The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Usaha Pembelokan Sebab Dan Sifat Konflik Maluku


Usaha Pembelokan Sebab Dan Sifat Konflik Maluku
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya

Subjek: Theo Syafei atau Rustam Kastor?

Salam Sejahtera!

Salam Sejahtera!

Perkembangan situasi nasional menyangkut masalah Maluku, pasca penangkapan Panglima Laskar Jihad, Jafar Umar Thalib semakin tidak karuan. Berbagai tokoh pemerintahan, tokoh Parpol, pemimpin Ormas dll, ikut memberikan sumbangan yang berarti untuk menambah kemelut bagi Maluku. Wakil Presiden RI, Hamzah Haz, sampai harus mencampakkan etika jabatan kenegaraan ke dalam keranjang sampah, demi solidaritas 'sesama Muslim', dengan menjenguk Jafar Umar Thalib di Rutan Mabes Polri. Ahmad Sumargono, membawa Komisi I DPR RI ke hadapan Yang Dipertuan Jafar Umar Thalib, dan ikut melayani keinginan dan hasrat Habib Rizieq Shihab dari FPI. Hasyim Muzadi, Ketua PB NU, walaupun mengatakan bahwa 'separatisme tidak identik dengan agama', tetap memaksa umat untuk mencap RMS sebagai akar Konflik Maluku. Lalu, seorang tokoh Kristen bernama "Filipus Litaay", Wakil Ketua Badan Pertimbangan Sinode GPM yang memperoleh kesempatan untuk mewakili GPM dalam kunjungan ke GPIB, tidak mau ketinggalan untuk mempertontonkan 'kesetiaannya' kepada NKRI dengan 'mendukung' Hasyim Muzadi di dalam usaha menyalibkan FKM/RMS.

Hal ini mengingatkan saya pada lirik lagu Ebiet G. Ade, "dalam kekalutan, masih banyak tangan yang tega berbuat nista", walaupun situasi sekarang ini lebih kena untuk 'banyak lidah yang tega menyebar dusta'. Salah satunya adalah 'alasan' yang diberikan bagi penundaan pembentukan Tim Investigasi Independen Nasional (TIIN – non-Maluku), yaitu bahwa "Presiden sedang ke luar negeri". Waktu itu, saya sempat mempertanyakan alasan tersebut, karena justeru Wapres RI, Hamzah Haz, yang diberikan tanggung jawab untuk menyelesaikan berbagai masalah, termasuk Konflik Maluku. Pada ujungnya barulah diketahui bahwa pembentukan TIIN itu "baru saja disetujui oleh Presiden RI, Megawati Soekarnoputri." Seandainya, Megawati tidak menyetujui salah satu butir Deklarasi Malino II ini, lalu apa gunanya Deklarasi tersebut? Sekarang, belum lagi TIIN siap dibentuk, sudah terlihat adanya usaha untuk memutar-balikkan berbagai peristiwa di awal kerusuhan, 19 Januari 1999. Salah satu di antara adalah usaha-usaha tersebut adalah "menggiring Theo Syafei sebagai salah satu penyebab Konflik Maluku". Apakah lirik lagu di atas terlalu berlebihan?

Wakil Ketua DPR RI, Soetardjo Soerjogoeritno, yang berkesimpulan bahwa 'apa yang dilakukan Pemerintah NKRI dan PDSD-Maluku, tidak cukup', membentuk Tim DPR RI untuk turun ke Maluku! Padahal, jika Soetardjo Soerjogoeritno bisa 'melihat ke dalam', dia akan sadar bahwa "Panja dan Pokja Maluku" buatan DPR RI juga sama mandulnya! Lalu, untuk apa DPR RI datang lagi ke Maluku, kalau bukan untuk menambah kemelut dengan komentar dan rekomendasi usang yang tidak pernah diseledaikan oleh DPR RI sendiri? Ataukah DPR RI ingin melakukan survey bagi kemungkinan "pemindahan ibu kota Maluku", seperti yang diusulkan Hamzah Haz ("Lebih baik Ibu Kotanya di pindah ke tempat lain saja, biar lebih tepat", ujar Hamzah kepada pers di gedung Lemhannas Jakarta, Selasa (7/5))?.

