The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Ketidakjujuran Lembaga Ilmiah, CSIS


Ketidakjujuran Lembaga Ilmiah, CSIS
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya

Re: RMS, Negara Gagal, dan Persatuan Indonesia

Salam Sejahtera!

Saudara-saudaraku semua,

Saya tak habis bertanya, "yang baik dari Indonesia ini tinggal apa saja?" Berbagai tokoh yang katanya cukup cendekia, ternyata tidak lebih dari pengecut yang berlagak bodoh atau memang bodoh. Ada yang berlagak menjadi ‘sejarawan', tetapi akhirnya malah mengingkari kebenaran sejarah itu sendiri. Sebagian lagi mengaku sebagai ahli hukum dan mati-matian menuntut penegakkan hukum dan keadilan, tetapi akhirnya melarikan diri dari kebenaran dan keadilan, untuk terjebak ke dalam praktek pembenaran diri dan golongan demi solidaritas sektarian murahan! Di antaranya, berkeliaran segelintir politisi, pejabat pemerintah, petinggi militer/ bekas militer dan pemuka agama, yang hanya pandai berbicara, tanpa mampu mendasari pembicaraannya dengan hukum dan kenyatan sejarah. Lalu, muncul serang pakar CSIS, Centre for Strategic and International Studies, Indra J. Piliang, yang sepertinyan tahu banyak tentang Maluku (Kompas, 6 Mei 2002). Apa benar? Mari kita telusuri!

INDRA J PILIANG: RMS, Negara Gagal, dan Persatuan Indonesia

JOSHUA: Judul yang kedengarannya meyakinkan! Sebuah kegagalan itu dapat disebabkan oleh faktor internal, external, atau keduanya sekaligus. Persatuan Indonesia adalah ideologi, yang memerlukan jabaran formal di dalam bentuk hukum, jika menyangkut masalah tertitorial, sebab "Serawak (Kalimantan Utara) di zaman Orla" dan "Timor Lorosae di zaman Orba" adalah saksi dari kegagalan penerapan ideologi Persatuan Indonesia yang tidak berasarkan hukum! Saya kuatir, judul ini hanya nyaring berbunyi, tetapi kosong di dalamnya!

INDRA J PILIANG: AKSI pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April 2002 mengundang kegundahan. Laporan media massa Jakarta, Jumat (26/4/), memperlihatkan sebuah foto yang jelas-jelas tertulis nama sebuah tempat peribadatan sebagai Kantor RMS.

JOSHUA: Saya jadi bertanya, apakah CSIS menghalalkan sebuah kesimpulan yang diambil berdasarkan data laporans dari satu media massa SAJA, dan tidak memberikan keharusan untuk menyelidiki sendiri karena miskinnya data pembanding? Yang terlihat pada photo tersebut bukan kantor RMS, dan dinding bertulis tersebut adalah dinding rumah, bukan Gereja! Masakan seorang pakas CSIS tidak bisa membedakan "papan nama" dari "coretan di tembok"?

INDRA J PILIANG: Dalam berita lain, juga terdengar seruan nama Allah SWT dari tempat peribadatan agama lain. Seakan, unsur agama dan politik bercampur kental. Orang awam pembaca berita akan segera tahu, pesan yang disampaikan RMS adalah keinginan membentuk negara agama.

JOSHUA: Inikah hasil analisa sebuah badan selevel CSIS? Apa hubungan antara "pesan RMS" dengan "seruan nama Allah SWT" tidak jelas, sebab tidak dikatakan bahwa di tempat yang menyerukan nama Allah SWT tersebut, tepampang tulisan "Anti RMS"! Orang ini ini hanya ingin menggiring pembaca ke arah yang dia kehendaki, seperti layakya seorang provokator dan tidak menerapkan potensi seorang pakar CSIS di sini! Apakah orang ini memang tidak tahu apa-apa tentang RMS? Jika tidak tahu, lalu apa gunanya nama keren, "Internatiobnal Studies" itu?

