Ketidakjujuran Lembaga Ilmiah, CSIS
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Re: RMS, Negara Gagal, dan Persatuan Indonesia
Salam Sejahtera!
Saudara-saudaraku semua,
Saya tak habis bertanya, "yang baik dari Indonesia ini tinggal apa saja?" Berbagai
tokoh yang katanya cukup cendekia, ternyata tidak lebih dari pengecut yang berlagak
bodoh atau memang bodoh. Ada yang berlagak menjadi ‘sejarawan', tetapi akhirnya
malah mengingkari kebenaran sejarah itu sendiri. Sebagian lagi mengaku sebagai ahli
hukum dan mati-matian menuntut penegakkan hukum dan keadilan, tetapi akhirnya
melarikan diri dari kebenaran dan keadilan, untuk terjebak ke dalam praktek
pembenaran diri dan golongan demi solidaritas sektarian murahan! Di antaranya,
berkeliaran segelintir politisi, pejabat pemerintah, petinggi militer/ bekas militer dan
pemuka agama, yang hanya pandai berbicara, tanpa mampu mendasari
pembicaraannya dengan hukum dan kenyatan sejarah. Lalu, muncul serang pakar
CSIS, Centre for Strategic and International Studies, Indra J. Piliang, yang
sepertinyan tahu banyak tentang Maluku (Kompas, 6 Mei 2002). Apa benar? Mari kita
telusuri!
INDRA J PILIANG: RMS, Negara Gagal, dan Persatuan Indonesia
JOSHUA: Judul yang kedengarannya meyakinkan! Sebuah kegagalan itu dapat
disebabkan oleh faktor internal, external, atau keduanya sekaligus. Persatuan
Indonesia adalah ideologi, yang memerlukan jabaran formal di dalam bentuk hukum,
jika menyangkut masalah tertitorial, sebab "Serawak (Kalimantan Utara) di zaman
Orla" dan "Timor Lorosae di zaman Orba" adalah saksi dari kegagalan penerapan
ideologi Persatuan Indonesia yang tidak berasarkan hukum! Saya kuatir, judul ini
hanya nyaring berbunyi, tetapi kosong di dalamnya!
INDRA J PILIANG: AKSI pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April
2002 mengundang kegundahan. Laporan media massa Jakarta, Jumat (26/4/),
memperlihatkan sebuah foto yang jelas-jelas tertulis nama sebuah tempat
peribadatan sebagai Kantor RMS.
JOSHUA: Saya jadi bertanya, apakah CSIS menghalalkan sebuah kesimpulan yang
diambil berdasarkan data laporans dari satu media massa SAJA, dan tidak
memberikan keharusan untuk menyelidiki sendiri karena miskinnya data
pembanding? Yang terlihat pada photo tersebut bukan kantor RMS, dan dinding
bertulis tersebut adalah dinding rumah, bukan Gereja! Masakan seorang pakas CSIS
tidak bisa membedakan "papan nama" dari "coretan di tembok"?
INDRA J PILIANG: Dalam berita lain, juga terdengar seruan nama Allah SWT dari
tempat peribadatan agama lain. Seakan, unsur agama dan politik bercampur kental.
Orang awam pembaca berita akan segera tahu, pesan yang disampaikan RMS
adalah keinginan membentuk negara agama.
JOSHUA: Inikah hasil analisa sebuah badan selevel CSIS? Apa hubungan antara
"pesan RMS" dengan "seruan nama Allah SWT" tidak jelas, sebab tidak dikatakan
bahwa di tempat yang menyerukan nama Allah SWT tersebut, tepampang tulisan
"Anti RMS"! Orang ini ini hanya ingin menggiring pembaca ke arah yang dia
kehendaki, seperti layakya seorang provokator dan tidak menerapkan potensi seorang
pakar CSIS di sini! Apakah orang ini memang tidak tahu apa-apa tentang RMS? Jika
tidak tahu, lalu apa gunanya nama keren, "Internatiobnal Studies" itu?
INDRA J PILIANG: Bagaimana kita melihat fenomena ini? Benarkah keadaan sudah
demikian runyam sehingga media massa nasional terpaksa memperlihatkan foto itu?
