AL-QAEDA, ATAU PERMAINAN TENTARA?
KEPENTINGAN MILITER DI BALIK 'KONFLIK ANTAR AGAMA'
DI POSO, SULAWESI TENGAH
George J. Aditjondro
Pengantar:
Selama tiga tahun terakhir, kawasan Indonesia Timur, telah dilanda berbagai
kerusuhan sosial yang sepintas lalu bercorak inter-etnis, bahkan inter-religius. Secara
khusus dapat disebutkah Kepulauan Maluku, yang kini sudah dipecah menjadi dua
propinsi, dan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, di mana kerusuhan sosial telah
berkecamuk selama tiga tahun.
Secara garis besar, ada tiga kecenderungan dalam menafsirkan latar belakang
kerusuhan sosial di Ambon dan Poso. Kecenderungan pertama adalah menyalahkan
kekuatan-kekuatan luar negeri sebagai 'dalang' kerusuhan-kerusuhan itu, baik
gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang berbasis di Negeri Belanda, dan
gerakan al-Qayda, yang tadinya berbasis di Afghanistan. Ini yang sering dilakukan
oleh Lasykar Jihad dan para pendukungnya, yang menuduh 'RMS'-lah yang
mendalangi kerusuhan di Maluku, dengan memelestkan singkatan Republik Maluku
Selatan menjadi 'Republik Maluku Serani'.
Sebaliknya, kelompok-kelompok Maluku yang beragama Kristen, sudah lama
mencurigai tangan-tangan Usamah bin Laden di balik Lasykar Jihad. Belakangan ini,
kedua kelompok yang tidak berbasis di Indonesia itu dituduh oleh Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN), Letjen AM Hendropriyono, sebagai dalang kerusuhan Poso
babak terbaru (Detikcom, 12 Desember 2001). Kecenderungan pertama itu dilawan
oleh kecenderungan yang kedua, yakni bahwa kerusuhan di Ambon - dan mungkin
juga di Poso - terutama berakar dalam konflik-konflik etnis yang berlatar-belakang
sosial-ekonomis di daerah itu (lihat misalnya, van Klinken 2001).
Sementara itu, interpretasi ketiga (misalnya dalam Aditjondro 2001a, 2001c), adalah
bahwa ketegangan sosio-ekonomis yang memang ada di berbagai daerah di
Indonesia -- baik yang potensial bercorak konflik kelas, konflik antar-etnik, atau
bahkan konflik rasial --, sengaja dipicu oleh berbagai faksi militer - dengan bantuan
kelompok-kelompok paramiliter binaan mereka - menjadi konflik terbuka yang bersifat
massal dan berdarah, guna memungkinkan intervensi militer di daerah-daerah itu.
Dalam konteks yang lebih bercakup nasional, intervensi militer ini dimaksudkan
sebagai dalih untuk pembukaan kembali Kodam-Kodam yang telah ditutup oleh
Panglima ABRI Jenderal Benny Murdani , antara 1983 s/d 1986.
Rencana pemekaran kembali jumlah Kodam dari 10 menjadi 17 dimulai oleh
Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto di masa pemerintahan Presiden BJ
Habibie (Forum Keadilan, 29 Maret-4 April 1999: 18). Belum tiga bulan konflik di
Ambon berlangsung, Korem 174 Pattimura - yang waktu itu masih berkedudukan di
bawah Kodam VIII Trikora - sudah dimekarkan menjadi Kodam (Aditjondro 2001a:
114-115).
Berdasarkan preseden itu, kerusuhan-kerusuhan sosial di daerah-daerah lain,
misalnya di Kalimantan Barat dan Aceh, dapat dilihat sebagai bagian dari skenario
militer untuk menghidupkan kembali Kodam-Kodam lain yang sudah ditutup satu
dasawarsa sebelumnya (lihat Munir 2001: 18). Skenario itu kini sudah terlihat pula di
Aceh. Walaupun sudah diprotes keras oleh berbagai aktivis dan kelompok hak-hak
asasi manusia (lihat misalnya, Ishak 2002: 75-78), toh Kodam Iskandar Muda telah
dibuka kembali.
