DetikCom, Minggu, 14/4/2002
Bom Ambon & Tentara
Penulis: M. Najib Azca *
detikcom - Kabar damai yang berhembus dari Malino rupanya menghadapi ujian berat
di bumi Ambon. Pasca perjanjian Malino II, kota Ambon sudah didera oleh
sekurangnya dua kali ledakan bom. Ledakan pertama (4 bom) terjadi pada 13
Februari 2002, persis sehari setelah ditandatanganinya perjanjian damai Malino II.
Sementara itu ledakan lebih dahsyat, yang segera disusul dengan aksi pembakaran
Gedung Kantor Gubernur Maluku, terjadi pada Rabu pagi 3 April lalu. Rangkaian
ledakan kedua ini secara simbolik maupun sosial politik berbobot tinggi karena kantor
Gubernur merupakan lambang negara dan merupakan salah satu zona damai
terpenting di Ambon.
Siapa tak sepakat kapak peperangan diletakkan setelah lebih dari tiga tahun
bertempur? Tak sulit diduga, ada sejumlah elemen ‘garis keras’ dari masing-masing
pihak yang bertikai (Islam dan Kristen) yang belum siap memulai lembaran baru
perdamaian. Dendam telah telanjur berbiak. Kesumat telah telanjur berbenih. Namun
yang menarik, sejumlah pihak menduga sumber perkara tidak berada di sana
melainkan di sudut yang lain: tentara.
Tak lama setelah terjadinya ledakan kedua, sejumlah pengamat dan aktivis
perdamaian di Ambon menengarai keterlibatan militer dalam peristiwa tersebut.
Koordinator Baku Bae Ichsan Malik dalam keterangan kepada pers menyebut dugaan
keterlibatan militer itu berdasar dari sejumlah keterangan dari lapangan.
Sosiolog UI yang juga putera Maluku Dr. Tamrin Amal Tamagola juga mengeluarkan
sinyalemen serupa. Modus operandi yang lumayan canggih dan kecakapan tinggi
yang dimiliki pelaku merupakan -alasan utama yang menggiring dugaan ke kalangan
berbaju hijau itu.
Mungkinkah militer yang seharusnya bertugas sebagai penjaga dan pemelihara
keamanan justru bertindak sebagai penyulut konflik? Jika mungkin, mengapa itu
terjadi? Lalu bagian mana dari angkatan bersenjata yang berkemungkinan menjadi
pihak peletus dan peletup konflik? Lalu modus apa saja yang dilakukan oleh kalangan
militer dalam mengawetkan, bukannya memadamkan, konflik? Tulisan ini secara
ringkas mencoba menjawab sebagian -pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam upaya
mendedah ihwal peranan militer dalam konflik akut berdarah tersebut.
Tinjauan teoritik
Secara normatif, tentara merupakan institusi netral yang berfungsi sebagai penengah
dan pendamai dalam konflik yang terjadi di masyarakat, untuk selanjutnya
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam masyarakat demokratis
fungsi tersebut utamanya dilakukan oleh lembaga kepolisian. Angkatan bersenjata
hanya dilibatkan jika tingkat eskalasi konflik telah mencapai titik yang tinggi sehingga
polisi merasa tidak lagi mampu mengendalikan keadaan. Menurut UU yang terbaru
hal itu juga berlaku di Indonesia.
Namun yang ideal-normatif tak sering terwujud dalam kenyataan. Berbagai kajian
sosiologi militer ternyata menemukan buhwa bahwa tentara acapkali berperan
sebagai institusi partisan dalam konflik yang terjadi di masyarakat. Studi yang
dilakukan Cynthia Enloe (1981) misalnya, menemukan bahwa dalam banyak kasus
militer telah memainkan peran membelah warga negara baik mengikuti garis kelas
maupun etnik. Dalam sejumlah kasus, menurut Enloe, militer juga berperan sebagai
kekuatan destruktif dalam proses nation building lantaran teridentifikasi dengan
kelompok etnik tertentu yang mendominasi posisi-posisi kunci serta mengendalikan
pengambilan kebijakan.
Telaah Donald Horowitz (1985) juga menemukan bahwa dalam prakteknya militer
sering tidak melaksanakan fungsi mengintegrasikan masyarakat, seperti yang acap
diklaimnya, melainkan justru mengobarkan pertentangan etnik dalam masyarakat.
Penggunaan kekuatan militer memang mungkin membantu mengendalikan kerusuhan
etnik, namun jika mereka memihak kepada salah satu, maka keterlibatan mereka
justru bisa melipatgandakan kekerasan yang terjadi.
Dari tinjauan teoritis tersebut terlihat bahwa meskipun secara normatif militer
berfungsi meredam dan menghindarkan konflik dalam masyarakat, namun dalam
prakteknya bisa sebaliknya: militer justru berperan sebagai pemicu dan pengobar
konflik.
Tinjauan empirik
Sejumlah kajian memang telah menemukan indikasi keterlibatan militer dalam konflik
Ambon. Laporan Human Right Watch (HRW) tahun 1999 misalnya, menyebut dugaan
keterlibatan sejumlah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang loyal kepada
mantan Presiden Suharto dan keluarganya dalam memicu konflik di Ambon. Sebuah
buku yang ditulis dan diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) juga sampai
pada kesimpulan serupa, seperti terlihat pada judulnya Luka Maluku; Militer Terlibat
(2000).