Bagaimana bila foto itu dibaca kalangan pembaca pers luar negeri? Akankah mereka
melihat RMS adalah bentuk lain dari perjuangan PLO di Palestina yang ada di tanah
Indonesia? Simpang siurnya pemberitaan model ini kian sulit dicegah, seperti sudah
banyak terjadi selama ini, juga akibat sejumlah kelemahan dalam strategi diplomasi
Indonesia di luar negeri dengan ujung tombak kedutaan-kedutaan besar kita.
JOSHUA: Jangan cuma bisa bertanya dan berakting seakan-akan yang dihadapi itu
adalah masalah amat rumit! Mengapa tidak menggunakan kapasitas International
Studies dan selidiki reaksi Internasional, kalau itu bukan sekedar nama kosong?!
Jangan menembakkan kabut asap di sekeliling untuk berlindung dari kenyataan, lalu
membolak-balik kenyataan bahwa pihak internasional-lah yang terhalang
pandangannya! Jangan jadikan rakyat indonesia seperti "burung onta yang
menyembunyikan kepalanya di dalam debu, lalu berpikir bahwa karena dia tidak bisa
melihat musuhnya, maka musuhnya juga tidak bisa melihat dia." Pihak internasional
sudah lebih dari tahu, apa dan siapa itu Indonesia!
INDRA J PILIANG: Maluku telah identik dengan kekerasan. Selama ini orang
menyebutnya sebagai konflik horizontal bernuansa suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA). Ketika aspirasi separatisme lewat RMS menguat, aparatur
negara seakan sulit bertindak tegas, sebagaimana komitmen menjaga hasil
pertemuan Malino II. Tajuk Rencana (Kompas, 26/4/2002) mempertanyakan efisiensi
ketegasan aparat melaksanakan komitmen Malino II. Yang kurang dibahas tajuk itu
adalah saat aspirasi RMS mencuat, lalu ditangani secara represif oleh aparat negara,
yang akan terjadi adalah konflik vertikal. Konflik vertikal, di negara mana pun,
potensial mengundang perhatian dunia internasional.
JOSHUA: Yang ditulis KOMPAS itu bukan Tajuk Rencana, tetapi Tajuk Bencana!
Darimana penulis yang pakar CSIS ini memunggut dan menyangkutkan istilah
"separatis" pada RMS? Mengapa kompetensi CSIS yang terbaca pada nama
International Studies, sepertinya lebih menjurus kepada impotensi sehingga tidak
mampu menjangkau hasil penelitian Ms. Karen Parker untuk PBB, misalnya, dan
hanya bisa mengekor media massa yang tidak jujur di dalam negara ini? Atas dasar
apa CSIS mengkategorikan konflik Maluku sekarang sebagai konflik horosontal,
sementara aparat negara masih menembak perusuh yang berbasis pada Laskar
Jihad? Apakah CSIS juga mendaulat Laskar Jihad sebagai Pejuang Pembela Integrasi
NKRI? Saya, anak Maluku, melihat Maluku sebagai korban kejahatan, panjarahan,
kemunafikan dan kekerasan RI/NKRI!
INDRA J PILIANG: Sikap aparat untuk berhati-hati atas keberadaan RMS tentu
beralasan. Sikap itu juga ditunjukkan ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM)
mengibarkan bendera OPM di tanah Papua. Butuh berhari-hari untuk menurunkan
bendera itu. Karena itu, sebagaimana penjelasan seorang kawan yang sudah lama
melakukan penelitian dan perjalanan di Papua, bendera bintang kejora sudah menjadi
semacam lambang sakral sejumlah suku di Papua.
