28/4). Tak
hanya itu. Ja'far juga dituduh menghina Presiden. Ia disodok UU Subversif. Sejarah
mencatat. Mega pertama kali menangkap tokoh Islam. Bagi Ja'far, penahanannya
saat ini merupakan yang kedua kali dialaminya.
Penangkapan Ja'far sebagai kebijakan kabinet dipertanyakan. Sebab, Wakil Presiden
Hamzah Haz, dengan tegas, melangkahkan kakinya ke tahanan Mabes Polri
menjenguk Ja'far, Selasa pekan lalu. Keruan saja, kunjungan Hamzah jadi
kontroversial. Kendati Hamzah mengaku datang sebagai Ketua Umum PPP, toh motif
politik di balik kunjungannya tetap saja kuat mengental.
Pertama, Hamzah diduga melakukan intervensi politik. Para politisi menilai kunjungan
Hamzah bakal mempersulit proses hukum terhadap Ja'far. Kunjungan Hamzah,
menurut Dr. Harkristuti Harkrisnowo, memberikan dampak psikologis. ''Itu
menimbulkan rasa ewuh pakewuh di pihak penyidik. Wong, Wapres saja
menengoknya,'' jelas pengamat hukum dari UI itu.
Kedua, Hamzah berupaya meraih simpati politik di kalangan pengikut Ja'far untuk
kepentingan Pemilu 2004. Ia tidak ingin kehilangan dukungan karena sebagian besar
pendukung PPP berasal dari kelompok Islam militan. Contohnya, Laskar Jihad. Lagi
pula, PPP terpecah menyusul berdirinya PPP Reformasi pimpinan Kiai Zainuddin MZ.
Dan, Zainuddin lebih dulu menemui Ja'far. ''Di saat partainya sedang bermuram durja,
Hamzah berusaha keras menjaga soliditas konstituennya,'' kata Wakil Ketua DPP
PKB, A.S. Hikam.
Ketiga, Hamzah tidak konsisten. Sebagai Ketua Umum PPP, semestinya ia
menjenguk Ja'far saat ditahan pertama kali. Seharusnya pula menjenguk Ketua DPR,
Akbar Tandjung, yang ditahan di Kejaksaan Agung namun mengapa ia secara
mendadak membatalkan. Tapi Hamzah punya alasan tidak menjenguk Ketua Umum
Partai Golkar itu. Akbar, menurut Hamzah, beda dengan Ja'far.
Keempat, kunjungan Hamzah menunjukkan pemerintahan kian tak solid. Sebagai
wapres, mestinya Hamzah mengamankan keputusan kabinet menyangkut
penangkapan Ja'far Thalib. ''Wapres kan satu organisasi dengan Presiden. Kalau ia
menunjukkan simpati (ke Ja'far) menimbulkan dugaan bahwa mereka (Presiden dan
Wapres) tidak sepakat,'' tutur Harkristuti. Anggota Fraksi PDI-P DPR RI, Permadi,
menilai pemerintah tidak kompak. Kebijakan saling tabrakan, baik antara menteri atau
menteri dengan presiden maupun wapres.
Soal penangkapan Ja'far, Mega dan Hamzah memang tidak bersepakat. Ketika berita
adanya perintah untuk menangkap Ja'far kian menggelinding, Hamzah
mempertanyakan alasannya. Ia meminta tidak menangkap Ja'far tanpa bukti. Karena,
Hamzah punya penilaian sendiri tentang Ja'far. Selain Ja'far, ia pun pernah
mengundang Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq dan Amir Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI) yang juga pengasuh Ponpes Al-Mukmin, Sukoharjo,
Abubakar Ba'asyir, dalam pertemuan pada akhir Maret.