Kaitan antara Pemekaran Kodam dengan Konsollidasi Bisnis Militer:
Pemekaran jumlah Kodam, Korem dan Kodim punya dampak penting bagi kehidupan
sosial-ekonomi rakyat di daerah. Unit-unit teritorial militer di daerah itu adalah tulang
punggung bisnis militer di sana. Hubungan antara struktur teritorial militer -
khususnya struktur teritorial TNI/AD - dengan berbagai kegiatan bisnis militer,
tergambar di skema sebagai berikut (dikutip dari Aditjondro 2002b):
-----------------------------------
BISNIS
INSTITUSIONAL
-----------------------------------
STRUKTUR KERUSUHAN/TERITORIAL ABRI GEJOLAK SOSIAL
-----------------------------------
BISNIS BISNIS
NON-INSTITUSIONAL KELABU
-----------------------------------<
Dalam skema ini, istilah "bisnis militer" sudah tersirat bisnis Polisi (yang punya
struktur teritorial yang paralel dengan struktur teritorial TNI/AD), serta bisnis kelompok
paramiliter yang ikut didukung oleh fraksi-fraksi tentara. Bisnis militer ini, bukan
hanya berbentuk perusahaan-perusahaan di bawah payung yayasan dan koperasi
tentara dan polisi, atau mengandung saham yayasan dan koperasi tersebut.
Selanjutnya, dalam skema di atas bisnis militer digambarkan punya tiga kaki. Kaki
pertama adalah apa yang dinamakan oleh Indria Samego dkk "bisnis institusional
ABRI". Sedangkan kaki kedua adalah apa yang mereka namakan "bisnis
non-institusional ABRI", yakni bisnis milik purnawirawan ABRI dan keluarga mereka,
yang sudah berkembang menjadi konglomerat-konglomerat (lihat Samego dkk 1998).
Contoh bisnis non-institusional ABRI di Sulawesi Tengah, adalah perkebunan kelapa
sawit PT Hardaya Inti Plantations seluas 51 ribu hektar di Kabupaten Buol Toli-Toli.
Salah seorang pemegang saham dan komisarisnya adalah Rony Narpatisuta
Hendropiyono (CIC 1997: 224-225), yang kemungkinan besar adalah putra Letjen
(Purn.) AM Hendropiyono, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Contoh lain adalah kilang kayu hitam PT Sulawesi Ebony Sentra (SES) di Palu, yang
merupakan kongsi antara 21 perusahaan, termasuk PT Rante Mario dan PT Zedsko
Indonesia (PDBI 1994: B-270 - B-271). Perusahaan pertama milik Tommy Suharto,
putra bungsi Jenderal (Purn.) Suharto, sedangkan yang kedua milik Ilham Mattalatta,
putera tertua Jenderal (Purn.) Andi Mattalatta. Anggota kongsi itu yang lain a.l. PT
Fendi Indah, yang sepertiga sahamnya milik PT Nusamba yang 90& milik keluarga
Suharto. Sedangkan anggota kongsi itu yang cukup terkenal di Sulawesi Tengah dan
Papua Barat, adalah PT Kebun Sari milik Abdul Rasyid, pengusaha asal Sulawesi
Selatan, yang punya konsesi kayu eboni di kaki Gunung Nokilalaki, Sulawesi Tengah,
serta konsesi kayu damar di Papua Barat, berkongsi dengan satu perusahaan Korea
Selatan.
Yang penting untuk dicatat, adalah bahwa wilayah konsesi bersama PT SES itu
terentang di kawasan pegunungan di perbatasan Kabupaten Donggala dan Kabupaten
Poso. Sebagian hutan eboni itu, merupakan wilayah ulayat suku-suku pegunungan
(orang Lore) di Kabupaten Poso, warga Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST),
yang kehidupan dan tempat tinggalnya kini terobrak-abrik oleh kerusuhan sosial di
dataran rendah Poso, yang membujur dari Tentena s/d kota Poso.
Hubungan antara bisnis institusional dan non-institusional, juga sudah cukup terkenal.