JOSHUA: Mengeneralisasi RMS, OPM, GAM, dll. ke dalam satu kategori-"gerakan
separatisme", tidak harus dilakukan oleh badan setara CSIS, sebab seorang tukang
ojek di pasar kaget, Ambon, juga bisa melakukannya! Kelebihan CSIS dari tukang
ojek di Ambon, justeru terlihat dari kamampuannya untuk "membedakan apa yang
Indonesia klaim sebagai kelompok separatis tersebut!" Bendera RMS bukan barang
sakral, tetapi "lambang kebangsaan Alif'uru" yang SAH menurut hukum dan konvensi
internasional! Benang Raja bukan bendera suatu gerakan, tetapi Lambang dari suatu
nagara yang SAH, menurut Konstitusi RIS, ketentuan internasional tentang
syarat-syarat bagi berdirinya sebuah negara, dan Konvensi Internasional, Linggarjati
hingga Meja Bundar! Apahak CSIS pernah meneliti isi perjanjian Linggarjati – Meja
Bundar atau tidak? Saya kuatir, melihatnya saja belum atau enggan
INDRA J PILIANG: Ketegasan aparat tentu diperlukan, guna menghadapi pihak-pihak
yang melanggar perjanjian Malino II. Akan tetapi, soal RMS sudah masuk dimensi
lain. Sama halnya dengan bagaimana aparat menghadapi Angkatan Gerakan Aceh
Merdeka (AGAM). Ia sudah masuk kategori gerakan separatisme, sebagian atas
nama nasionalisme etnik, sebagian lain atas nama nasionalisme relegius.
JOSHUA: Sdr. Penulis dan peneliti CSIS tidak seharusnya ‘memulung' tembakau
bekas kunyahan orang-orang munafik seperti Amin Rais, Hamzah Haz, Din
Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Jaffar Umar Thalib, dll., tetapi keluar dengan produk
ilmiah hukum sebagai dasar "penggolongan RMS ke dalam kelompok separatisme"!
Dengan demikian, SCIS tidak usah bertumpu pada ungkapan tak bermakna seperti
‘nasionalisme etnik dan sektarian', nasionalisme sampalan, dengan teori ‘separatisme'
jalanan atau produk obrolan di warung kopi! Aparat, mewakili Pemerintah NKRI akan
bisa bertindak tegas, jika NKRI mampu membuat Keputusan Formal, menggantungya
pada Lembaran Negara, dan mendistribusikannya kepada semua Perwakilan
Negara-Negara asing, bahwa "RMS adalah kelompok separatis!" SCIS bisa jadi
pahlawan dalam hal ini, jika lebih punya harga diri untuk tidak menjadi pemulung!
INDRA J PILIANG: Masalah yang lebih besar di Indonesia sebetulnya berangkat dari
gagalnya negara, sebagaimana penjelasan Prof Dr Robert I Rotberg, Direktur Program
Konflik John F Kennedy School of Government, Harvard University, dalam sesi diskusi
di CSIS (Kompas, 28/3/2002). Bagi Rotberg, indikator negara-negara yang gagal
adalah cenderung menghadapi konflik berkelanjutan, kekerasan komunal maupun
kekerasan negara amat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, atau bahasa, teror,
jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.
JOSHUA: Saya tidak menentang teori Rotberg, tetapi saya mempertanyakan
relevansi pengungkapan "cirri-ciri" negara yang gagal di dalam kaitannya dengan
penyelesaian konflik Maluku! Sebagai sebuag badan Intelektual Strategis, seharusnya
CSIS muncul dengan ulasan tentang "faktor penyebab kegagalan suatu negara",
internal dan atau eksternal! Dengan demikian, pembaca akan disuguhi dengan ulasan
tentang korupsi, penindasan, penyelewengan hukum, pelanggaran HAM,
kebangkrutan (internally collapsed) dan atau aneksasi (external aggression).
INDRA J PILIANG: Teori gagalnya negara itulah yang kini kian tampak di Indonesia.
Maluku memberi sumbangan besar bagi kapal Titanik Indonesia karena kebocoran
yang diakibatkan perang sipil (civil war) di sana sudah memprihatinkan, ditambah
kemunculan RMS yang seperti mengail di air keruh.
JOSHUA: Di sinilah kejujuran seorang peneliti CSIS diuji! Maluku BUKAN pemberi
sumbangan bagi gagalnya NKRI, tetapi "pembengkokkan dan penipuan Sejarah
Maluku, pengerukan, penindasan dan kesewenangan, pelanggaran hukum dan HAM,
serta pengembangan dan penyuntikkan paham sektarian rendah – idiotic mayoritas,
oleh RI/NKRI", adalah sumbangan NKRI bagi keruntuhannya sendiri! KKN yang
berakar dan membudaya di dalam tubuh NKRI, menyebabkan NKRI terlihat seperti
"pesawat Gatotkaca-nya IPTN/Habibie di dalam perang" – tidak usah ditembak, nanti
juga jatuh sendiri! Kemunafikan, seperti yang terlihat di dalam tulisan ini, di dalam
tubuh NKRI sudah mencapai taraf menjijikkan dan menyeramkan! Istilah "mengail di
air keruh" hanya tepat digunakan, jika RMS dapat dibuktikan secara ilmiah dan formal
sebagai gerakan separatis, sebab tidak ada orang yang mengail di air keruh karena
ingin menjadi tuan di rumahnya sendiri! Jangan dilupakan bahwa RI/NKRI juga gagal
mencaplok "Serawak dan Timor Lorosae" (keserakahan yang menjerumuskan diri
sendiri)!