Mereka dibidik Amerika. Mereka dianggap sebagai tokoh Islam garis keras, terkait
jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden, serta teroris. Dalam pertemuan itu,
''Saya tidak memeroleh kesan itu (garis keras),'' terang Hamzah. Salah seorang Tim
Pengacara Muslim, Ahmad Midhan, mengungkapkan, Ja'far, Ba'asyir dan Rizieq
diundang pejabat tinggi negara dalam sebuah pertemuan di Jakarta. Dalam pertemuan
disampaikan mereka dinilai sebagai teroris dan harus ditahan. Penahanan ini terkait
dengan kondisi ekonomi.
Rizieq menyatakan Amerika tidak mengizinkan Indonesia menunda pembayaran
utang Rp 600 triliun sebelum pemerintah menangkap dirinya, Ba'asyir dan Ja'far. Satu
kepala, tambah Rizieq, dihargai Rp 200 triliun. Operasi itu tampaknya berjalan.
Sebelum Ja'far ditahan, Ba'asyir lebih dulu digiring masuk ke penjara lewat kasus
subversif tahun 1985. Tapi, belum berhasil. Berikutnya, Rizieq. Ja'far sudah ditanya
tentang hubungannya dengan FPI.
Pertemuan tersebut menggambarkan sikap Hamzah menolak keinginan Amerika.
Namun, Mega sebaliknya. ''Pemerintah Indonesia dituding lembek menangani
terorisme. Nah, untuk menunjukkan keseriusannya, Mega memerintahkan supaya
Ja'far ditangkap,'' jelas Letjen TNI (Purn.) Z.A. Maulani, mantan Kepala Badan
Koordinator Intelijen Negara (BAKIN) pada era B.J. Habibie.
Padahal, setahu Hamzah tak ada perintah dari pemerintah untuk menangkap. ''Kalau
ada yang mengatakan itu perintah presiden, saya juga bertanya,'' katanya. Seorang
anggota Fraksi PPP DPR mengungkapkan Hamzah sama sekali tidak diajak
berbicara oleh Mega tentang rencana untuk menangkap Ja'far.
Keruan saja, Hamzah kesal pada Mega. Ia menolak hadir dalam sarapan pagi
bersama Mega di kediaman dinas presiden, Jl. Teuku Umar No. 27, Menteng, Jakarta
Pusat, Selasa (7/5). Hamzah malah menuju ke Mabes Polri, padahal hari itu tidak
ada agenda menjenguk Ja'far. ''Ia menunjukkan frustrasinya terhadap Ibu Mega
dengan cara menjenguk Ja'far,'' ungkapnya kepada ADIL.
Apalagi, tidak cuma sekali ini, Hamzah dibikin patah arang oleh Mega dan
orang-orang dekat Ketua Umum PDI-P itu. Hamzah yang ditugasi membereskan
ekonomi, tambah anggota Fraksi PPP DPR tadi, di-recokin oleh suami Mega, Taufiq
Kiemas. Orang-orang PPP menganggap PDI-P tidak ikhlas bahwa tim ekonomi
dipimpin Hamzah yang menyertakan kalangan intelektual Islam. Selain itu, kebijakan
ekonomi dan keamanan Mega juga tak memihak Muslim.
Kekecewaan Hamzah lainnya adalah Sekretaris Wapres (Seswapres). Ia ingin La Ode
Kamaluddin yang menduduki kursi itu. Nyatanya, Prijono Tjipto yang terpilih. Prijono
tampil berkat permainan Menteri Sekretaris Negara yang merangkap Menteri
Sekretaris Kabinet, Bambang Kesowo. Jalur La Ode masuk ke Seswapres dipotong
Kesowo di tengah jalan melalui aturan kepegawaian.
Hamzah kian kecewa saat Samudra Sukardi gagal jadi Direktur Utama Garuda
Indonesia. Ia ngotot mendukung Samudra karena dianggap profesional yang sukses
di Garuda dan punya pengalaman selangit. Dan, yang tak kalah penting, Samudra
adalah anggota PPP. Lagi pula, hampir pasti kursi Dirut Garuda akan diduduki
Samudra lantaran BUMN itu merupakan jatah bagi PPP.