INDRA J PILIANG: Bagaimana kita melihat fenomena ini? Benarkah keadaan sudah demikian runyam sehingga media massa nasional terpaksa memperlihatkan foto itu? Bagaimana bila foto itu dibaca kalangan pembaca pers luar negeri? Akankah mereka melihat RMS adalah bentuk lain dari perjuangan PLO di Palestina yang ada di tanah Indonesia? Simpang siurnya pemberitaan model ini kian sulit dicegah, seperti sudah banyak terjadi selama ini, juga akibat sejumlah kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di luar negeri dengan ujung tombak kedutaan-kedutaan besar kita.

JOSHUA: Jangan cuma bisa bertanya dan berakting seakan-akan yang dihadapi itu adalah masalah amat rumit! Mengapa tidak menggunakan kapasitas International Studies dan selidiki reaksi Internasional, kalau itu bukan sekedar nama kosong?! Jangan menembakkan kabut asap di sekeliling untuk berlindung dari kenyataan, lalu membolak-balik kenyataan bahwa pihak internasional-lah yang terhalang pandangannya! Jangan jadikan rakyat indonesia seperti "burung onta yang menyembunyikan kepalanya di dalam debu, lalu berpikir bahwa karena dia tidak bisa melihat musuhnya, maka musuhnya juga tidak bisa melihat dia." Pihak internasional sudah lebih dari tahu, apa dan siapa itu Indonesia!

INDRA J PILIANG: Maluku telah identik dengan kekerasan. Selama ini orang menyebutnya sebagai konflik horizontal bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Ketika aspirasi separatisme lewat RMS menguat, aparatur negara seakan sulit bertindak tegas, sebagaimana komitmen menjaga hasil pertemuan Malino II. Tajuk Rencana (Kompas, 26/4/2002) mempertanyakan efisiensi ketegasan aparat melaksanakan komitmen Malino II. Yang kurang dibahas tajuk itu adalah saat aspirasi RMS mencuat, lalu ditangani secara represif oleh aparat negara, yang akan terjadi adalah konflik vertikal. Konflik vertikal, di negara mana pun, potensial mengundang perhatian dunia internasional.

JOSHUA: Yang ditulis KOMPAS itu bukan Tajuk Rencana, tetapi Tajuk Bencana! Darimana penulis yang pakar CSIS ini memunggut dan menyangkutkan istilah "separatis" pada RMS? Mengapa kompetensi CSIS yang terbaca pada nama International Studies, sepertinya lebih menjurus kepada impotensi sehingga tidak mampu menjangkau hasil penelitian Ms. Karen Parker untuk PBB, misalnya, dan hanya bisa mengekor media massa yang tidak jujur di dalam negara ini? Atas dasar apa CSIS mengkategorikan konflik Maluku sekarang sebagai konflik horosontal, sementara aparat negara masih menembak perusuh yang berbasis pada Laskar Jihad? Apakah CSIS juga mendaulat Laskar Jihad sebagai Pejuang Pembela Integrasi NKRI? Saya, anak Maluku, melihat Maluku sebagai korban kejahatan, panjarahan, kemunafikan dan kekerasan RI/NKRI!

INDRA J PILIANG: Sikap aparat untuk berhati-hati atas keberadaan RMS tentu beralasan. Sikap itu juga ditunjukkan ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengibarkan bendera OPM di tanah Papua. Butuh berhari-hari untuk menurunkan bendera itu. Karena itu, sebagaimana penjelasan seorang kawan yang sudah lama melakukan penelitian dan perjalanan di Papua, bendera bintang kejora sudah menjadi semacam lambang sakral sejumlah suku di Papua.

JOSHUA: Mengeneralisasi RMS, OPM, GAM, dll. ke dalam satu kategori-"gerakan separatisme", tidak harus dilakukan oleh badan setara CSIS, sebab seorang tukang ojek di pasar kaget, Ambon, juga bisa melakukannya! Kelebihan CSIS dari tukang ojek di Ambon, justeru terlihat dari kamampuannya untuk "membedakan apa yang Indonesia klaim sebagai kelompok separatis tersebut!" Bendera RMS bukan barang sakral, tetapi "lambang kebangsaan Alif'uru" yang SAH menurut hukum dan konvensi internasional! Benang Raja bukan bendera suatu gerakan, tetapi Lambang dari suatu nagara yang SAH, menurut Konstitusi RIS, ketentuan internasional tentang syarat-syarat bagi berdirinya sebuah negara, dan Konvensi Internasional, Linggarjati hingga Meja Bundar! Apahak CSIS pernah meneliti isi perjanjian Linggarjati – Meja Bundar atau tidak? Saya kuatir, melihatnya saja belum atau enggan