Lain lagi tingkah-pola Ketua MPR RI, Amin Rais, yang mengatakan di Yogyakarta, bahwa "upaya perdamaian di Ambon bisa secepatnya diwujudkan maka aparat keamanan harus bersikap lebih tegas dalam menindak para pembuat kerusuhan." Padahal, Ketua MPR RI, Amin Rais, adalah "salah satu penganjur dan pendukung masuknya perusuh ke Maluku, dengan melawan perintah Presiden RI, KH. Abdurahman Wahid!" Artinya, jika aparat harus bertindak tegas di dalam menegakkan hukum, maka Amin Rais adalah seorang yang harus ditangkap dan diadili. Atau mungkin hal ini akan menjadi "catatan penting TIIM" nanti? Semoga!

Lalu bagaimana dengan kunjungan Wapres RI, Hamzah Haz ke Rutan Mabes Polri? Hamzah Haz menjelaskan bahwa isi kunjungannya kepada Jafar Umar Thalib itu "lebih banyak membahas cara-cara penyelesaian kemelut di Ambon. "Bagaimana caranya Ambon segera aman," Kesan tak masuk akal yang sama pernah diberikan Hamzah Haz, ketika berpesan pada 'silaturahmi Jafar cs. ke istana Wapres', agar Laskar Jihad menjadi pelopor pembawa damai di Maluku, ibarat "mendiskusikan masalah transfusi darah dengan Pangeran Drakula?" Lucunya lagi, Saleh Saaf mengaku bahwa "kunjugan hamzah Haz ke Jafar Umar Thalib, dalah salah satu bentuk dorongan moril bagi Polri untuk bisa menangani kasus tersebut dengan lebih serius"!? Mengapa Saleh Saaf berpikir bahwa dia sedang berbicara kepada sekumpulan anak-anak Sekolah Dasar? Lain lagi dengan Menkopolkam. Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan bahwa, "kunjungan Wakil Presiden Hamzah Haz pada pimpinan Laskar Jihad Ja'far Umar Thalib, terdorong oleh hubungan sesama umat Islam yang saling bersaudara!" Coba kita pikirkan dengan jernih, "apa yang akan terjadi, jika Ketua Sinode GPM, Pdt. Dr. IWJ. Hendriks, mengunjungi dr. Alex Manuputty di Rutan Pomdam Pattimura?" 'Pikirkanlah' juga dengan hatimu, selagi masih bisa berfunggsi!

Relasi khusus antara Wapres RI, Hamzah Haz, dengan Laskar Jihad juga terlihat pada berita Satunet.com, "Wakil Presiden Hamzah Haz menyetujui penarikan Laskar Jihad dari Maluku dengan langkah pertama pembubaran Front Kedaulatan Maluku (FKM)." Terasa sangat lucu, bahwa keluarnya Laskar Jihad dari Maluku, harus tergantung dari setuju – tidak-setujunya Hamzah Haz!? Hamzah Haz bertindak seperti "yang punya hak veto", atau malah seperti Jafar Umar Thalib sendiri! Sebagai seorang Wapres RI, apalagi baru saja keluar dari Mesjid, Hamzah Haz seharusnya tidak melatakkan FKM dan Laskar Jihad di dalam satu hubungan sebab-akibat! Ucapan Hamzah Haz, "bila sudah ada ketegasan pelarangan RMS dan jaminan perlindungan umat muslim di Ambon, maka Laskar Jihad harus mengikuti secara gradual penyerahan senjata ke aparat keamanan," adalah cerminan ketidak-jujuran seorang Pemimpin PPP dan Wapres RI, sebab FKM tidak pernah memusuhi Muslim Maluku! Hamzah Haz tidak usah berbicara tentang "perlindungan", sebab kenyataan tentang "Pertemuan dan Pawai Baku Bae" yang seperti menghantam wajah Pemerintah NKRI, jauh lebih dari jaminan yang bisa diberikan oleh pihak manapun!