Laksamana Sukardi, Menteri Negara Pembinaan BUMN, pun mendukung kakaknya
memimpin Garuda. Hamzah habis-habisan meyakinkan Mega yang ragu melantik
Samudra karena khawatir dihantam isu KKN. Mega akhirnya oke. Lalu, surat
keputusan pengangkatan sudah dibuat dan berada di laci Laksamana. Seusai uji
kelayakan, Mega dikritik orang-orang dekat karena dinilai membiarkan Laksamana
bermain sendiri. Jumat dua pekan lalu, Laksamana berkonsultasi pada Mega. Dalam
konsultasi itulah, Mega mengatakan Samudra mundur saja. ''Dalam kasus Samudra,
PPP dipecundangi oleh PDI-P,'' tandas A.S. Hikam.
Akibat dipecundangi PDI-P itu, para petinggi PPP belingsatan. Fraksi PPP DPR
bakal lebih kritis terhadap Mega. Ketua PPP, Faisal Basyir, berniat menggugat
sejumlah hal yang berbau KKN di PDI-P. Mega dan PDI-P bukannya tanpa cacat.
PPP minta keterangan pemerintah mengenai penunjukan Taufiq Kiemas sebagai
utusan khusus presiden sewaktu ke Cina, akhir tahun 2001.
Interpelasi soal sumbangan Mega pada TNI/Polri sebesar Rp 30 miliar yang dimotori
anggota Fraksi PPP DPR, Djamal Do'a, sudah ada di pimpinan DPR. PPP pun akan
memersoalkan penunjukan Guruh Soekarnoputra sebagai Ketua Pekan Raya Jakarta.
''Pokoknya, kita tak tinggal diam,'' gertak Faisal.
Yang tidak kalah kecewanya tentu Hamzah. Puncaknya, ia menjenguk Ja'far. Sumber
di PDI-P menyebutkan dalam rapat internal DPP PDI-P, di markasnya Jalan Lenteng
Agung, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Mega menyampaikan kekecewaannya
terhadap Hamzah. Bahkan ketika Hamzah menelepon Mega untuk menyatakan
kekecewaannya usai Samudra batal dilantik, Mega sempat marah.
Sebab, Hamzah dianggap tidak bisa menjaga jarak antara posisinya sebagai wapres
dan sebagai tokoh Islam. Para petinggi PDI-P tampaknya "terbakar" dengan
kunjungan Hamzah menjenguk Ja'far. Setelah rapat, Ketua DPP PDI-P Arifin
Panigoro, menyatakan partainya akan minta penjelasan pada Hamzah. Karena,
tambahnya, kunjungan Hamzah tersebut mengundang banyak pendapat.
Lagi pula, menurut Hikam, manuver Hamzah kian mengikis wibawa pemerintah Mega.
Akibatnya bisa ditebak. Kongsi PPP dan PDI-P pecah. Apalagi, dalam sejarah
perpolitikan di negeri ini, koalisi antara nasional dengan Islam tidak pernah harmonis.
Sebelum keadaan makin lebih buruk, Mega memanggil Hamzah untuk sebuah
pertemuan khusus empat mata, Kamis pekan lalu. Dalam pertemuan, Mega merayu
Hamzah agar setia berduet hingga tahun 2004. ''Bu Mega mengatakan, Pak Hamzah
kita harus bersama-sama sampai tahun 2004,'' ungkap Hamzah, yang mengaku
hubungannya dengan Mega tambah kian lengket.