Sebagian besaryayasan militer yang ikut memperlicin jalan bagi ekspansi bisnis
keluarga Suharto (lihat Aditjondro 1998: 32-36, 2002a: 36-38). Salah satu contoh di
Sulawesi Selatan adalah kongsi PT Yamabri Dwibhakti Utama milik Yayasan Markas
Besar ABRI (Yamabri) bagi PT Makarti Trimitra, perkebunan kelapa sawit berpola
PIR-Transmigrasi milik Ari Haryo Wibowo (Ari Sigit) di Kabupaten Luwu (Hamid 1998).
Bisnis keluarga besar Soeharto, memang cukup menonjol di Sulawesi Selatan, berkat
relasi-relasi yang dibuat Soeharto ketika menjabat sebagai Panglima Mandala di awal
1960-an. Tommy, pertama kali mendapat konsesi hutan di sana, yang dinamainya PT
Rante Mario. Sedangkan pamannya, Probosutedjo, ketika pertama kali mendirikan
perusahaan otomotif, di Makassar yang dinamakannya PT Garmak Motor,
kependekan dari Garuda Makassar. Dalam perjalanannya, perusahaan itu pernah
diambilalih oleh Menperdag (waktu itu), M. Jusuf (Warta Ekonomi, 21 Oktober 1996:
24), tapi kemudian telah diperolehnya kembali. Sedangkan generasi ketiga keluarga
Soeharto, juga telah membangun berbagai aliansi bisnis dengan generasi kedua dari
kroni-kroni Soeharto, seperti Ari Sigit yang membangun Arha Groupnya dengan Emir
Baramuli, putra bekas ketua DPA, A.A. Baramuli. Makanya tidak mengherankan
bahwa Sulawesi Selatan merupakan salah satu dari empat propinsi di mana Arha
Group mendapat lisensi stiker alkohol yang kontroversial di awal 1995 (Warta
Ekonomi, 30 Januari 1995: 12-14).
Para mitra aliansi bisnis keluarga Soeharto di Makassar, memang seringkali
mengundang kontroversi, karena kedekatan mereka dengan unsur-unsur kekuasaan,
baik sipil maupun militer. Aliansi bisnis antara keluarga Soeharto dengan keluarga
Habibie sendiri (lihat Aditjondro 1998), ikut menghambat cita-cita BJ Habibie untuk
melegitimasi mandat kepresidenannya, yang hanya diperolehnya berkat
kedekatannya dengan Soeharto. Lalu, bekas ketua Puskud Sulsel, Nurdin Halid, yang
pernah diajukan ke pengadilan karena tidak dapat mempertanggungjawabkan
hilangnya dana Rp 100 milyar milik para petani cengkeh, justru diangkat oleh Tommy
Suharto untuk menjadi direktur PT Goro Batara Sakti, yang terlibat dalam kasus
'tukar guling' (ruilslag ) tanah Bulog dengan perusahaan bisnis ritel itu. Belakangan ini,
para aktivis pro-demokrasi di Makassar menengarai, bahwa Nurdin Halid berada di
balik berbagai demonstrasi yang berbau sektarian di Makassar, untuk membelokkan
konflik-konflik vertikal menjadi konflik horisontal (lihat Aditjondro 2001b: 13).
Adapun kaki ketiga, sesuai dengan namanya, yakni "bisnis kelabu", belum banyak
diteliti, karena tidak terekam dengan jelas dalam statistik perdagangan, dan karena
sebagian (besar?) sifatnya ilegal dan merupakan penyalahgunaan sarana publik.
Kadang-kadang, bisnis kelabu ini dijalankan oleh perusahaan yang legal, artinya,
punya badan hukum, bahkan berbentuk Perseroan Terbatas. Misalnya,Yapto
Soerjosoemarno, SH, bekas ketua Pemuda Pancasila, memiliki sebuah perusahaan
lain, PT Mahaphala Cakti, yang menumpang di kantor pengacaranya, Yapto &
Associates.
Perusahaan itu memasok kebutuhan senjata bagi tentara dan polisi. Tapi bukan
bisnis senjata yang paling banyak menghasilkan uang bagi perusahaan itu.