Sebaliknya, kita justeru harus berhati-hati dengan selipan istilah "gradual" di dalam pernyataan Hamzah Haz, tentang keluarnya Laskar Jihad dari Maluku! Istilah "gradual" ini dapat berarti "dalam setahun, dua tahun atau bahkan puluhan tahun!" Adanya kecenderungan "mengulur waktu" tidak terbantah, jika kita cermati pernyataan Hamzah Haz yang lain, bahwa "Bila Laskar Jihad membawa misi sosial, itu harus dilihat dulu. Kalau memang dibutuhkan masyarakat nggak masalah." Padahal, kita tahu persis bahwa Laskar Jihad "mengambil jauh lebih banyak dari yang mereka berikan kepada Muslim Maluku!" Jangan-jangan, Hamzah Haz nanti malah berusaha mempertahankan Laskar Jihad di Maluku, karena Pemerintah NKRI dan PDSD-Maluku tidak akan mampu membubarkan FKM-Eropah dan FKM-Amerika!? Di sini, terlihat juga adanya tanda-tanda dari usaha untuk memelintir kenyataan tentang konflik Maluku!

Mendagri, Hari Sabarno, juga memberikan sinyal tentang "kerancuan batas waktu penarikan Laskar Jihad dari Maluku!" Mendagri mengatakan bahwa, "terkait dengan batas waktu warga non Ambon untuk meninggalkan kota Ambon, menurutnya hal itu terletak pada kewenangan penguasa darurat sipil, yang berhak menentukan kelompok mana yang dibatasi dan kelompok mana yang boleh masuk. "Pusat tak terlalu campur tangan pada hal-hal semacam itu, itu wewenang darurat sipil." "Dalam UU Darurat Sipil sudah ada batasan-batasan yang mengacu pada UU 23/1959." Padahal, yang memiliki wewenang tertinggi adalah PDS-Pusat, Pemerintah NKRI, dan karena itu, "Menkopolkam bisa (pernah) menolak permintaan PDSD-Maluku untuk menarik Laskar Jihad dari Maluku!" "Intervensi" (pinjam istilah Mendagri) seperti ini bukan saja terjadi di dalam tubuh PDS, tetapi juga di dalam tubuh TNI, yang dilakukan oleh Suaidi Marasabessy (Kodam Wirabuwana) terhadap Kodam Trikora, atas persetujuan Wiranto!

Ketidak jujuran yang sama terlihat juga di dalam ucapan Mankopolkan, Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa "Apabila FKM/RMS telah dibubarkan dan Laskar Jihad dikeluarkan dari Maluku PDS Maluku harus mampu memberikan perlindungan penuh kepada semua komunitas di Maluklu sehingga tidak ada alasan bagi kelompok di luar Maluku seperti Laskar Jihad datang ke Maluku dengan tujuan melindungi keselamatan dan keamanan komunitas Islam di daearh itu." Laskar Jihad menyusup ke Maluku, bukan untuk melindungi Muslim Maluku dari FKM/RMS, sebab FKM/RMS justeru bertujuan mempersatukan rakyat Maluku-Muslim dan Kristen, di dalam satu wadah kedaulatan, dan hal ini jelas terbaca pada struktur Kepemimpinan FKM dan RMS. Setelah sudah terlalu banyak membunuh, merusak, menjarah, merampas dan merampok, Laskar Jihad mulai 'kehilangan dasar pijak atau alasan' untuk tindakan mereka, sebab sudah terlalu kentara bahwa 'mereka bukan lagi melidungi Muslim Maluku, tetapi menghabisi Kristen Maluku'. Oleh sebab itu, mereka menciptakan alasan baru, "membela integrasi NKRI", dan alasan ini DISAHKAN oleh Pemerintah NKRI, seperti oleh Wapres dan Menkopolkam! Kita akan singgung sedikit tentang hal ini nanti, dan sekarang kita kembali ke seputar Kunjungan Wapres ke Jafar Umar Thalib.

