ANALISA SITUASI MALUKU
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Salam Sejahtera!
Saudara-saudara sebangsa,
Setelah memperoleh sendikit kesempatan untuk bernapas lega, Maluku dirusuhkan
lagi. Kota ambon seperti lumpuh setelah bermandi warna merah karena darah dan
api. Korban kembali berjatuhan dan Maluku kehilangan Pusat Pemerintahannya.
Mengapa? Itulah pertanyaan yang akan saya coba jawab semampu saya, melalui
tulisan ini.
"Perjanjian Maluku" di Malino, yang juga dikenal sebagai "Deklarasi Malino II", sama
sekali bukan hal yang buruk. Pertemuan antara kedua pihak yang bertikai adalah
peristiwa yang sudah lama dinanti-nantikan oleh rakyat Maluku, yang sudah lelah
berkelahi. Persetujuan untuk melakukan "penghentian kekerasan", yang disepakati
oleh kedua belah pihak, Salam-Sarani Maluku, harus diakui sebagai langkah awal
yang cukup lebar, menuju pemulihan kehidupan Pela-Gandong, yang sudah mewarnai
kehidupan persaudaraan rakyat Maluku selama ratusan tahun. Tetapi, semakin lama
semakin terlihat bahwa "Perjanjian Maluku" saja, tidak cukup! Sebagai langkah
pertama, Deklarasi Malino II tidak salah arah, tetapi sekali lagi saya katakan, "itu
belum cukup!"
Fenomena "baku bae" yang terjadi setelah ke-11 butir Perjanjian Maluku
disosialisasikan di kedua pihak adalah hal yang mencengangkan banyak orang.
Apapun komentar atas peristiwa "rekonsiliasi spontan" ini, tidak ada yang bisa
membantah bahwa itulah luapan "rasa lelah berkelahi", "kesadaran akan kerugian
yang sama ditanggung", dan "keinginan untuk kembali kepada Maluku yang dahulu,
kehidupan persaudaraan yang damai"! Masalahnya adalah, apa yang kita kenal
sebagai "Konflik Maluku", BUKAN KONFLIK MURNI ANTARA RAKYAT MALUKU,
yang lahir dari keinginan rakyat Maluku sendiri! Konflik Maluku BUKAN KONFLIK
MURNI ANTAR UMAT BERAGAMA, Salam-Sarani di Maluku Konflik Maluku adalah
KONFLIK POLITIK REKAYASA JAKARTA, dimana rakyat Maluku, Salam-Sarani
Maluku, adalah "AYAM ADUAN"-nya. Itulah alasan utama bagi saya untuk
mengatakan bahwa "Deklarasi Malino II saja tidak cukup".
Ke-11 Butir Kesepakatan yang dicetuskan di Malino, lebih banyak merupakan tugas
dan tanggung jawab dari Pemerintah RI, dan hanya sebagian kecil yang terpulang
untuk rakyat Maluku. Di antara sebagian kecil tadi, sebagian besarnya sudah
dilakukan oleh rakyat Maluku, melalui penghentian kekerasan, pertemuan dan pawai
"baku-bae", penyerahan senjata, dan pembauran kembali. Begitu spontannya rakyat
Maluku melakukan bagian mereka, sehingga Pemerintah RI terlihat seperti "jauh
tertinggal" dan malah "kehilangan arah". Langkah pertama sudah dilakukan oleh
rakyat Maluku, tetapi Pemerintah RI, yang memiliki bagian terbesar dari tugas dan
tanggung jawab, malah "enggan untuk melangkah"! Mengapa begitu?
Sangat dikuatirkan bahwa "yang dipersiapkan Pemerintah RI untuk menampakkan
itikad baiknya terhadap Maluku, hanya cukup untuk sampai ke Malino". Hal ini
mungkin, karena Pemerintah RI yang terpojok di bawah sorotan Dunia Internasional,
sangat membutuhkan Malino II untuk membedaki wajah Pemerintah RI yang buruk.