Mega dan Hamzah sepertinya mendorong kasus hukum yang membelit Ja'far ke
penyelesaian politik. Lantaran itulah, Prof. Dr. Ichlasul Amal, meyakini kasus Ja'far
tidak akan berujung ke pengadilan. ''Ja'far akan dilepas,'' ujar mantan Rektor UGM,
Yogyakarta, ini. Bila sampai ke pengadilan, jelas Amal, kian ruwet. Polisi sulit
membuktikan Ja'far menghasut massa dan menghina presiden. Kunjungan Hamzah,
katanya, bukan berarti kabinet pecah. Sebab, kunjungan itu bagian proses
penyelesaian politik kasus Ja'far. Lihatlah. (kar)
Para Pemain Lokal
Anggota DPRD Ambon dan DPRD Maluku, ngungsi. Mereka memindah rapat ke
Jakarta selama dua hari, 5-6 Mei. Sebab, situasi Maluku tak kondusif. Itu yang
muncul di permukaan. Namun, tokoh Maluku di Jakarta menyebutkan alasan
sebenarnya mengapa anggota DPRD Ambon dan DPRD Maluku memindahkan rapat
di Ibukota. Menurutnya, mereka gentar bila rapat digelar di Maluku karena
dikejar-kejar oleh kelompok-kelompok yang tidak suka pada mereka.
Apapun, rapat memutuskan perlu dibentuk tim investigasi Maluku. Keputusan itu
diajukan pada Mega, Rabu (8/5). Mega setuju dibentuk tim investigasi nasional yang
independen. Namun, sewaktu usulan tersebut dibawa ke dalam rapat politik dan
keamanan (Polkam) belum dicapai kata sepakat. Ada yang menganggap
pembentukan tim investigasi menunggu Maluku benar-benar aman.
Maluku masih amuk. Terakhir rusuh di Saparua yang menewaskan tiga orang.
Menjelang selesainya masa dinas Penguasa Darurat Sipil (PDS) Maluku, dr.Saleh
Latuconsina, suhu politik memanas. Tidak ayal bila muncul anggapan memanasnya
kembali konflik di Maluku hingga berujung penangkapan Ja'far, terkait dengan
kepentingan politik lokal di sana. Siapa pengganti Saleh?
Kepentingan politik lokal yang melibatkan politisi Maluku terkait dengan kepentingan
politik di Jakarta. Partai-partai dan juga kalangan militer, berebut posisi PDS. Ini bisa
disimak dari ragam tanggapan soal penahanan Ja'far dan kunjungan Hamzah.
Setidaknya empat partai besar berebut kursi PDS. Disebut-sebut, PDI Perjuangan
(PDI-P), Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Golkar menjagokan Ety Sahubarua untuk mengganti posisi
Saleh. PAN mencalonkan Thamrin Ely.
Sedang, Mega dan PDI-P mengusung nama Mayjen TNI Nono Sampono, Komandan
Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres), dan Jhon Maelawo. Sementara,
PPP dan Hamzah cuma mengajukan seorang nama Mayjen TNI Amir Syarifuddin.
Bahkan, koalisi telah dibangun. Golkar dan PAN menyodorkan paket PDS dan Wakil
PDS. Paket itu adalah Ety sebagai PDS dan Thamrin Ely selaku Wakil PDS. Paket
PDI-P; Saleh menjadi PDS, dan Jhon Maelawo sebagai Wakil PDS.
Militer memersiapkan caretaker PDS. Kandidatnya ada empat. Selain Amir dan Nono,
ada juga Brigjen TNI Franky Kaihatu serta Mayjen TNI Sudi Silalahi. Kepentingan
tentara yakni memuluskan skenario darurat militer. Mega, menurut sumber di
kalangan tentara, menolak kandidat Hamzah karena lebih menginginkan Nono
Sampono yang tampil jadi PDS menggantikan Saleh.
Sumber ADIL menyebutkan para politisi lokal tersebut terkait penangkapan Ja'far.
Tiga di antaranya, terangnya, disebut-sebut menelepon Saleh agar menahan Ja'far.
Tentu, tudingan ini masih perlu dibuktikan kebenarannya. (kar/dani)
Di Balik Satu Setengah Jam
Kunjungan Hamzah ke sel tahanan Ja'far di Mabes Polri cuma satu setengah jam.