Baru saja menerima "dorongan moril" dari Wapres RI. Hamzah Haz, Mabes Polri-melalui Kepala Korps Reserse Irjen Pol. Engkesman R. Hillep, Direktur Tindak Pidana Umum Brigjen Pol. Aryanto Sutadi, mencoba membuat kesepakatan dengan Jafar Umar Thalib, untuk "membebaskan Panglima Laskar Jihad tersebut dari sel tahanan, asalkan , Ja'far menarik seluruh Laskar Jihad dari Maluku, meletakkan senjata dan secepat mungkin menyerahkan kepada aparat keamanan." Ada di sana, Kapolri, Da'i Bachtiar, Hamzah Haz, Eggy Sudjana, dan Jafar Sendiri. Apakah ini yang dimaksudkan Saleh Saaf sebagai "bisa menangani kasus tersebut dengan lebih serius"? Saya percaya, 'deal' semacam ini tidak akan diberlakukan kepada FKM, sebab nanti tidak ada lagi yang bisa dijadikan 'kambing hitam'! Atau mungkin karena hal lain? Coba kita lihat dari sisi komentar Ketua PB NU, Hasyim Muzadi!

Menurut Muzadi, "konflik Ambon tak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan aparat keamanan atau pengerahan pasukan secara besar-besaran. Namun, operasi intelijen khusus sejak dini harus dilakukan mengingat keberadaan RMS sudah berlapis-lapis kekuatannya." Orang akan dibawa kepada pemikiran bahwa, "Pasukan besar-besaran bukan lagi tandingan RMS dengan kekuatan yang sudah berlapis-lapis!" Padahal, yang saya maksudkan dengan ketidak-mungkinan lain untuk diadakannya 'deal' dengan Mabes Polri, seperti yang ditawarkan kepada Jafar Umar Thalib, adalah karena "tawaran meletakkan dan 'meyerahkan senjata kepada aparat,' tidak mungkin dilakukan oleh FKM/RMS." Senjata apa yang akan diserhkan oleh seseorang yang tidak bersenjata? Jika anda terlalu sukar percaya kepada ucapan saya sebagai seorang Kristen, tanyakan diri sendiri, "jika kekuatan RMS sudah berlapis-lapis, sehingga tidak tertandingi lagi oleh pengerahan pasukan (TNI/Polri) secara besar-besaran, apa mungkin Laskar Jihad masih bisa bertahan di Maluku? Apa mungkin dr. Alex Manuputty bisa ditangkap-paksa tanpa perlawanan? Mungkin kita harus membiarkan hati kita berbicara, sebelum hati kita benar-benar kelu!

Setelah itu, Menkopolkam, Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan PDSD-Maluku untuk "menuntaskan semua kasus dan membubarkan FKM/RMS serta mengeluarkan pendatang yang tidak berkepentingan dari Maluku!" Di dalam situasi dimana PDSD-Maluku disorot oleh berbagai pihak sebagai "lemah", "tidak kompak", "tidak tegas", dll., mengapa Pemerintah NKRI selaku PDS-Pusat tidak mengeluarkan maklumat itu sendiri? Sangat terasa bahwa Pemerintah NKRI 'tidak yakin' akan mampu membubarkan FKM/RMS yang mempunyai 'sayap internasional' dan enggan menyebut 'Laskar Jihad' sebagai pihak yang harus diusir dari Maluku. Pemerintah NKRI tidak punya 'alasan hukum' untuk menggunakan jalur diplomasi bagi usaha membubarkan FKM/RMS, dan terbentur oleh pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Ketika Gubernur Maluku, PDSD-Maluku, M. Saleh Latuconsina meminta Menkopolkam untuk mengeluarkan Laskar Jihad dari Maluku, permintaan tersebut ditolak dengan alasan, "Laskar Jihad harus tetap di Maluku untuk menjaga keseimbangan kekuatan!" Kelihatannya, Pemerintah NKRI sedang mencoba untuk 'melepaskan tanggung jawabnya' kepada PDSD-Maluku, lagi!