INDRA J PILIANG: Ketegasan aparat tentu diperlukan, guna menghadapi pihak-pihak yang melanggar perjanjian Malino II. Akan tetapi, soal RMS sudah masuk dimensi lain. Sama halnya dengan bagaimana aparat menghadapi Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Ia sudah masuk kategori gerakan separatisme, sebagian atas nama nasionalisme etnik, sebagian lain atas nama nasionalisme relegius.

JOSHUA: Sdr. Penulis dan peneliti CSIS tidak seharusnya ‘memulung' tembakau bekas kunyahan orang-orang munafik seperti Amin Rais, Hamzah Haz, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Jaffar Umar Thalib, dll., tetapi keluar dengan produk ilmiah hukum sebagai dasar "penggolongan RMS ke dalam kelompok separatisme"! Dengan demikian, SCIS tidak usah bertumpu pada ungkapan tak bermakna seperti ‘nasionalisme etnik dan sektarian', nasionalisme sampalan, dengan teori ‘separatisme' jalanan atau produk obrolan di warung kopi! Aparat, mewakili Pemerintah NKRI akan bisa bertindak tegas, jika NKRI mampu membuat Keputusan Formal, menggantungya pada Lembaran Negara, dan mendistribusikannya kepada semua Perwakilan Negara-Negara asing, bahwa "RMS adalah kelompok separatis!" SCIS bisa jadi pahlawan dalam hal ini, jika lebih punya harga diri untuk tidak menjadi pemulung!

INDRA J PILIANG: Masalah yang lebih besar di Indonesia sebetulnya berangkat dari gagalnya negara, sebagaimana penjelasan Prof Dr Robert I Rotberg, Direktur Program Konflik John F Kennedy School of Government, Harvard University, dalam sesi diskusi di CSIS (Kompas, 28/3/2002). Bagi Rotberg, indikator negara-negara yang gagal adalah cenderung menghadapi konflik berkelanjutan, kekerasan komunal maupun kekerasan negara amat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, atau bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.

JOSHUA: Saya tidak menentang teori Rotberg, tetapi saya mempertanyakan relevansi pengungkapan "cirri-ciri" negara yang gagal di dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik Maluku! Sebagai sebuag badan Intelektual Strategis, seharusnya CSIS muncul dengan ulasan tentang "faktor penyebab kegagalan suatu negara", internal dan atau eksternal! Dengan demikian, pembaca akan disuguhi dengan ulasan tentang korupsi, penindasan, penyelewengan hukum, pelanggaran HAM, kebangkrutan (internally collapsed) dan atau aneksasi (external aggression).

INDRA J PILIANG: Teori gagalnya negara itulah yang kini kian tampak di Indonesia. Maluku memberi sumbangan besar bagi kapal Titanik Indonesia karena kebocoran yang diakibatkan perang sipil (civil war) di sana sudah memprihatinkan, ditambah kemunculan RMS yang seperti mengail di air keruh.

JOSHUA: Di sinilah kejujuran seorang peneliti CSIS diuji! Maluku BUKAN pemberi sumbangan bagi gagalnya NKRI, tetapi "pembengkokkan dan penipuan Sejarah Maluku, pengerukan, penindasan dan kesewenangan, pelanggaran hukum dan HAM, serta pengembangan dan penyuntikkan paham sektarian rendah – idiotic mayoritas, oleh RI/NKRI", adalah sumbangan NKRI bagi keruntuhannya sendiri! KKN yang berakar dan membudaya di dalam tubuh NKRI, menyebabkan NKRI terlihat seperti "pesawat Gatotkaca-nya IPTN/Habibie di dalam perang" – tidak usah ditembak, nanti juga jatuh sendiri! Kemunafikan, seperti yang terlihat di dalam tulisan ini, di dalam tubuh NKRI sudah mencapai taraf menjijikkan dan menyeramkan! Istilah "mengail di air keruh" hanya tepat digunakan, jika RMS dapat dibuktikan secara ilmiah dan formal sebagai gerakan separatis, sebab tidak ada orang yang mengail di air keruh karena ingin menjadi tuan di rumahnya sendiri! Jangan dilupakan bahwa RI/NKRI juga gagal mencaplok "Serawak dan Timor Lorosae" (keserakahan yang menjerumuskan diri sendiri)!