Menggebu-gebunya Susilo Bambang Yudhoyono dkk, mengutip pernyataan positif
dari berbagai wakil negara asing, lebih menjurus pada "kepuasan seorang gadis yang
masuk ke salon kecantikan agar menerima pujian umum atas kecantikannya, dan
setelah bermandikan pujian, sang gadis sendiri tidak tahu, apa yang akan dilakukan
dengan kecantikannya. Setelah beberapa jam bergaya sebagai ratu kecantikan,
make-up-nya mulai luntur, dan wajah aslinya yang tidak cantik mulai kelihatan lagi.
Itulah ilustrasi sederhana tentang Pemerintah RI saat ini. Pemerintah RI hanya ingin
terlihat cantik di mata Dunia!
Proses penyerahan senjata sudah berlangsung, walaupun belum dapat dikatakan
maksimal. Kurangnya, atau katakanlah hampir-tidak-adanya senjata api standar yang
diserahkan, dapat dilihat sebagai keengganan rakyat Maluku untuk melepaskan
sesuatu yang diperolehnya dengan bayaran yang cukup mahal. Tetapi Pemerintah RI
harus bisa melihat hal ini dari sisi yang lain, bahwa "masih ada kecenderungan besar
pada rakyat Maluku untuk mengambil sikap berjaga-jaga", dan peristiwa pengeboman
serta pembakaran Kantor Gubernur Maluku, ternyata membenarkan sikap rakyat
Maluku! Sudah terlalu banyak pengalaman pahit yang dialami dan Rakyat Maluku
tidak ingin kembali dijadikan sapi yang digiring ke pembantain tanpa daya. Bukankah
pihak "laskar jihad" yang dibiarkan tetap di Maluku, TIDAK terlibat di dalam proses
penyerahan senjata?
Belum apa-apa, Pangdam XVI Pattimura, Moestopo sudah berkoar tentang "sweeping
pejabat" di Maluku, yang terkesan condong untuk menimbulkan masalah, daripada
mengamankan Maluku. Masalah yang timbul karena "sweeping pejabat" tersebut
akan memperlambat proses perlucutan sejata, yangf tentunya memberikan cukup
waktu bagi pihak yang tidak ingin menyerahkan senjatanya, untuk mencari tempat
persembunyian yang aman bagi senjata-senjata mereka, dan dalam hal ini, "laskar
jihad"-lah yang memetik keuntungan terbesar. Pemanggilan mendadak atas
PDSD-Maluku dan kedua Pemimpin Militer dan Kepolisian Maluku, yang disusul oleh
"penundaan perlucutan senjata", semakin memberikan keleluasan bagi "laskar jihad"
untuk lolos, dan mengubah penampilan mereka sebagai pekerja sosial di Maluku.
Jika Pemerintah RI sungguh-sungguh mempertimbangkan faktor "kesiapan psikologis
rakyat Maluku" untuk itu, semestinya Pemerintah RI sudah dari awal tidak bersikap
semberono di dalam menjadwalkan penyerahan dan perlucutan sejata, sehingga
terkesan mengancam. Fenomena "baku-bae" atau "rekonsiliasi spontan" rakyat
Maluku yang mencengangkan Pemerintah, seharusnya memotifasi Pemerintah RI
untuk mempercepat proses perlucutan senjata dan bukan sebaliknya.
Penundaan pembentukan Tim Invesigasi Independen Nasional (non-Maluku), juga
terasa aneh. Tim yang bertugas untuk menyelidiki akar permasalahan yang memicu
Konflik Maluku, dan mengungkap berbagai pelanggaran hukum dan HAM, ternyata
merupakan tugas yang begitu sukar bagi Pemerintah RI. Perjalanan Presiden RI ke
Luar Negeri tidak harus menjadi alasan bagi penundaan pembentukan Tim tersebut,
jika "seluruh jajaran Pemerintahan RI, sehati terhadap masalah Maluku".
