CRISIS CENTRE DIOCESE OF AMBOINA
Jalan Pattimura 32 – Ambon 97124 – Indonesia
Tel 0062 (0)911 342195 Fax 0062 (0)911 355337
E-mail: crisiscentre01@hotmail.com
Crisis Centre Keuskupan Amboina
Lintas Kerusuhan Maluku No. 1 (1-15 Mei 2002)
Jeritan Derita Kaum Perempuan
Gerakan Perempuan Peduli (GPP) mengedarkan ke seluruh dunia sebuah pernyataan
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris berjudul “Jeritan Derita Kaum
Perempuan” (Scream of the Women). Di dalamnya disoroti serangan biadab
terhadap desa Soya pada H.Minggu tgl. 28 April, di mana 75% para korban adalah
perempuan dan anak-anak. Pernyataan yang terdiri atas dua belas butir itu
ditanda-tangani oleh ketiga koordinator GPP: Ny. M.M.Hendriks, Ny. Retty Assagaff
dan Suster Brigitta PBHK.
Situasi di Ambon setelah Jafar Umar Thalib ditahan
Penahanan Jafar Umar Thalib di Surabaya pada tgl. 4 Mei 2002, menimbulkan
ketegangan dan tindak kekerasan di Ambon. Di pelbagai tempat dipasang lagi
barikade-barikade berupa kuda-kuda dengan kawat duri, drum-drum kosong,
batu-batu, kalang-kalang dll. Sepanjang malam terdengarlah bunyi bom dan mortir.
Untuk ketiga kalinya nyala api keluar dari gereja Silo yang sedang dibangun itu. Dua
orang dibunuh terkena peluru dan 22 orang dilukai. Selama dua minggu pertama bulan
Mei masih lagi seringkali terjadilah ledakan bom dan mortir. Penyusup-penyusup
gelap yang bertopeng dan berbaju loreng hitam pun masih melanjutkan aksi-aksinya.
Pada tgl. 29 April para pimpinan dua belas Gereja Kristen, termasuk Gereja Katolik,
mengirim sebuah surat SOS kepada Sekretaris Jenderal PBB, Koffi Annan, di
dalamnya antara lain terbacalah: “Sambil berpura-pura memerangi separatis RMS –
yang de fakto merupakan hanya sekelompok kecil orang-orang yang malah tidak
mempunyai persenjataan apa-apa – orang-orang kristen yang tak berdosa kembali
diserang dengan tak berhenti-henti”. Sehari sebelumnya sudah dikirim sebuah surat
senada kepada Presiden RI.
Pada tgl. 6 Mei, pagi hari jam 4, sekelompok orang dengan menumpang beberapa
speedboat datang mendekat desa Eri, yang letaknya k.l. 7 km di sebelah barat kota
Ambon, sehingga dipandang “aman” dan hampir tidak terjangkau oleh aparat
keamanan. Satu di antara speedboat itu sampai di darat. Tetapi rupanya warga Eri
belum menyerahkan senjatanya, sehingga para penyusup itu dapat diusir oleh
masyarakat setempat dengan senapan rakitan mereka.
Suaka politik
Surat kabar lokal “Suara Maluku” pada tgl. 7 Mei 2002 terbit dengan sebuah foto
besar dari Mgr. P.C.Mandagi pada halaman depan, dengan headline “Umat Kristen
akan minta suaka”. Menurut kami baca lebih lanjut, kata Uskup: “Bila aparat
pemerintah tidak bermoral dan tidak memiliki rasa keadilan, tidak jujur dan tulus, dan
lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, maka sistem pemerintahan apapun
yang diterapkan, tidak mungkin dapat menyelesaikan konflik di Maluku, khususnya di
Ambon… Bila sungguh status Darurat Militer mau diberlakukan, maka, sebagai orang
yang berpikir untuk selamat, ya kita mesti lari dan meminta suaka politik. Kita minta
supaya barangkali dapat disediakan kapal-kapal besar di sekitar teluk Ambon untuk
mengangkut rakyat Maluku [jadi bukan hanya orang kristen!] dari sini”.
Kegiatan DPRD Maluku dan DPRD Kota Ambon di Jakarta
Kedua DPRD ketika selengkapnya berada di Jakarta – DPRD Propinsi dengan 45
anggota dan DPRD Kota dengan 35 anggota – sempat bertemu dengan semua pihak
yang berkepentingan, termasuk Presiden Megawati Soekarnoputri, dan menguraikan
tentang situasi di Maluku dan apa yang boleh diharapkan, bahkan dituntut, dari
Pemerintah baik di pusat maupun di daerah, untuk menyelesaikan konflik yang
berkepanjangan di Maluku. Hal-hal yang disebut antara lain:
(1) Pemenuhan janji Pemerintah untuk membentuk dan mengutus Tim Investigasi
Independen Nasional. Tugas Tim tersebut ialah menyelidiki semua peristiwa tragis
yang terjadi di Maluku sejak konflik dimulai pada tgl. 19 Januari 1999.