INDRA J PILIANG: Bila pemerintah dan masyarakat tidak hati-hati menyikapinya, justru akan memancing tumbuhnya perlawanan, bersenjata atau tidak. Berbeda dengan daerah-daerah konflik di tempat lain, Maluku telah dipenuhi timbunan bahan persenjataan, bahan peledak atau senjata ringan, terbukti dengan ledakan beberapa bom dan kebakaran atas instansi-instansi resmi pemerintah.

JOSHUA: Lagi-lagi, peneliti CSIS terlihat seperti penulis komik murahan! Sepandai apapun seseorang, apakah buah intelektualnya itu akan menjadi gizi atau racun bagi orang banyak, tergantung dari tingkat kejujuran dan kebersihan akhlaknya! Penulis CSIS mengatakan "perlawanan bersenjata atau tidak", tetapi hanya mengemukakan masalah "penumbunan senjata dan amunisi", dan secara licik menghubungkannya dengan kegiatan RMS. Padahal, RMS tidak menjarah Gudang Senjata Brimob Tantui, dan tidak menggunakan amunisi buatan PINDAD, Bandung! Poso juga bertimbun senjata dan amunisi, sementara RMS tidak ada di sana, dan bahkan satupun gerakan separatis tidak ada di Poso! Kalau masih punya sedikit akhlak manusiawi, pikrikan sendiri, siapa penimbun senjata dan amunisi yang saya maksudkan! Lagipula, apakah badan sekaliber CSIS tidak mampu membedakan FKM dari RMS (kesamaannya sudah diketahui tukang ojek di Ambon, mas!)?

INDRA J PILIANG: Gagalnya negara juga terhubung dengan korupsi yang makin terang-terangan. Ketika Belanda merayakan empat abad VOC, pelajaran utama yang bisa ditarik adalah sebab-sebab kehancuran VOC. VOC hancur karena korupsi, baik oleh pejabat-pejabatnya sendiri, maupun lewat aparatur ambtenaar pribumi yang menjadi perpanjangan tangan VOC. Kegagalan VOC jugalah yang kemudian menimbulkan periode Tanam Paksa di Indonesia untuk menutupi kas pemerintahan Belanda yang bangkrut ketika menghadapi gerakan "separatisme" kala itu, terutama Perang Diponegoro, Imam Bonjol, dan Perang Aceh.

JOSHUA: Saya tidak menentang pendapat ini, tetapi harus saya katakan bahwa sebagai peneliti CSIS, penulis seharusnya menyinggung faktor mendasar dari kegagalan VOC, dan juga kegagalan semua bentuk kolonialisme di dunia, "penindasan, penyelewengan hukum dan pelanggaran HAM"! Zaman berkembang, dan komunitas dunia sudah keluar dari zaman "hukum rimba", kecuali segelintir tokoh dan ormas yang di Indonesia yang masih ingin kembali ke sana!

INDRA J PILIANG: Aspek pembiayaan atas penumpasan gerakan separatisme ini juga yang membangkrutkan negara Indonesia, selain penyalahgunaan dana negara untuk kepentingan satu-dua orang koruptor. Belum lagi mentalitas aparat dan politisi yang dengan jumawa lebih banyak mengalokasikan dana buat kepentingan sendiri, bukan demi kepentingan rakyat. Dengan demikian, korupsi kini tidak tepat lagi disebut sebagai kanker, tetapi telah masuk level AIDS. Ia menular akibat perselingkuhan liar kekuasaan. Kalau kanker masih bisa disembuhkan (mulai dari kanker hati sampai otak), AIDS belum ketemu obatnya, kecuali hukuman eutanasia bagi penderitanya.