Di dalam ketidak-pastian dan kekalutan situasi seperti ini, Koordinator Kontras tidak mau diam. Munir menyatakan bahwa, "pasal 134 KUHP berbunyi, "Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp 4.500", seharusnya itu tidak lagi dipergunakan dalam sistem hukum di Indonesia!" Karena itu, penangkapan Jafar Umar Thalib merupakan langkah mundur bagi sistem penegakkan hukum RI. Memang tidak salah kalau Munir berpendapat demikian, tetapi hal itu hanyalah tetek-bengek tak berarti jika dibandingkan dengan Konflik Maluku yang sudah menelan ribuan nyawa, menyengsarakan ratusan ribu orang, menghilangkan harta-benda dan memusnahkan desa kelahiran. Seharusnya Munir melengkapi pernyataannya dengan memberikan jalan yang sebaiknya ditempuh untuk mengakhiri penyebaran hasutan dan kejahatan oleh Jafar Umar Thalib, demi perdamaian Maluku. Sayangnya, Munir terlihat hanya sekedar mencari-cari bahan bicara dan mengail di air keruh. Padahal, Munir bisa mengajak orang berpikir tentang "bagaiman jika Presiden dan Wakil Presiden mempermalukan jabatan mereka sendiri," sebab pasal 134 KUHP tidak melindungi orangnya tetapi jabatannya! Dengan itu, mungkin tidak akan ada lagi kunjungan solidaritas model Hamzah Haz!?

Lain Munir, lain pula badan 'penegak hukum' yang bernama PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan HAM). PAHAM melalui Zainuddin menyatakan bahwa, "tablig akbar-nya Jaffar Umar Thalib adalah pernyataan kecintaan rakyat Maluku terhadap NKRI, dan seruan untuk melawan segala bentuk sparatisme FKM atau RMS." Baiklah kita tidak usah mempermasalahkan 'pembuktian istilah separatisme', walaupun sebagai sebuah lembaga yang bergerak di bidang hukum, PAHAM seharusnya mampu melakukan hal itu. Perhatikan saja bahwa PAHAM menggunakan istilah "kecintaan rakyat Maluku", padahal Jafar Umar Thalib adalah keturunan Arab-Madura! Saya tidak tahu, apakah mata atau hati yang tidak berfungsi pada Zainuddin, sehingga dia tidak mampu membaca dan mengartikan ucapan Jafar seperti yang berbunyi, "Tiga tahun lebih kaum Muslimin dipermainkan dan diperolok-olokkan dengan berbagai penipuan, sandiwara jahat, dan makar-makar jahat yang dilancarkan oleh Pemerintah Propinsi Maluku bersama gereja yang menjadi markas komando gerakan RMS." Dengan melihat sekilas pintas saja, orang sudah tahu bahwa sasaran khotbah Jafar Umar Thalib adalah warga Kristen! Amin Rais dan Hamzah Haz adalah saksi hidup, kalau mau jujur, bahwa alasan infiltrasi Laskar Jihad ke Maluku adalah "solidaritas Muslim". Sebagian Muslim malah berdalih bahwa tujuan utama Laskar Jihad adalah membantu "Muslim di Maluku Utara," di mana tidak ada RMS!

Sesudah itu, Furum Ukhuwah Islamiyah yang terdiri dari MUI dan Ormas Islam se Jabotabek, lalu "mengutuk penangkapan Panglima Lasyakar Jihad Ja'far Umar Thalib." Din Syamsuddin, Sekjen MUI, mengatakan, "''Mestinya yang ditangkap adalah tokoh Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang jelas-jelas menyatakan akan mendirikan negara di atas Negara Kesatuan Republik Indonesia.'' Apakah itu Ukuwah Islamiyah sehingg membutakan mata dan hati, untuk tidak melihat dan sadar bahwa "dr. Alex Manuputty sudah di dalam Rutan Polda, lalu dipindahkan ke Rutan Pomdam Pattimura? Sebagai kumpulan orang beriman, FUI seharusnya bisa lebih jujur untuk mengatakan bahwa "FKM tidak hendak mendirikan negara, tetapi menuntut keadilan dan hak bagi negara yang sudah SAH berdiri, tetapi dianeksasi oleh RI secara tidak halal, dan wilayahnya digarap oleh NKRI dengan cara yang sama haramnya!" Jika mereka beranggapan bahwa klaim FKM ini tidak benar, bukankah mereka bisa membantahnya dengan mengajukan bukti-bukti bandingan? Saya percaya, mereka-mereka ini hanya mencoba mengeruhkan suasana di Maluku dengan menunggang FKM/RMS, supaya "ada yang nantinya tidak akan kelihatan!"