Konsekwensi dari "pelimpahan tugas mengurus Maluku" yang oleh Presiden RI
kepada Wapres RI, tidak terlihat sama sekali di sini! Apakah karena Wapres ternyata
tidak mampu memikul tanggung-jawab tersebut, ataukah karena hal-hal lain? Jika Tim
Investigasi Independen ini bekerja dengan benar, akan terungkap berbagai jenis
konspirasi yang melibatkan Pejabat Tinggi Negara, Politisi dan Parpol, Pimpinan TNI
dan POLRI, Pemimpin Ormas dan berbagai Organisasi, serta berbagai pihak yang
cukup berpengaruh di dalam negara ini. Situasi politik dalam negeri tidak memberikan
gambaran bahwa Pemerintah RI sudah siap untuk berhadapan dengan "temuan" dari
Tim tersebut. Sangat mungkin, inilah alasan penundaan, jika Tim tersebut nantinya
memang benar-benar dibentuk dan diberikan kewenangan penuh untuk melakukan
tugasnya.
Dilihat dari sisi yang lain, kendala yang sangat mungkin menjadi yang "terutama" bagi
Pemerintah RI adalah yang berkaitan dengan "laskar jihad" dan "FKM/RMS", yang
tentunya memiliki keterkaitan dengan masalah yang baru disebutkan di atas. Dua
komponen tersebut adalah penentang utama Deklarasi Malino II, berdasarkan
pertimbangan dan kepentingan sendiri-sendiri yang jauh berbeda. Sejak bergulirnya
persiapan menuju Malino II, Pemerintah selalu terlihat mengindarkan diri dari "laskar
jihad" dan FKM/RMS. Benar-benar nampak bahwa Pemerintah RI enggan untuk
menyelesaikan urusannya dengan "laskar jihad" dan FKM/RM secara tuntas. Ada
baiknya saya coba untuk membahas kedua kendala ini secara terpisah.
Saya pikir, sampai pada tahap ini, kita tidak perlu membodohi diri dan
membuang-buang energi ke dalam perdebatan sia-sia tentang "apa itu laskar jihad"
dan "apa sebenarnya yang mereka lakukan di Maluku". Mereka ini adalah pihak yang
mencoba untuk memaksakan warna "agama" bagi konflik politik rekayasa Jakarta
untuk Maluku. Mereka datang dengan misi ‘sendiri’, yang terlihat jelas di dalam
usaha untuk memberlakukan "Syariat Islam" di Maluku. Istilah ‘sendiri’ berkaitan
erat dengan pergerakan "pengislaman Indonesia" dan "pengislaman Asia Tenggara",
di dalam satu jaringan kerjasama dengan KMM-Malaysia, Moro-Philipina, dan
berbagai kelompok Islam militan di Indenesia, yang tentunya tidak terlepas dari
asuhan "saudara tua" di berbagai negara Arab, seperti Yaman, dan di Afghanistan,
seperti oleh Taliban dan Al Qaeda. Di dalam negeri, "laskar jihad" memperolah
dukungan dari berbagai Ormas seperti KISDI dan FPI, Muhammadiyah dan MUI.
Sepak terjang Amin Rais, Hamzah Haz, Din Syamsuddin, Ahmad Sumargono, AM.
Fatwa, dll. tidak saja membenarkan pernyatan di atas, tetapi melibatkan PAN dan
DPR/MPR ke dalam barisan pendukung "laskar jihad". Komisi I & II DPR-RI,
misalnya, lebih mengartikan singkatan "R" itu sebagai "laskar jihad" dan buka rakyat
Maluku. Sepak-terjang Komnas HAM memberikan kesan bahwa "laskar jihad" lebih
manusia daripada rakyat Maluku, sehingga lebih ber-HAM dari rakyat Maluku yang
dibantai dan disengsarai mereka. TNI dan POLRI juga tidak ketinggalan, walaupun
tidak di dalam bentuk institusi secara keseluruhan. Wiranto, Djadja Suparman, Sudi
Silalahi, Suaidi Marasabessy, Da’i Bachtiar, Firman Gani, dan para pensiunan
TNI/POLRI seperti Rustam Kastor dan Rusdi Hasanussi, adalah beberapa dari para
petinggi TNI/POLRI yang juga berada di belakang "laskar jihad" (atau di atas?).