Dijawab kepada mereka bahwa Tim itu akan segera dibentuk dan akan terdiri atas
sebelas orang: lima orang Muslim, lima orang Kristen dan satu orang Hindu.
(2) Penolakan terhadap usulan untuk menggantikan status Darurat Sipil dengan
status Darurat Militer.
Dijawab bahwa pemberlakuan Darurat Militer tidak pernah menjadi pertimbangan
serius Pemerintah – hanya disarankan oleh orang ahli tertentu.
(3) Pemerintah harus bertindak tegas baik terhadap FKM/RMS maupun terhadap
Laskar Jihad di Maluku.
Dijawab bahwa akan diambil langkah supaya FKM/RMS segera dibubarkan dan
Laskar Jihad dikeluarkan dari Maluku.
Lima butir tanggung jawab PDSD
Pemerintah Pusat menugaskan PDSD (Penguasa Darurat Sipil Daerah) Maluku untuk
secara khusus memberi perhatian kepada lima hal ini: (1) Membukarkan FKM/RMS;
(2) Mengeluarkan Laskar Jihad dari Maluku; (3) Mengadakan sweeping atas senjata
secara represif; (4) Menuntaskan kedua peristiwa yang terjadi pada tgl. 3 April 2002,
ialah pemboman di Jalan Yan Paays dan pembakaran Kantor Gubernur; (5)
Menuntaskan pengibaran bendera RMS pada tgl. 25 April dan peristiwa-peristiwa
berdarah yang menyusul sebagai akibatnya.
Orang luaran dilarang masuk Maluku
Larangan terhadap orang luaran untuk masuk Maluku, yang mulai berlaku menjelang
tgl. 25 April berkaitan dengan hari peringatan berdirinya RMS sampai dengan tgl. 30
April, ditegaskan kembali pada tgl. 2 Mei untuk waktu tak tentu. Kepada orang luaran
dengan tugas kenegaraan atau pelayanan sosial dapat diberikan izin oleh PDSD
dengan syarat-syarat tertentu. Orang turis diperkenankan mengunjungi
wilayah-wilayah yang dipandang aman, khususnya Maluku Tenggara, Maluku
Tenggara Barat (MTB) dan P.Banda.
Konflik intern di P.Saparua
Kembali meletuslah pada tgl. 8 Mei konflik antara dua desa kristen di P.Saparua,
yakni Porto dan Haria, seperti tadinya sudah terjadi pada tgl. 10 April. Waktu itu tiga
orang terbunuh. Kali ini ada empat korban jiwa; selain itu ada sebelas orang terlukai.
Empat belas rumah dibakar. Timbulnya kembali konflik antar desa ini berawal pada
masalah antar anak-anak sekolah. Pada tgl. 15 Mei warga kedua desa secara resmi
berdamai kembali.
Laskar Jihad ditahan
Pada H.Minggu tgl. 12 Mei warga kristen Diponegoro-Atas, berbatasan dengan
Manggadua, sementara gotong-royong bersama sejumlah oknum militer. Namun
terjadilah konflik dengan beberapa orang Muslim yang mendekat, malah dilempar
sebuah bom ke arah para prajurit itu menyebabkan luka serius pada paha salah satu
dari mereka. Maka para tentara itu jadi brengsek dan menangkap delapan orang
Muslim, sedangkan salah satu yang melawan dan sementara memegang bom di
tangan, ditembak mati. Dari kedelapan orang yang ditahan (dan dipukul babak-belur),
ternyata lima berasal dari Jawa dan tiga dari Ambon.
Delegasi Muslim Malino di bawah ancaman
Setelah menerima ancaman beberapa kali, akhirnya rumah ketua delegasi Muslim ke
Malino, Thamrin Elly, yang letaknya di Kebun Cengkeh, Ambon, dibakar oleh
sekelompok orang pada malam hari tgl. 12 Mei. Thamrin Elly sendiri yakin bahwa
bukan orang FKM/RMS yang melaksanakan kejahatan itu. Kini ditunggu saja siapa
mendapat giliran berikut. Kepada terbanyak di antara ke-35 anggota delegasi Malino
itu kini diberi perlindungan khusus oleh aparat “menurut kemampuan”. Beberapa
anggota yang rumahnya sukar terjangkau, dianjurkan untuk menyingkir dari rumahnya
masing-masing.
Membangun kembali Kantor Gubernur
Pemerintah hendak membangun sebuah Kantor Gubernur baru di Ambon
menggantikan gedung yang dibakar pada tgl. 3 April lalu. Untuk itu akan disediakan
dana sebesar 53 milyar Rupiah (kurang-lebih US$ 5,400,000.- atau Eur 6.300.000,-).