INDRA J PILIANG: Bila pemerintah dan masyarakat tidak hati-hati menyikapinya,
justru akan memancing tumbuhnya perlawanan, bersenjata atau tidak. Berbeda
dengan daerah-daerah konflik di tempat lain, Maluku telah dipenuhi timbunan bahan
persenjataan, bahan peledak atau senjata ringan, terbukti dengan ledakan beberapa
bom dan kebakaran atas instansi-instansi resmi pemerintah.
JOSHUA: Lagi-lagi, peneliti CSIS terlihat seperti penulis komik murahan! Sepandai
apapun seseorang, apakah buah intelektualnya itu akan menjadi gizi atau racun bagi
orang banyak, tergantung dari tingkat kejujuran dan kebersihan akhlaknya! Penulis
CSIS mengatakan "perlawanan bersenjata atau tidak", tetapi hanya mengemukakan
masalah "penumbunan senjata dan amunisi", dan secara licik menghubungkannya
dengan kegiatan RMS. Padahal, RMS tidak menjarah Gudang Senjata Brimob Tantui,
dan tidak menggunakan amunisi buatan PINDAD, Bandung! Poso juga bertimbun
senjata dan amunisi, sementara RMS tidak ada di sana, dan bahkan satupun gerakan
separatis tidak ada di Poso! Kalau masih punya sedikit akhlak manusiawi, pikrikan
sendiri, siapa penimbun senjata dan amunisi yang saya maksudkan! Lagipula,
apakah badan sekaliber CSIS tidak mampu membedakan FKM dari RMS
(kesamaannya sudah diketahui tukang ojek di Ambon, mas!)?
INDRA J PILIANG: Gagalnya negara juga terhubung dengan korupsi yang makin
terang-terangan. Ketika Belanda merayakan empat abad VOC, pelajaran utama yang
bisa ditarik adalah sebab-sebab kehancuran VOC. VOC hancur karena korupsi, baik
oleh pejabat-pejabatnya sendiri, maupun lewat aparatur ambtenaar pribumi yang
menjadi perpanjangan tangan VOC. Kegagalan VOC jugalah yang kemudian
menimbulkan periode Tanam Paksa di Indonesia untuk menutupi kas pemerintahan
Belanda yang bangkrut ketika menghadapi gerakan "separatisme" kala itu, terutama
Perang Diponegoro, Imam Bonjol, dan Perang Aceh.
JOSHUA: Saya tidak menentang pendapat ini, tetapi harus saya katakan bahwa
sebagai peneliti CSIS, penulis seharusnya menyinggung faktor mendasar dari
kegagalan VOC, dan juga kegagalan semua bentuk kolonialisme di dunia,
"penindasan, penyelewengan hukum dan pelanggaran HAM"! Zaman berkembang,
dan komunitas dunia sudah keluar dari zaman "hukum rimba", kecuali segelintir tokoh
dan ormas yang di Indonesia yang masih ingin kembali ke sana!
INDRA J PILIANG: Aspek pembiayaan atas penumpasan gerakan separatisme ini
juga yang membangkrutkan negara Indonesia, selain penyalahgunaan dana negara
untuk kepentingan satu-dua orang koruptor. Belum lagi mentalitas aparat dan politisi
yang dengan jumawa lebih banyak mengalokasikan dana buat kepentingan sendiri,
bukan demi kepentingan rakyat. Dengan demikian, korupsi kini tidak tepat lagi
disebut sebagai kanker, tetapi telah masuk level AIDS. Ia menular akibat
perselingkuhan liar kekuasaan. Kalau kanker masih bisa disembuhkan (mulai dari
kanker hati sampai otak), AIDS belum ketemu obatnya, kecuali hukuman eutanasia
bagi penderitanya.