Karena itu, tidak ada seorangpun yang cukup bodoh untuk melihat bahwa Pemerintah
RI yang tidak memiliki landasan kuat saat ini, akan mampu menerima konsekwensi
dari "temuan" Tim Investigasi Independen. Jangankan sampai ke sana, para desertir
TNI/POLRI yang diberangus di Maluku, tidak pernah bisa sampai ke Mahkamah
Militer atau Pengadilan Sipil.
Tidak seorangpun yang akan membantah bahwa sasaran dari "laskar jihad" adalah
warga negara Indonesia non-Muslim, dan warga Kristen adalah "target utama".
Mereka sengaja "meng-Kristenkan FKM/RMS" untuk menghalalkan tujuan semu
mereka di Maluku, yaitu menjadi pembela keutuhan bangsa terhadap kegiatan
separatisme Kristen. Mereka mencoba menerapkan kebohongan yang sama, ketika
mencoba menghalalkan penyusupan mereka ke Poso, melalui pernyataan bodoh,
bahwa "warga Kristen Poso adalah keturunan Alif’uru dan terlibat dengan RMS".
Mereka tetap menyebarkan fitnah dan hasutan ke seluruh pelosok tanah air tentang
RMS-Kristen, walaupun berbagai tokoh dan Pemimpin Islam, baik di Maluku maupun
di luar Maluku, telah memberikan pernyataan bahwa "warga Islam Maluku adalah
pendukung RMS juga". Hasutan dan tipuan yang sama mereka sebarkan juga, untuk
"mengkristenkan FKM". Kenyataan bahwa "Sekjen Dewan Papua adalah seorang
MUSLIM", tidak akan menghentikan penyebaran hasutan dan fitnahan mereka bahwa
gerakan Papua Merdeka adalah gerakan "separatisme Kristen". Isu "separatisme
Kristen" ini bukan milik "laskar jihad" sendiri. Berbagai kesatuan TNI/POLRI yang
dikirim ke Maluku, memberikan pengakuan bahwa "indoktrinasi yang mereka terima
sebagai tugas utama mereka di Maluku, adalah untuk menumpas gerakan separatis
Kristen"! Ketika "laskar jihad" telah berhasil "mengislamkan rencana dan tindak
kejahatan mereka", Pemerintah RI semakin tidak berdaya untuk menangani kelompok
perusuh yang sudah "diislamkan" ini. Karena itulah, Pemerintah RI tidak berupaya
membersihkan Maluku (dan Poso) dari "laskar jihad", yang mereka tahu persis,
berpotensi besar untuk terus merusuhkan Maluku (dan Poso).
Sementara itu, Konflik Maluku ternyata menghantar rakyat Maluku untuk "mengenal
diri" mereka yang sebenarnya, terhadap NKRI. Kerusuhan yang berkepanjangan
memberikan dorongan bagi rakyat Maluku untuk memandang ke belakang di dalam
penelusuran kembali sejarah Maluku. Dari sana, rakyat Maluku berani menampik
ucapan Soekarno, bahwa "Maluku adalah anak nakal di dalam keluarga". Maluku
adalah "tetangga yang dicaplok Soekarno dan RI-nya", lalu ditekan dan diperas RI
sejak tahun 1950. Secara fisik, Maluku sudah jatuh-bangun karena pemerasan dan
kerusuhan yang berkepanjangan. Tetapi secara moril, Maluku ternyata bangkit dan
menjadi MOMOK bagi Pemerintah RI. Ketidak-puasan rakyat Maluku terhadap sikap
Pemerintah RI di dalam menangani Konflik Maluku, melahirkan "Forum Kedaulatan
Maluku" pada bulan Desember 2000 yang lalu, untuk mencari dan mengembalikan
"Kedaulatan Maluku" kepada rakyat Maluku, rakyat Alif’uru". FKM lebih dari mampu
untuk memberikan argumentasi dan bukti ilmiah bahwa RMS memenuhi semua
ketentuan dan peraturan internasional untuk menjadi sebuah negara berdaulat. RMS
tidak memberontak pada tahun 1950, dan RI adalah agresor yang telah melanggar
hukum internasional dan menghianati isi konvensi Linggarjati sampai ke Meja Bundar.
