HATI-HATI TERHADAP "IMAM PRASODJO"!
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Salam Sejahtera!
Saudara-saudara sebangsa,
Penurunan frekuensi pertikaian dan tindak kekerasan di Poso dan Maluku, sebagai
akibat dari Deklarasi Malino I dan II, mendapat perhatian besar dari pihak
Internasional. Berbagai negara di dunia mulai menunjukkan itikad baik, dengan
menjanjikan dana bantuan bagi pemulihan kedua daerah yang porak-poranda karena
kerusuhan. Konsekwensinya, sebentar lagi jutaan dolar akan mengalir ke Poso dan
Maluku. Sejumlah besar dana yang dijanjikan Menkokesra, Yusuf Kalla, dan alokasi
APBN yang cukup tinggi bagi Poso dan Maluku, terutama di dalam bidang
Pendidikan, akan turut mengalir ke kedua daerah tersebut.
Saya tidak terlalu tahu tentang Poso, tetapi satu hal yang cukup menonjol sempat
catat selama kerusuhan, berhubungan dengan "pertumbuhan LSM-LSM yang
menjamur" di Maluku. Dalam Report No. 242, 28/3/2002, Crisis Center Diocese of
Amboina (CCDA) memuat masalah penyalahgunaan keuangan bantuan luar dan
dalam negeri, oleh berbagai media lokal. Menurut CCDA, diamnya pihak-pihak yang
disorot, adalah "pengakuan" terhadap ulasan berbagai media lokal tersebut.
Rupa-rupanya, aliran dana besar–besaran ke Poso dan Maluku, sempat menarik
perhatian LSM luar Maluku untuk ikut di dalam kompetisi "membuat proposal" bagi
Poso dan Maluku. Salah satu LSM yang saya maksudkan adalah "LSM NURANI
DUNIA" milik "Imam B. Prasodjo". Antara memberitakan bahwa LSM ini mulai
berkiprah di Poso (Rabu, 30 Januari 2002, "Nurani Dunia" Rintis sekolah Perdamaian
di Poso). Sasaran utama LSM ini adalah anak-anak usia SD, yang kata "Ariful Amir"
seorang aktivisnya, berpotensi untuk membina perdamaian masa depan. Sekolah
tersebut akan merupakan gambaran tentang ‘pluralisme’ masyarakat Poso
(berbagai latar belakang agama, ras, dll).
Lain lagi yang disampaikan "Imam Prasodjo" melalui salah satu stasion TV nasional,
ketika mempromosikan sekolah yang sama untuk Maluku. Imam Prasodjo lebih
cenderung menekankan faktor "sebuah tempat bersama", dengan mengambil contoh
dua desa di Ambon, yakni Desa Laha (Islam) dan Desa Tawiri (Kristen). Kedua desa
ini tidak memiliki sesuatu yang bisa disebut sebagai ‘milik bersama’, untuk menjadi
penghubung antar komunitas kedua desa. Untuk itu, kata Imam Prasodjo, ada
baiknya mendirikan sebuah sekolah pada daerah perbatasan kedua desa tersebut.
Karena saya kurang paham tentang adat-istiadat Poso, biarlah saya dasarkan
komentar saya hanya tentang Maluku. Tapi sebelumnya, ada baiknya kita amati
dahulu LSM "Nurani Dunia" ini. Mengapa Imam Prasodjo tidak memilih nama "Nurani
Nusantara" atau "Nurani Pertiwi", untuk LSM-nya? Istilah "Nurani Dunia" seakan-akan
memberikan pernyataan bahwa Imam Prasodjo adalah tokoh "humanisme universal".
Apa benar demikian? Saya pikir, ini terlalu dibesar-besarkan! Imam Prasodjo adalah
seorang yang menganggap "iman Kristen" sebagai sesuatu yang "tidak masuk akal".
Walaupun dia menggunakan istilah "Nurani Surga"-pun, dia tetap bukan seseorang
seperti Gus Dur, tetapi seseorang yang diam-diam tidak menyukai orang Kristen.
Ketika masalah "Sambas" diidentifikasi oleh berbagai Ormas Islam di Indonesia,
sebagai masalah "Islam – non-Islam", dan bukan masalah "ras" antara suku Madura
dan Dayak, Imam Prasodjo, turut mengambil bagian di dalamnya. Walaupun "clurit"
sudah terlalu sering mengalirkan darah orang Dayak, Imam Prasodjo tetap berkeras
bahwa "menenteng clurit" adalah "budaya orang Madura", yang harus dipahami oleh
orang Dayak. Kekasaran dan kesewenangan orang Madura dibenarkan Imam
Prasodjo, dengan menyamakannya dengan sikap orang Batak di Jawa. Padalah,
tidak ada orang Batak yang membawa-bawa parang dan membunuh orang Jawa
seenaknya! Dia memberi tekanan kepada orang Dayak di Sambas yang banyak
Kristennya, tanpa peduli pada kenyataan bahwa Muslim Melayu di sana juga solider
dengan orang Dayak. Itulah pertama kalinya saya menyebut Imam Prasodjo sebagai
"sosiolego" (sosiolog bego).