JOSHUA: No comment!
INDRA J PILIANG: Dalam beberapa kasus, sebagaimana diungkap seorang warga
negara Indonesia yang sudah 30 tahun tinggal di Jerman kepada penulis, Indonesia
bukan hanya korban dari imperialisme teritorial, ekonomi dan budaya, malah telah
masuk zona imperialisme korupsi, menyangkut sejumlah perjanjian internasional
yang merugikan Indonesia karena mark up, dan lain-lain. Keberadaan seorang
petinggi lembaga asing yang dulu bernegosiasi dengan Indonesia, lantas kini menjadi
konsultan sebuah perusahaan multinasional yang berbasis di Indonesia, juga
ditanyakan orang ini, mengingat tidak sesuai etika dan nilai-nilai masyarakat negara
asal. Orang itu tentu tahu banyak informasi tentang Indonesia, sejumlah dokumen
perjanjian yang sudah ditandatangani, atau mempunyai jaringan koneksi di
pemerintahan.
JOSHUA: No comment!
INDRA J PILIANG: BANGKITNYA RMS dapat dipandang sebagai sikap paling keras
dan radikal dari elemen-elemen masyarakat Maluku atas pola manajemen
pemerintahan. Maluku makin identik sebagai "Republik Malu Aku"-mengambil
sebagian judul puisi Taufik Ismail-Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Kata "republik" di
sini tentu terhubung dengan adanya satu wilayah yang mempunyai masalah sendiri,
yang sulit untuk ditanggulangi pemerintah yang berwenang. "Republik Malu Aku"
adalah simbol the lost country yang ada dalam wilayah Republik Indonesia yang kita
cintai ini.
JOSHUA: Paralelisme dilanggar! Penulis mengatakan bahwa "malu aku" adalah milik
NKRI, dan karena itu dia harus menyatakan bahwa "masalah adalah milik NKRI!"
FKM sudah membuktikan bahwa RMS adalah Negara yang SAH, dan karena itu
bersedia berdebat atau maju ke pengadilan internasional melawan NKRI, tetapi NKRI
tetap bungkam, lalu bermain petak-umpet di dalam kemunafikan! Sejujurnya, siapa
yang bermasalah? The lost country, or in a more appropriate term, the annexed
country, is back and it scares NKRI!
INDRA J PILIANG: Pemerintah sendiri, lewat Wapres Hamzah Haz, menempatkan
separatisme sebagai gerakan yang harus ditumpas (Kompas Cyber Media, 26/4/02).
Alasannya, merusak cita-cita kemerdekaan berupa Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam kaitannya dengan separatisme, sikap keras ini tentu dengan
mengedepankan hak-hak asasi manusia, dan hak warga negara dalam bingkai
demokrasi. Tetapi ada satu persoalan dengan konsep Negara Kesatuan. Konsep ini
sudah banyak mendapat kritikan, termasuk dengan wacana negara federal. Bagi
sejarawan kritis seperti Anhar Gonggong, konsep kesatuan ini cenderung ditolak.
Sebab sejak awal Indonesia disebut sebagai negara persatuan, bukan negara
kesatuan. Butir ketiga Pancasila juga tegas-tegas menyatakan Persatuan Indonesia.
JOSHUA: Seperti yang saya katakan semula, produk hukum formal NKRI harus
tercantum di dalam Lembaran Negara, dan terhadap RMS, hal itu belum pernah atau
mungkin malah tidak pernah dilakukan NKRI! Jangan merendahkan CSIS dengan
mengutip "obral-obrol selepas sholat", dari para hipokrit seperti Hamzah Haz, dan
menjadikannya sebagai Permyataan resmi Pemerintah NKRI!
INDRA J PILIANG: Dimensi "kesatuan" atau "persatuan" ini saja demikian luas.
Perdebatan akan amat panjang, terhubung dengan konsep negara integralistik, atau
model beamtenstaat negara Orde Baru, atau lari ke masa jauh di belakang: negara
agraris atau pesisir (Majapahit/Mataram atau Sriwijaya). Dengan persatuan, negara
tak bersifat tunggal menerjemahkan aspirasi warga negara. Persatuan mensyaratkan
adanya persamaan hak di antara kelompok-kelompok yang diajak bersatu. Artinya
masih ada ruang kebebasan yang tetap dimiliki, meski sebagian diserahkan berupa
social contract yang terumuskan lewat konstitusi negara dan konvensi bernegara.