Pada kesempatan survey pada lokasi itu, tgl. 14 Mei, Menko Sosial Bachtiar
Chamzah mengemukakan pendapatnya ialah supaya jangan terburu-buru mulai
membangun gedung itu: lebih baiklah menunggu konflik Maluku selesai dulu, sebab
tetap ada bahaya bahwa akan dibakar lagi. Sebagai Kantor Gubernur alternatif dengan
pilihan antara tiga lokasi – Gedung PU di Mardika, gedung PLN di Trikora dan gedung
Telkom di Talaka – akhirnya pilihan jatuh pada yang terakhir itu. Telekomunikasi
(TelKom) Pusat bersedia untuk selama beberapa tahun meminjamkan gedung
TelKom di Tanah Lapang Kecil (“Talake”) itu, letaknya antara Waihaong dan
Batugantung, kepada Pemda Maluku untuk maksud itu. Namun akan dibutuhkan k.l.
dua bulan untuk renovasi gedung tersebut yang dalam bulan Juni tahun 2000
dirusakkan sebagiannya.
Mengevaluasi peranan RMS dan Laskar Jihad dalam konflik Maluku
Dari tgl. 13 sampai 22 Mei 2002 Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah
(FKAWJ) – induk dari Laskar Jihad – mengadakan rapat kerja di Jakarta. Dalam
sambutan pembukaannya, ketua FKAWJ, Ayip Syafruddin, menyatakan bahwa
Laskar Jihat akan ditarik dari Maluku jika dua syarat berikut terpenuhilah: (1) Jaminan
keamanan komunitas Muslim Maluku oleh TNI dan POLRI; (2) Pembubaran RMS oleh
Pemerintah. Wakil Presiden Hamzah Haz, setelah membuka raker tersebut,
menyatakan bahwa terlebih dahulu FKM (Front Kedaulatan Maluku) harus dibubarkan,
baru Laskar Jihad akan diperintahkan meninggalkan Maluku.
Sementara itu para pimpinan agama – bersatu dalam Gerakan Moral Nasional –
sampai pada suatu kesimpulan yang sedikit berbeda, dan yang kemudian
diberitahukan oleh tiga wakil, masing-masing Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PB NU) KH Hasyim Muzadi, Wakil Konperensi Wali Gereja Indonesia
Rm.I.Ismartono SJ dan Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) A.A.Yewangoe
dalam pertemuannya dengan Wakil Presiden Hamzah Haz sebagai berikut: adalah
tanggung jawab Pemerintah untuk menyelidiki dan menjelaskan siapakah para
perusuh di Maluku sekarang ini. Memperhatikan bahwa rakyat Maluku sendiri sudah
tidak mau lagi berkonflik, maka menjadi makin jelas bahwa orang dari luar Maluku-lah
yang dengan sengaja berusaha untuk melanggengkan konflik itu. Namun hal ini belum
tentu berarti bahwa mereka itu adalah RMS ataupun Laskar Jihad. Perlulah
investigator profesional mencari tahu siapa sebenarnya adalah orang dari luar Maluku
itu (! silakan isilah: agaknya tiada yang dari luar selain TNI…).
Konflik antara TNI dan POLRI di Kudamati
Di daerah Kudamati, kota Ambon, ada sekelompok yang menyebutkan diri “Coker”,
kepanjangannya Cowo-Cowo Keren (bahasa Ambon, berarti “Pemuda-pemuda
gagah”). Pada tgl. 13 Mei pemimpin Coker itu, bernama Berty Loupatty, dikejar oleh
orang Brimob, dibantu oleh Petugas Polisi berdasarkan dugaan bahwa dia terlibat
dalam beberapa peristiwa kekerasan akhir-akhir ini. Namun terjadilah salah paham
dengan pasukan Kopassus (Komando Pasukan Khusus TNI) yang bertugas rutin di
wilayah itu. Dua anggota Kopassus ditangkap oleh Brimob lalu ditahan di Mapolda
Maluku (Markas Kepolisian Daerah Maluku), di mana mereka dihajar oleh
oknum-oknum Kepolisian demikian rupa sehingga harus dilarikan ke Rumah Sakit
dan di-opname di bagian IC; satu di antaranya lalu diterbangkan ke Jakarta.
Pada hari berikutnya dilakukan sweeping di sekitar rumah pemimpin FKM Alex
Manuputty di Kudamati oleh Yonif 503 Brawijaya, Yonif 741 Udayana and Kopassus.
Dari rumah Alex sendiri dibawa satu unit Computer dan modem (untuk internet), alat
HT, dokumen-dokumen FKM dan RMS dan (katanya) satu buah pistol. Warga sekitar
mengeluh bahwa sweeping di rumah itu dan di rumah-rumah sekitar dibuat pada cara
yang amat kasar, sedangkan komandan mengeluh bahwa pada penduduk-penduduk
sekitar, ada kurang pengertian dan kerjasama.
Sehari kemudian, tgl. 15 Mei, Berty Loupatty akhirnya berhasil diamankan dan
diserahkan kepada TPG (Tim Penyidik Gabungan) TNI/POLRI untuk diperiksa.
Di berbagai tempat lain pun diadakan sweeping; delapan orang ditahan karena
membawa alat senjata atau bom. (s/d Report 286).
C.J.Böhm msc,
Crisis Centre Diocese of Amboina
|