FKM telah berulang-kali mengirimkan surat dengan isi yang kurang lebih sama,
kepada berbagai komponen Pemerintahan RI, beberapa Negara di Dunia dan PBB.
FKM mengajak pemeritah RI dan pihak Internasional untuk menggelar semacam
"mahkamam internasional" berkaitan dengan masalah RMS. Sementara Pemerintah
RI tidak pernah menjawab surat FKM, Pemerintah RI terus berdalih bahwa Maluku
adalah masalah internal Indonesia. Sikap Pemerintah RI tidak memberikan sedikit
kesanpun bahwa RI memang memiliki kebenaran di dalam masalah RMS.
Sejalan dengan hakekat RMS, FKM juga berjuang untuk keseluruhan rakyat Maluku,
Salam-Sarani. RMS memiliki "Ibrahim Ohorella", sebagai "Menteri Sosial", dan FKM
memiliki "Umar Santi" sebagai "Ketua Regional Eropa". Begitu fanatiknya seorang
Muslim Maluku asal desa Pelauw, "Duba Latuconsina", sehingga memberikan nama
"RMS. Latuconsina" kepada anaknya yang dipanggil dengan sebutan "Wan
Latuconsina". Karena itu, apa yang dilakukan "laskar jihad" dengan "mengkristenkan
RMS/FKM" adalah semacam penipuan, pembodohan dan agitasi, yang harus
dianggap sebagai kejahatan. Tulisan Rustam Kastor yang dibukukan adalah sebuah
"kejahatan secara terang-terangan" di depan hidung Pemerintah RI, termasuk TNI dan
POLRI. Baik "laskar jihad" maupun "Rustam Kastor", tetap bebas merdeka sampai
saat ini, dan terus menyebarkan tipuan serta hasutan yang mendiskreditkan umat
Kristen Maluku. Sementara RMS dikristenkan melalui Suaidi Marasabessy, ratusan
BENDERA RMS disita dari Mesjid AL FATAH dan dari daerah Muslim-Galunggung.
Peristiwa ini memang sempat membungkamkan Suaidi Marasabessy. Sekarang,
isu-isu RMS-Kristen dan penemuan Bendera RMS kembali disebarkan oleh berbagai
Ormas Islam seperti FSUIM, FPIM, Satgas Amar Ma’rus Nahi Mungkar, termasuk
Radio SPMM, dan sebagainya.
Walaupun Gereja Protestan Maluku (GPM) pernah mengirim "Pesan Tobat" kepada
Dr. Chris Soumokil, Presiden RMS, dan bersikap sebagai anjing dan kucing terhadap
FKM, GPM tetap dituduh sebagai "pendukung gerakan separatisme Kristen Maluku".
Sementara Dr. Adnan Buyung Nasution pernah menjadi "pembela para Jenderal"
dalam kasus HAM di Timor Lorosae, tanpa dituduh sebagai "kader TNI" atau
"pendukung pelanggaran HAM", "Pileo Pistor Noija, SH" yang membela dr. Alex
Manuputty, Ketua FKM, di dalam kasus Pengibaran Bendera RMS sebagai tindakan
pelanggaran terhadap maklumat PDSD-Maluku, dituduh sebagai "kader FKM", dan
"perancang kerusuhan Maluku" yang menyusup ke Malino. Melalui fitnahan ini,
"laskar jihad" mencoba menggagalkan kelanjutan proses perdamaian Maluku pasca
Deklarasi Malino II, menghasut umat Islam, dan memelihara kerusuhan Maluku,
bahwa Deklarasi Malino II adalah sebuah konspirasi Pemerintah RI dengan kelompok
separatis RMS/FKM-Kristen, tetapi Pemerintah RI tidak berbuat apa-apa. Mengapa?