Ketika masalah "Sampit" sedang hangat, kembali lagi Imam Prasodjo berkiprah di
dalam masalah ras yang diubah menjadi masalah sektarian ini. Dia menggunakan
istilah "kecemburuan sosial warga asli (Dayak) terhadap kemajuan warga pendatang
(Madura), sebagai pemicu konflik, tanpa mempedulikan kenyataan bahwa pendatang
lain seperti Muslim dari Sulawesi dan dari lain daerah tetap tidak disentuh orang
Dayak di Sampit.
Pada saat "kerusuhan politis berbaju agama" melanda Maluku, Imam Prasodjo juga
tidak ketinggalan untuk mendiskreditkan warga Kristen Maluku. Dia mengklaim
bahwa akar kerusuhan Maluku adalah "kesemburuan sosial warga asli Maluku,
terhadap kemajuan warga pendatang, khusunya warga BBM". Warga asli Maluku
yang Muslim, dikatakannya "lebih cenderung memihak Muslim pendatang", sehingga
tinggal warga Kristen Maluku sebagai pihak yang bersalah karena kecemburuan
sosial. Padahal, tidak ada seorang anak Kristen-pun yang bergelandangan dan tidur
di emperan toko dan pasar, menjual tas plastik/kresek dan meminta-minta atau
mencopet. Apakah seorang sosiolog UI tidak becus melihat warga BBM yang
dijadikan "tumbal Al Fatah" untuk memancing umat Islam se-Indonesia? Si sosiolego,
Imam Prasodjo ini! Dia kemudian berkeliling sampai ke Maluku Tenggara, untuk
mengurus pengungsi Muslim, tanpa sedikitpun menyinggung kehadiran dan
kebiadaban "laskar jihad". Rupanya si Sosiolego sedang membuat studi lapangan
untuk menjadi "konglomerat perdamaian" di Maluku. Jika "sosiolego" kurang tepat,
mungkin "sosiolafik" (sosiolog munafik) lebih baik.
Orang ini hanya mencoba mambedaki muka buruknya dengan istilah "Nurani Dunia".
Dia malah tidak layak untuk menggunakan "Nurani Nusantara" sekalipun. Jika Imam
Prasodjo benar-benar ingin menjadi pendamai antara Muslim dan Kristen, apakah dia
pernah menjadi penyalur aspirasi warga Kristen? Selidiki saja, berapa banyak
anggota LSM-nya yang beragama Kristen, supaya anda bisa menilai lagak
"humanisme universal"-nya. Jika LSM-nya memang bergerak di dalam bidang
lingkungan dan sosial, mengapa wajah si Imam Prasodjo tidak muncul di tengah
warga miskin di perkampungan kumuh atau warga miskin yang tertimpa bencana
banjir dan gempa? Mengapa hanya di Poso dan Maluku? Apakah karena dana
bantuan yang menggiurkan atau ada niat yang lain?
Telah ratusan tahun, warga Salam-Sarani Maluku hidup damai di dalam suasana
persaudaraan Pela-Gandong. Dua desa Muslim-Kristen yang bertetangga TIDAK perlu
memiliki sesuatu yang lain sebagai milik bersama. Milik bersama rakyat Alif’uru atau
Alif Ur adalah "Pela-Gandong", yang tidak memerlukan analisa lokasi atau
pemanfaatan daerah perbatasan. Pela-Gandong hidup di dalam hati rakyat Alif’uru,
yang tidak memerlukan dana bantuan dari manapun (untuk mendirikan sekolah
perdamaian).
Coba pikirkan, "Adakah perbedaan antara "sekolah Perdamaian" dengan "sekolah
Negeri/ Pemerintah", dalam hal kepelbagaian latar belakang agama dan ras? TIDAK
ADA! Lalu untuk apa si Imam Prasodjo ini berlagak seakan-akan yang
dipromosikannya ini adalah barang baru yang memang dibutuhkan oleh warga Poso
dan Maluku? Kembali saya bertanya, "Apakah karena dana bantuan yang
menggiurkan atau ada niat yang lain?"
Apapun jawabannya, tidak ada ruginya jika warga Poso dan Maluku EKSTRA
HATI-HATI TERHADAP SEPAK TERJANG IMAM PRASODJO!
Salam Sejahtera!
JL.
|