JOSHUA: No comment!

INDRA J PILIANG: Dalam beberapa kasus, sebagaimana diungkap seorang warga negara Indonesia yang sudah 30 tahun tinggal di Jerman kepada penulis, Indonesia bukan hanya korban dari imperialisme teritorial, ekonomi dan budaya, malah telah masuk zona imperialisme korupsi, menyangkut sejumlah perjanjian internasional yang merugikan Indonesia karena mark up, dan lain-lain. Keberadaan seorang petinggi lembaga asing yang dulu bernegosiasi dengan Indonesia, lantas kini menjadi konsultan sebuah perusahaan multinasional yang berbasis di Indonesia, juga ditanyakan orang ini, mengingat tidak sesuai etika dan nilai-nilai masyarakat negara asal. Orang itu tentu tahu banyak informasi tentang Indonesia, sejumlah dokumen perjanjian yang sudah ditandatangani, atau mempunyai jaringan koneksi di pemerintahan.

JOSHUA: No comment!

INDRA J PILIANG: BANGKITNYA RMS dapat dipandang sebagai sikap paling keras dan radikal dari elemen-elemen masyarakat Maluku atas pola manajemen pemerintahan. Maluku makin identik sebagai "Republik Malu Aku"-mengambil sebagian judul puisi Taufik Ismail-Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Kata "republik" di sini tentu terhubung dengan adanya satu wilayah yang mempunyai masalah sendiri, yang sulit untuk ditanggulangi pemerintah yang berwenang. "Republik Malu Aku" adalah simbol the lost country yang ada dalam wilayah Republik Indonesia yang kita cintai ini.

JOSHUA: Paralelisme dilanggar! Penulis mengatakan bahwa "malu aku" adalah milik NKRI, dan karena itu dia harus menyatakan bahwa "masalah adalah milik NKRI!" FKM sudah membuktikan bahwa RMS adalah Negara yang SAH, dan karena itu bersedia berdebat atau maju ke pengadilan internasional melawan NKRI, tetapi NKRI tetap bungkam, lalu bermain petak-umpet di dalam kemunafikan! Sejujurnya, siapa yang bermasalah? The lost country, or in a more appropriate term, the annexed country, is back and it scares NKRI!

INDRA J PILIANG: Pemerintah sendiri, lewat Wapres Hamzah Haz, menempatkan separatisme sebagai gerakan yang harus ditumpas (Kompas Cyber Media, 26/4/02). Alasannya, merusak cita-cita kemerdekaan berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kaitannya dengan separatisme, sikap keras ini tentu dengan mengedepankan hak-hak asasi manusia, dan hak warga negara dalam bingkai demokrasi. Tetapi ada satu persoalan dengan konsep Negara Kesatuan. Konsep ini sudah banyak mendapat kritikan, termasuk dengan wacana negara federal. Bagi sejarawan kritis seperti Anhar Gonggong, konsep kesatuan ini cenderung ditolak. Sebab sejak awal Indonesia disebut sebagai negara persatuan, bukan negara kesatuan. Butir ketiga Pancasila juga tegas-tegas menyatakan Persatuan Indonesia.

JOSHUA: Seperti yang saya katakan semula, produk hukum formal NKRI harus tercantum di dalam Lembaran Negara, dan terhadap RMS, hal itu belum pernah atau mungkin malah tidak pernah dilakukan NKRI! Jangan merendahkan CSIS dengan mengutip "obral-obrol selepas sholat", dari para hipokrit seperti Hamzah Haz, dan menjadikannya sebagai Permyataan resmi Pemerintah NKRI!

INDRA J PILIANG: Dimensi "kesatuan" atau "persatuan" ini saja demikian luas. Perdebatan akan amat panjang, terhubung dengan konsep negara integralistik, atau model beamtenstaat negara Orde Baru, atau lari ke masa jauh di belakang: negara agraris atau pesisir (Majapahit/Mataram atau Sriwijaya). Dengan persatuan, negara tak bersifat tunggal menerjemahkan aspirasi warga negara. Persatuan mensyaratkan adanya persamaan hak di antara kelompok-kelompok yang diajak bersatu. Artinya masih ada ruang kebebasan yang tetap dimiliki, meski sebagian diserahkan berupa social contract yang terumuskan lewat konstitusi negara dan konvensi bernegara.