Secara kasar, dapatlah dikatakan bahwa Pemerintah RI sedang terjepit di antara
"dosa lama" dan "kejahatan masa kini". Jika Maluku nantinya benar-benar damai dan
keadaan Darurat Sipil dicabut, maka FKM akan lebih mudah untuk bergerak, untuk
memperoleh berbagai dukungan terhadap pengembalian kedaulatan Maluku ke
Maluku. Jika Pemerintah RI mampu membuktikan bahwa RMS memang
memberontak terhadap RI, sudah sejak lama FKM dihabisi. Walaupun Wapres RI,
Hamzah Haz mengatakan bahwa "RMS adalah pemberontak yang melanggar
Konstitusi", dia sendiri akan sulit untuk menunjuk "Konstitusi yang dilanggar".
UUD-1945 TIDAK berlaku saat itu, hingga Juli 1959. Karena itu, Pemerintah Indonesia
akan sengaja membiarkan masalah FKM/RMS menjadi berlarut-larut tanpa
penyelesaian tuntas. Di dalam hal ini, "laskar jihad" kembali mengambil keuntungan
dari ketidak-tegasan Pemerintah RI, untuk mendiskreditkan umat Kristen Maluku, dan
demi terlaksananya "tujuan utama – penghijauan Maluku"! Pemerintah RI tahu benar
apa yang dilakukan "laskar jihad", tetapi itulah satu-satunya jalan yang tersedia bagi
Pemerintah RI untuk "membungkam FKM/RMS"! Jadi, seharusnya saya mengatakan
bahwa "Pemerintah RI menggunakan kajahatan masa kini, untuk menghindari
tanggung jawab atas dosa masa lalu"!
Karena di dalam masalah FKM/RMS ini, tokoh-tokoh Kristen Maluku lebih vokal,
maka warga Kristenlah yang harus dijadikan sasaran utama. Temperamen yang tinggi
dan sikap spontan atau reaktif dari orang Maluku, sekarang ini benar-benar
dimanfaatkan, baik oleh Pemerintah RI, maupun oleh "laskar jihad". Ketidak seriusan
Pemerintah RI terhadap perdamaian Maluku, dan keseriusan "lsakar jihad" untuk
tetap merusuhkan Maluku, sudah mengakibatkan musnahnya Gedung DPRD-II Kota
Ambon, dan Kantor Gubernur Maluku. Keadaan seperti inilah yang benar-benar
diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh Pemerintah RI dan "laskar jihad". Mereka tidak
akan segan-segan mengklaim Pembakaran Kantor Gubernur Maluku, sebagai ulah
FKM/RMS Kristen, untuk melumpuhkan Pemerintahan Daerah dan sebagai persiapan
menjelang 25 April 2002 mendatang. FKM/RMS akan dijadikan kambing-hitam,
dituduh sebagai kelompok separatis Kristen, perancang kerusuhan, pembenci Islam,
dll., tetapi tidak satupun dari tuduhan-tudahan tersebut akan pernah "resmi dibuktikan
di Pengadilan"! Begitupun, rakyat Maluku akan tetap menjadi sasaran "hukuman tak
resmi", baik sebagai penerima peluru aparat, TNI/POLRI ataupun sebagai sasaran api
dan ampas bom "laskar jihad". Rakyat Maluku akan didesak terus sampai ke batas
ketahanan dan kesabaran mereka, dan kemudian dihukum secara tidak resmi karena
melakukan perlawanan.
Usaha pendamaian harus digelar di Maluku, supaya Pemerintah RI terlihat bagaikan
gadis cantik di depan tetangga sedunia, tetapi Maluku jangan sampai damai, supaya
dosa masa lalu si gadis akan tetap terkubur. Karena itu, tidak salah jika kita
mengukur kesungguhan dan itikad baik Pemerintah RI, melalui "apa yang dilakukan
Pemerintah RI terhadap "laskar jihad" di Maluku!" Bersihnya Maluku dari "laskar
jihad" adalah cerminan bersihnya itikad Pemerintah RI terhadap Maluku, dan
sebaliknya!
Salam Sejahtera!
JL.
|