Kajian lebih komprehensif juga dilakukan oleh George Junus Aditjondro (GJA) dalam
tulisannya yang berjudul Guns, Pamphlets and Handie-Talkie: How the military
exploited local ethno-religious tensions in Maluku to preserve their political and
economic privileges (2001). Dalam tulisan tersebut GJA bahkan menyebut beberapa
nama perwira tinggi dan menengah TNI yang menurut analisisnya terlibat dalam
konflik Ambon-Maluku. Tentu ada juga sejumlah analisis yang meragukan tesis peran
militer dalam konflik Ambon-Maluku, seperti yang dilakukan oleh Gerry Van Klinken
(2001).
Tulisan ini berpendirian bahwa konflik berkepanjangan di Ambon telah membuktikan
bahwa TNI tidak berhasil melakukan fungsi normatifnya sebagai kekuatan pencegah
konflik. Kegagalan ini bisa dijelaskan terutama oleh tiga faktor: pertama, keterbatasan
personel dan perlengkapan; kedua, demoralisasi di tubuh TNI; ketiga, fragmentasi di
tubuh tentara yang berakibat munculnya pemihakan kepada salah satu kelompok
yang bertikai.
Faktor pertama (khususnya personel) bisa dimaklumi terutama dalam konteks awal
konflik, namun sulit diterima ketika jumlah tentara (plus polisi) telah mencapai 14.000
ribu menjelang penerapan keadaan Darurat Sipil pada Juni 2000. Fenomena
demoralisasi di tubuh tentara terutama mengemuka dalam setting transisi politik,
ketika tentara terlempar di kursi “terdakwa” dan dipreteli sejumlah privilese dan
prerogatif politiknya. Selain itu, liberalisasi politik menempatkan TNI pada posisi
rentan untuk dianggap sebagai pelanggar HAM pada saat melakukan tindakan tidak
tepat di lapangan. Sedangkan ihwal fragmentasi, khususnya berdasar isu
keagamaan, yang menguat pada fase akhir era Suharto (Hefner, 2000), agaknya
berimbas ke dalam setting lokal Ambon.
Sementara itu sepanjang usia kemelut sejumlah unsur TNI telah terlibat dalam
pusaran konflik, baik sebagai penyulut, penyokong maupun aktor dalam konflik di
Ambon. Peran penyulut (provocateur) konflik misalnya terjadi pada fase awal konflik,
dengan melibatkan sejumlah preman. Pada sepanjang konflik, militer juga berperan
sebagai penyulut konflik dengan melakukan represi berlebihan dan berpihak kepada
salah satu kelompok.
Peran penyokong (supporter) konflik misalnya dilakukan dengan memberikan atau
memperdagangkan persenjataan kepada pihak-pihak yang berkonflik, juga
memberikan pelatihan kepada salah satu kelompok. Peran sebagai aktor konflik
dilakukan oleh sejumlah anggota TNI dengan terlibat langsung dalam konflik dengan
salah satu pihak, baik secara terbuka maupun tersamar (under cover), baik secara
individual maupun kolektif.
Pertanyaan berikutnya adalah: siapa di tubuh tentara yang telah melakukan
pemihakan dalam konflik di Ambon? Secara sederhana mereka bisa dipilah ke dalam
dua kelompok besar: pertama, unsur lokal yang terkait ke dalam konflik, baik karena
hubungan kekeluargaan, etnik maupun keagamaan; kedua, unsur non-lokal yang
terkait ke dalam konflik karena kepentingan politik tertentu, misalnya demi pelestarian
peran politik TNI maupun rezim Orde Baru.
Jika dibuat spektrum lebih luas maka muncul varian ketiga dan keempat: unsur lokal
yang terkait kepentingan politik berdimensi nasional dan unsur non-lokal yang terkait
konflik karena hubungan-hubungan etnik dan agama.
Penutup
Jadi benarkah tentara ikut bermain dalam peristiwa peledakan bom pasca perjanjian
damai Malino II? Tulisan ini tidak berpretensi menjawab pertanyaan itu—biarlah aparat
kepolisian dan proses hukum yang menjawab itu. Tulisan ini hanya berminat untuk
masuk selintas ke wilayah teoritis dan empiris ihwal peran tentara dalam konflik
komunal-religius di Ambon. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa: secara teoritis
tentara mungkin sekali untuk terlibat dalam konflik di Ambon. Sementara secara
empiris bisa dikatan bahwa: terdapat sejumlah kondisi yang mendorong tentara
berperan partisan dalam konflik tersebut serta terdapat sejumlah indikasi mengenai
peran partisan itu.
Pertanyaan besar yang masih menggantung adalah, apakah peran partisan tersebut
merupakan respon lokal yang ad hoc dan spontan ataukah buah dari sebuah desain
yang sistematis di tingkat nasional?
Canberra, 9 April 2002
* Penulis adalah dosen Sosiologi dan peneliti pada Pusat Studi Keamanan dan
Perdamaian (PSKP) UGM yang kini lagi ‘nyantrik’ di Australian National University
(ANU).
Copyright © 1998 - 1999 ADIL dan detikcom Digital Life.
|