Pemasokan ransum bagi tentara dan polisi yang bertugas di lapangan, serta
pemasokan semen untuk pembangunan dan rehabilitasi asrama tentara dan polisi di
seluruh Indonesia, yang ratusan jumlahnya, merupakan sumber pemasukan yang
lebih besar bagi perusahaan itu. Makanya, setiap keputusan untuk mengirim ribuan
tentara ke Maluku, Papua, Sulawesi, Kalimantan dan Aceh berpotensi menambah
pemasukan perusahaan itu. Juga pembukaan kembali Kodam-Kodam lama, seperti
Pattimura dan Iskandar Muda, berpotensi melahirkan order-order kakap untuk
membangun dan meng-upgrade asrama prajurit serta kantor Kodam, Korem dan
Kodim di Maluku dan Aceh (lihat Aditjondro 2002b).
Sesudah meledaknya kerusuhan di Kepulauan Maluku, muncul berbagai jenis bisnis
kelabu ini. Mulai dari penjarahan toko-toko bersama massa perusuh, bisnis
pengamanan (calon) penumpang kapal dan pesawat terbang dari dan ke pelabuhan
dan bandara di Ambon, perampokan bank di Ambon, pencurian kelapa dan
pengolahannya kopra untuk diantar-pulaukan dari Maluku Utara ke Manado, penjualan
senjata dan peluru, sampai dengan penjualan jasa sebagai tentara bayaran bagi
kelompok-kelompok sipil yang bertikai. Pasukan Yonif Linud 431 Kostrad Divisi I yang
berkedudukan di Kariango, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, kembali dari tugas di
Ambon lengkap dengan barang-barang jarahan, yang paling umum berbentuk TV dan
radio tape recorder (lihat Aditjondro 2001a: 121; D&R, 24-30 Januari 2000: 16;
sumber-sumber lain).
Mirip seperti di Maluku, perdagangan senjata juga mulai merebak di Sulawesi Tengah,
setelah meletusnya tiga gelombang kerusuhan di Kabupaten Poso. Akhir Mei 2000,
Polda Sulteng menyita sejumlah senapan buatan PT Pindad, Bandung, yang
dikirimkan melalui cargo yang ditujukan ke Kanwil Departemen Kehutanan Sulteng,
dengan pengirim, Dirjen PKA Dephut di Jakarta. Ketika dikonfrontir oleh para
wartawan di Palu, KaKanWil Dephut di sana menyatakan tidak tahu menahu sama
sekali tentang kiriman senjata itu. Di samping itu, ada puluhan anggota TNI dan Polri
juga melibatkan diri dalam kerusuhan di sana. Di antara tujuh orang yang
teridentifikasi kuat terlibat dalam kerusuhan di Poso, yang telah menjalani
pemeriksaan, dua orangmerupakan perwira TNI berpangkat Kapten (Sangaji 2001).
Simpul penghubung ketiga bentuk bisnis militer itu adalah struktur teritorial militer
sebab struktur inilah basis pengorganisasian bisnis institusional militer, yang pada
gilirannya berkaitan dengan bisnis non-institusional dan bisnis kelabu mereka. Di
lingkungan Angkatan Darat, misalnya, di tiap Korem ada Primkopad, di tiap Kodam
ada Puskopad, dan di tingkat Pusat ada Inkopad (Lowry 1996: 138). Beberapa Kodam
dan Polda, punya yayasannya sendiri. Selanjutnya, berbagai yayasan militer dan
poliri di tingkat nasional dan daerah, bersama Inkopad, Inkopal, Inkopau dan Inkoppol,
menjadi pemegang saham puluhan perusahaan besar.
Sementara itu, para bekas panglima ketiga angkatan serta para bekas Kapolri dan
bekas Kapolda, sering diangkat menjadi komisaris dari berbagai perusahaan milik
keluarga para kapitalis birokrat dan purnawirawan ABRI, kalau tidak diangkat juga
menjadi anggota pengurus berbagai yayasan militer dan polisi itu. Maka semakin
solid-lah kaitan antara struktur teritorial militer dengan ketiga kaki bisnis militer itu.
Namun seiring dengan tuntutan penghapusan doktrin dwifungsi ABRI, pandangan di
antara para perwira tinggi TNI/AD terhadap seberapa kuat dan merasuknya struktur
teritorial TNI di tengah-tengah masyarakat juga mulai mengalami polarisasi.