JOSHUA: Tidak usah terlalu kauh ke belakang, sehingga membingungkan orang,
padahal ada RIS yang bisa diulas panjang-lebar! Dengan menganalisa RIS (yang juga
dianeksasi RI secara illegal), penulis CSIS mungkin bisa mengemukakan faktor
"keunikan ras" sebagai kelebihan RIS, sekaligus menghilangkan penyebaran konsep
munafik, bahwa RIS semata-mata hanyalah bentukan kolonial untuk menjamin
kepentingan mereka!
INDRA J PILIANG: Apabila model Negara Kesatuan terus dikedepankan, akan mudah
terjebak kepada negara diktator. Padahal, dalam sistem kepartaian sekarang,
aspirasi antarpartai saja begitu berbeda, bahkan aspirasi di dalam partai. Tidak
mungkin ada satu partai tunggal. Karena model penunggalan inilah yang membuat
rezim Orde Baru begitu kuat, berupa pengakuan hanya ada satu organisasi buruh,
wartawan, petani, nelayan, dan lain-lainnya, dengan ideologi tunggal Pancasila.
JOSHUA: Perhatikan juga bahwa "pemaksaan kemanunggalan" sudah bergeser dari
Pancasila ke Syariat Islam, yang lebih mendirikan bulu roma, dibandingkan dengan
sekedar sebuah kediktatoran, dengan Laskar Jihad sebagai milisi sipil bersenjata
yang berfingsi sebagai pasukan pemunah faktor kebinekaan dan kebebasan beriman!
INDRA J PILIANG: Maka, empati harus diberikan kepada apa pun bentuk perbedaan
yang muncul. Jangan sampai, negara persatuan berubah menjadi negara persatean,
dimana negara menusuk setiap perbedaan aspirasi, lalu menjadikannya sebagai
"makanan" penyelenggara negara. Kita tentu menunggu, agar model "Republik Malu
Aku" tertangani, dengan melibatkan elemen-elemen yang berseberangan pendapat di
Indonesia untuk menyikapinya. Jalan kekerasan tentu merupakan jalan terakhir.
Apalagi Indonesia menghadapi berbagai bentuk masalah yang membutuhkan
penanganan, antara lain memberi kelayakan minimal kepada warga negara untuk
hidup, baik pangan, papan, dan sandang. Kewajiban penyelenggara negara memenuhi
kebutuhan itu, mengingat penyelenggara negara sudah diberi hak untuk
memanfaatkan kekayaan alam demi sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk,
bukan pemimpin. Sebab kasus "Republik Malu Aku" bukan hanya terjadi di Maluku,
tetapi juga di berbagai penjuru Indonesia lainnya.
Indra J Piliang Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta
JOSHUA: Ada beberapa hal yang ingin saya ajukan sebagai aspirasi anak Maluku!
Yang harus dikategorikan sebagai negara "Malu Aku" adalah NKRI! Taufik Ismail
sudah menetapkan yang benar dan jangan dipelintir! Negara "persatean" yang
dimaksudkan dapat juga terbentuk di dalam "negara Pesantren", yang juga menusuk
segala bentuk perbedaan. Sandang, pangan dan papan adalah kebutuhan sekunder
yang ikut menentukan kelayakan hidup manusia. Tetapi kebutuhan rohani adalah
faktor primer yang mendasari kehidupan manusiawi, yang harus bebas berkembang
menurut pilihan setiap insan merdeka, berdasakan hukum, keadilan sosial dan
perikemanusiaan! Maluku, sudah menjadi sorga bagi kehidupan keagamaan yang
bebas di dalam persaudaraan, selama ratusan tahun, di luar maupun di dalam RMS!
NKRI-lah yang mengubah sorga tesebut menjadi neraka, melalui suntikan konsep
bar-bar – proporsionalitas –Habibie/ICMI, yang didasarkan pada paham idiotic
mayoritas! Di lain waktu, munculkan produk pemikiran yang berbobot, jujur dan tidak
munafik, sebagaimana layaknya produk sebuah badan ilmiah seperti CSIS!
Salam Sejahtera!
JL.
|