JOSHUA: Tidak usah terlalu kauh ke belakang, sehingga membingungkan orang, padahal ada RIS yang bisa diulas panjang-lebar! Dengan menganalisa RIS (yang juga dianeksasi RI secara illegal), penulis CSIS mungkin bisa mengemukakan faktor "keunikan ras" sebagai kelebihan RIS, sekaligus menghilangkan penyebaran konsep munafik, bahwa RIS semata-mata hanyalah bentukan kolonial untuk menjamin kepentingan mereka!

INDRA J PILIANG: Apabila model Negara Kesatuan terus dikedepankan, akan mudah terjebak kepada negara diktator. Padahal, dalam sistem kepartaian sekarang, aspirasi antarpartai saja begitu berbeda, bahkan aspirasi di dalam partai. Tidak mungkin ada satu partai tunggal. Karena model penunggalan inilah yang membuat rezim Orde Baru begitu kuat, berupa pengakuan hanya ada satu organisasi buruh, wartawan, petani, nelayan, dan lain-lainnya, dengan ideologi tunggal Pancasila.

JOSHUA: Perhatikan juga bahwa "pemaksaan kemanunggalan" sudah bergeser dari Pancasila ke Syariat Islam, yang lebih mendirikan bulu roma, dibandingkan dengan sekedar sebuah kediktatoran, dengan Laskar Jihad sebagai milisi sipil bersenjata yang berfingsi sebagai pasukan pemunah faktor kebinekaan dan kebebasan beriman!

INDRA J PILIANG: Maka, empati harus diberikan kepada apa pun bentuk perbedaan yang muncul. Jangan sampai, negara persatuan berubah menjadi negara persatean, dimana negara menusuk setiap perbedaan aspirasi, lalu menjadikannya sebagai "makanan" penyelenggara negara. Kita tentu menunggu, agar model "Republik Malu Aku" tertangani, dengan melibatkan elemen-elemen yang berseberangan pendapat di Indonesia untuk menyikapinya. Jalan kekerasan tentu merupakan jalan terakhir. Apalagi Indonesia menghadapi berbagai bentuk masalah yang membutuhkan penanganan, antara lain memberi kelayakan minimal kepada warga negara untuk hidup, baik pangan, papan, dan sandang. Kewajiban penyelenggara negara memenuhi kebutuhan itu, mengingat penyelenggara negara sudah diberi hak untuk memanfaatkan kekayaan alam demi sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk, bukan pemimpin. Sebab kasus "Republik Malu Aku" bukan hanya terjadi di Maluku, tetapi juga di berbagai penjuru Indonesia lainnya.

Indra J Piliang Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta

JOSHUA: Ada beberapa hal yang ingin saya ajukan sebagai aspirasi anak Maluku! Yang harus dikategorikan sebagai negara "Malu Aku" adalah NKRI! Taufik Ismail sudah menetapkan yang benar dan jangan dipelintir! Negara "persatean" yang dimaksudkan dapat juga terbentuk di dalam "negara Pesantren", yang juga menusuk segala bentuk perbedaan. Sandang, pangan dan papan adalah kebutuhan sekunder yang ikut menentukan kelayakan hidup manusia. Tetapi kebutuhan rohani adalah faktor primer yang mendasari kehidupan manusiawi, yang harus bebas berkembang menurut pilihan setiap insan merdeka, berdasakan hukum, keadilan sosial dan perikemanusiaan! Maluku, sudah menjadi sorga bagi kehidupan keagamaan yang bebas di dalam persaudaraan, selama ratusan tahun, di luar maupun di dalam RMS! NKRI-lah yang mengubah sorga tesebut menjadi neraka, melalui suntikan konsep bar-bar – proporsionalitas –Habibie/ICMI, yang didasarkan pada paham idiotic mayoritas! Di lain waktu, munculkan produk pemikiran yang berbobot, jujur dan tidak munafik, sebagaimana layaknya produk sebuah badan ilmiah seperti CSIS!

Salam Sejahtera!

JL.
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kariu67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044