Tapi kontroversinya lebih lama. Wapres membantah adanya kesepakatan (deal)
antara dirinya dengan kepolisian di belakang pertemuan satu setengah jam itu. ''Tidak
ada deal-deal,'' tandas Wapres. Bantahan Hamzah dikuatkan Mabes Polri. Kepala
Bidang Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Pol. Prasetyo, menyatakan bahwa
tidak ada bargaining (tawar-menawar) atau deal-deal khusus Polri dengan Ja'far saat
pertemuan.
Namun, Eggy Sudjana, Ketua Persaudaraan Pekerja Muslim Seluruh Indonesia
(PPMI) yang menyertai kunjungan Hamzah, menyebutkan sebaliknya. Artinya, ada
kesepakatan antara Polri dengan Ja'far dalam pertemuan satu setengah jam tersebut.
Kesepakatan itu menyangkut penyelesaian konflik di Maluku. Antara lain, Laskar
Jihad menyerahkan senjata lantas keluar dari Maluku.
Ide ini, tambah Eggy, dilontarkan oleh Direktur Tindak Pidana Umum Mabes Polri,
Brigjen Pol. Aryanto Sutadi. Laskar Jihad diberikan tenggat waktu hingga Senin
(13/5), buat menyerahkan semua senjata dan menarik pasukan. ''Ja'far menyanggupi
permintaan itu,'' kata Eggy. Tentu saja ada syarat.
Ja'far mengatakan laskarnya siap saja ditarik dari Maluku, jika keamanan Muslim di
sana terjamin. Hamzah dan Kapolri, Jenderal Da'i Bachtiar, pun setuju. Syarat
lainnya, Ja'far dibebaskan. Tapi, kapan? Ini belum jelas. Cuma saja, Ja'far berencana
akan menyampaikan kesepakatan tersebut dalam Musyawarah Kerja Nasional
(Mukernas) Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur,
awal pekan ini. Saat itu, Ja'far bebas?
Bagi Da'i, membebaskan Ja'far bukan perkara mudah. Seorang perwira Mabes Polri
mengatakan Kapolri punya peluang kecil melepaskan Ja'far. Soalnya, Kapolri
mendapat desakan dari PDI Perjuangan untuk menahan Ja'far karena dianggap telah
menghina Mega. Di satu sisi, polisi kesulitan membuktikan Ja'far menghasut massa
dan menghina Mega. ''Kapolri bingung,'' tuturnya. Selain itu, Da'i pun dapat sodokan
dari sekelompok elite di kemiliteran. Gara-garanya, polisi dianggap terlalu berlebihan
menyatakan keterlibatan Korps Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD di dalam
kematian Theys H. Eluay.
Sumber lain di jajaran keamanan mengungkapkan Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD), Jenderal TNI Endriartono Sutarto, menyetujui "mengisolir" Ja'far agar tidak
kembali ke Maluku. Sebaliknya, sejumlah tokoh Forum Kedaulatan Maluku/Republik
Maluku Selatan (FKM/RMS), "di-Nusakambang-kan". Soal ini dibahas oleh KSAD,
Brigjen TNI Franky Kaihatu, Mayjen TNI Ade Picaulima, dan Letjen TNI (Purn.) Suadi
Marasabessy, sepeken menjelang penangkapan.
Kesepakatan lain yakni Hamzah meminta agar FKM/RMS ditindak tegas. ''FKM harus
dibekukan,'' kata Hamzah seperti ditirukan Eggy. Akhirnya, Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, mengeluarkan keputusan bahwa
FKM/RMS dibubarkan dan Laskar Jihad ditarik keluar dari Maluku. Akankah Ambon,
Maluku, kembali manise? Walahu a'lam. (kar/dani)
Copyright © 1998 - 1999 ADIL dan detikcom Digital Life.
|