Pandangan bahwa seluruh struktur teritorial itu harus dihapus, seperti yang dianut
oleh almarhum Letjen Agus Wirahadikusumah, merupakan pandangan yang paling
tidak populer. Namun soal perlu tidaknya Kodam-Kodam yang sudah ditutup dibuka
kembali, seperti yang dicetuskan oleh Jenderal Wiranto, cukup jelas polarisasinya.
Belakangan ini, cita-cita Wiranto itu semakin tidak populer.
Di antara para perwira aktif dan purnawirawan TNI/AD, yang masih mendukung
perluasan struktur teritorial TNI/AD, konon termasuk bekas KSAD Jenderal Tyasno
Sudarto dan Letjen (Purn) AM Hendropryono. Konflik internal ini semakin menajam,
sehubungan dengan pemilihan calon Panglima TNI yang akan datang, di mana
Tyasno tampaknya merupakan calon pilihan Presiden Megawati Sukarnoputri,
sementara KSAD Jenderal Endriartono Sutarto konon merupakan pilihan Panglima
TNI, Laksamana Widodo AS (Adil, 24 Maret 2002: 16).
Makanya, gelombang kerusuhan akhir November 2001 di Kabupaten Poso, setelah
ribuan orang anggota Lasykar Jihad diloloskan masuk ke sana, dan memimpin
serangkaian serangan fatal terhadap penganut agama Kristen di sana (Sydney
Morning Herald, 3, 7 & 10 Des. 2001; The Australian, 5 & 10 Des. 2001; Australian
Financial Review, 7 Des. 2001; Time, 17 Des. 2001; berita-berita email), lebih
merupakan refleksi konflik internal di pucuk pimpinan Angkatan Darat. Tidak
mengherankan pula, bahwa yang segera melontarkan sinyalemen bahwa al Qaeda
dan RMS merupakan dalang kerusuhan di Poso, tidak lain dan tidak bukan adalah
Hendropriyono. Jenderal Purnawirawan itu juga yang tiga tahun lalu ikut menuduh
RMS sebagai dalang kerusuhan di Ambon (Aditjondro 2001a: 115).
Peranan kelompok-kelompok paramiliter:
Berbeda dengan di era pemerintahan Soeharto, era pasca-Soeharto semakin
menyolok ditandai oleh mobilisasi kelompok-kelompok paramiliter. Baik dalam
'meramaikan' konflik-konflik perebutan puncak kekuasaan Negara di Jakarta, maupun
dalam 'memelihara' dinamika gejolak-gejolak politik di daerah-daerah di Jawa dan di
luar Jawa (lihat Simanjuntak 2000; van Dijk 2001).
Kelompok-kelompok paramiliter itu juga ikut berperan dalam mengeksploitir
ketegangan sosio-ekonomis di Kepulauan Maluku dan Sulawesi, menjadi konflik
berdarah di antara kelompok-kelompok yang berbeda agama. Dalam kasus Ambon,
yang berfungsi sebagai katalisator adalah kelompok-kelompok preman Maluku
Kristen dan Islam di Jakarta (lihat Aditjondro 2001a). Sedangkan dalam kasus Poso,
yang berfungsi mengekskalasi konflik antar-etnis di Poso menjadi semacam perang
terbuka di antara kelompok Islam dan Kristen, adalah kelompok migran NTT di bawah
pimpinan Fabianus Tibo, seorang recidivis yang pernah dihukum penjara karena
membunuh transmigran Bali (Ecip & Waru 2001: 44).
Anehnya, setelah Tibo - bersama dua orang migran NTT yang lain - dijatuhi hukuman
mati oleh Pengadilan Negeri Palu, awal April tahun lalu - mendadak ketenteraman
masyarakat di Kabupaten Poso tergoncang lagi akibat kedatangan ribuan anggota
Lasykar Jihad dari Maluku dan tempat-tempat lain. Hal ini kembali mengulangi
sejarah kedatangan ribuan anggota Lasykar Jihad dari Jawa, Sumatra dan Sulawesi
ke Ambon, mulai bulan Mei 2000, tanpa sedikitpun mengalami hambatan dari
Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polri dengan seluruh aparat
teritorial mereka yang hadir sampai ke pelosok-pelosok Nusantara.
Kebetulan, berita terbongkarnya "Kamp Mujahidin", 10 Km di luar kota Poso yang
konon dipimpin oleh Omar Bandon dan Parlindungan Siregar (Time, 18 Maret 2002:
48), membuat perhatian pers kembali terpancang pada jaringan teroris internasional
itu, sedangkan hubungan antara Lasykar Jihad dengan faksi tentara yang tetap ingin
memperluas struktur teritorial mereka, luput dari sorotan.
Sementara itu, terpancing oleh kedatangan Lasykar Jihad ke Poso, satu kelompok
paramiliter lain, Legiun Christum, mulai menyiapkan diri di kawasan pegunungan
Minahasa, Sulawesi Utara, untuk melawan Lasykar Jihad. Malah mereka kabarnya
juga menyiapkan diri untuk bersama suku-suku bangsa yang dominan Kristen di
Minahasa, Poso, dan Toraja, melawan usaha-usaha mengubah Indonesia menjadi
Negara Islam (Sydney Morning Herald, 15 Januari 2002).
Kebetulan pula, manuver-manuver partai-partai Islam di Jakarta, yang bersama
gerakan militan Islam mengkampanyekan kembalinya NKRI ke Piagam Jakarta 1945,
telah ikut membangkitkan kembali semangat rakyat Minahasa untuk menentukan
nasibnya sendiri. Ini misalnya dapat dilihat dari pencetusan Kongres Minahasa Raya,
tanggal 5 Agustus 2000, yang memutuskan bahwa rakyat Minahasa akan keluar dari
NKRI, apabila Mukadimah UUD 1945 mengalami amandemen sesuai dengan inti
Piagam Jakarta itu.
Seiring dengan hasil kongres itu, sebagian tokoh tua Minahasa telah membentuk
Pasukan Brigade Manguni, konon untuk mengantisipasi masuknya Lasykar Jihad ke
Minahasa. Malah sudah ada suara-suara yang mendorong pasukan paramiliter
Kristen itu untuk masuk ke Ambon, untuk membela masyarakat Kristen yang
kewalahan menghadapi gempuran Lasykar Jihad yang didukung oleh tentara itu.
Perkembangan ini, tidak bisa dipandang enteng, karena sarat dengan simbolisme
perang di Minahasa. Burung manguni (burung hantu), adalah burung yang dianggap
sebagai petunjuk untuk berperang bagi suku-suku di Minahasa, di masa pra-Kristen.
Jadi tidaknya menyerang musuh, ditentukan dari interpretasi terhadap arah terbang
burung itu.
Menuju Dua Kodam di Sulawesi?
Melihat perkembangan ini, TNI dan Polri (khususnya, Brimob) semakin punya dalih
untuk menambah pasukan mereka di Sulawesi Tengah dan Utara. Kalau itu sampai
terjadi, maka mengikuti skenario Ambon, peluang untuk menghidupkan kembali
Kodam Merdeka, -- yang meliputi Sulawesi Tengah , Sulawesi Utara, dan propinsi
baru, Gorontalo - serta Kodam Hasanuddin - yang meliputi Sulawesi Selatan &
Tenggara -- akan semakin terbuka.
Pemekaran Kodam Wirabuana menjadi Kodam Merdeka dan Kodam Hasanuddin,
akan mempermantap kuku dan cakar tentara untuk meredam dinamika gerakan
pro-demokrasi di kelima propinsi di Sulawesi, sambil memperbanyak titik-titik temu
antara bisnis militer dengan bisnis para konglomerat warisan Orde Baru di Sulawesi,
yang lebih bisa menikmati proteksi dari militer, apabila harus berhadapan dengan
aksi-aksi buruh serta rakyat setempat yang tergusur dari tempat tinggal dan lahan
dan perairan adat mereka.
Newcastle, 5 April 2002.
Kepustakaan:
Aditjondro, George J. (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru kencing berdiri, murid
kencing berlari: Kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim Orde Baru.
Jakarta: MIK & Pijar Indonesia.
--------------- (2001a). "Guns, pamphlets and handie-talkies: How the military exploited
local ethno-religious tensions in Maluku to preserve their political and economic
privileges." Dalam Ingrid Wessel & Geogrie Wimhoefer (eds). Violence in Indonesia.
Hamburg: Abera, hal. 100-128.
--------------(2001b). "Financing human rights violations. Part I." Indonesia ALERT!, 3
(3), Spring, Washington, DC, hal. 1, 3-13.
--------------(2001c). "Di balik asap mesiu, air mata dan anyir darah di Maluku." Epilog
dalam Zairin Salampessy & Thamrin Husain (eds). Ketika semerbak cengkeh tergusur
asap mesiu: Tragedi kemanusiaan Maluku, di balik konspirasi militer, kapitalis
birokrat, dan kepentingan elit politik. Jakarta: Tapak Ambon, hal. 131-170.
--------------(2002a). "Suharto has gone, but the regime has not changed: Presidential
corruption in the Orde Baru." Dalam Richard Holloway (ed). Stealing from the People:
16 Studies on Corruption in Indonesia. Book 1: Corruption - From Top top Bottom.
Jakarta: Aksara Foundation, hal. 1-66.
--------------(2002b). Politik ekonomi kekerasan negara di Papua Barat.
Makalah untuk Konferensi 'Kejahatan negara di Papua Barat: Penculikan dan
Pembunuhan Theys Hiyo Eluay, Wajah Kekerasan Negara di Papua,' yang
diselenggarakan oleh Els-HAM Papua, LBH Papua dan Kontras Papua di Jakarta,
21-22 Maret.
CIC [PT Capricorn Indonesia Consult Inc.] (1997). Profile and directory of Indonesian
plantation 1997/1998. Jakarta: PT Capricorn Indonesia Consult.
van Dijk, Kees (2001). "The privatization of the public order: Relying on the Satgas."
Dalam Wessel & Wimhoefer (eds), op.cit., hal. 152-167.
Ecip, S. Sinansari & Darwis Waru (2001). Kerusuhan Poso yang sebenarnya.
Jakarta: PT Global Mahardika Netama.
Hamid, Hasanuddin (1998). "Perkara keluarga Cendana (1): Ari Sigit dan Yayasan
Mabes ABRI mengganjal pengusaha Sulawesi Selatan." SiaR News Service, 4
Januari.
Ishak, Otto Syamsuddin (2001). Dari maaf ke panik Aceh: Sebuah sketsa sosiologi
politik. Jakarta & Banda Aceh: Yappika, LSPP & Cordova.
Iswandi (2000). Bisnis militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam bidang ekonomi
dan pengaruhnya terhadap pembentukan rezim otoriter. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
van Klinken, Gerry (2001). "The Maluku wars: Bringing society back in." Indonesia,
No. 71, April, hal. 1-26.
Lowry, Robert (1993). Indonesian Defense Policy and the Indonesian Armed Forces.
Canberra: Strategic and Defense Studies Centre, Research School of Pacific Studies,
Australian National University.
--------- (1996). The Armed Forces of Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
Munir (2001). "Indonesia, violence and the integration problem." Dalam Wessel &
Wimhoefer (eds), op. cit., hal. 17-24.
PDBI [Pusat Data Business Indonesia] (1994). Forestry Indonesia. Jakarta: PDBI.
Ryter, Loren (2001). "Pemuda Pancasila: The last loyalist free men of Suharto's
Order?", dalam Benedict R. O'G. Anderson (ed). Violence and the state in Suharto's
Indonesia. Ithaca: Southeast Asia Program Publications, Cornell University, hal.
124-155.
Samego, Indria dkk (1998). Bila ABRI berbisnis. Bandung: Mizan.
Sangaji, Anto (2000). Beberapa catatan mengenai kerusuhan di Poso. Makalah pada
Pertemuan Mitra NOVIB di Jakarta, 26 Juli.
Simanjuntak, Togi (ed) (2000). Premanisme politik. Jakarta: Institut Studi Arus
Informasi (ISAI).
|