Adanya upaya "pembelokkan" masalah MAluku semakin kentara di dalam ucapan Habib Risieq Shihab tentang Theo Syafei, "kami pernah melaporkan pidato Theo Syafei tiga tahun lalu. Pidato itu membuat onar di Kupang dan Ambon." Saya pribadi sudah mendengan sendiri rekaman ceramah tersebut, dan saya adalah saksinya bahwa "tidak pernah ada gejolak atau keonaran di Ambon/Maluku, yang ditimbulkan oleh ceramah tersebut. Ceramah tesebut berisikan 'peta politik Indonesia" saat itu, di dalam hubungannya dangan tindakan biadab, Mei 1989!" Pada akhirnya, Theo Syafei bukan mengajak warga Kristen, khusus suku Tionghoa, untuk tidak takut dan lari meninggalkan "tanah air" mereka, sebab Yesus Kristus bersama mereka! Theo Syafei tidak pernah mengajak warga Kristen untuk mengangkat senjata demi nama Tuhan, seperti yang sudah berulang-kali dikumadangkan Jafar Umar Thalib! Kalaupun bukan merupakan usaha pemutar-balikkan akar konflik Maluku, maka paling tidak, tindakan ini bertujuan untuk mengaburkan suasana dengan menyerang Megawati dan kebijaksanaannya!

Pada bagian lain, Ketua Data dan Informasi Majelis Mujahiddin Indonesia, Fauzan Al Anshari, mangatakan, "Theo menyebut Al Quran hanya sebuah buku tipis yang berisi tidak lebih dari 30 juz." Sejujurnya, saya belum pernah mendengar ucapan seperti ini. Lagipula, kalau ucapan itu benar, mengapa harus merasa terhina? Kalau ucapan itu tidak benar, saya pikir itu sangat berguna bagi mereka untuk dijadikan bahan introspeksi, bagaimana perasaan warga Kristen, jika "Kesalahan Alkitab diteriakkan melalui pengeras suara di Mesjid-Mesjid dan diedarkan secara bebas dan terang-terangan", sementara kami hanya dibenarkan oleh hukum untuk "diam!" Jika Theo Syafei harus dipenjarakan karena 'kesalahan pada sebuah buku, yang tidak menghilangkan satu nyawapun, apa yang harus dilakukan terhadap Jafar Umar Thalib karena perkataan, "PDS telah dikuasai dan dikendalikan oleh gereja yang nota bene adalah markas komando gerakan RMS," yang dampaknya sudah dirasakan oleh warga Kristen Soya? Saya mengaku bahwa apa yang diklaim Fauzan dengan mangatakan bahwa "Theo juga dianggap melanggar pasal 134 tentang penghinaan kepada kepala negara saat itu BJ Habibie," tidak jauh dari kenyataan. Yang saya ingat adalah bahwa "Habibie bukan pemimpin (Muslim) yang baik, tetapi alat yang baik (di tangan ICMI)!" Buktikan bahwa ucapan ini salah! Atau kita harus bertanya lagi kepada Munir tentang pasal 134 KUHP ini?

Berbicara tentang KUHP, saya terpikir untuk menyinggung pernyataan PDSD-Maluku, M. Saleh Latuconsina dan Tim Penyidik Gabungan PDS Maluku, Komisaris Besar Jhony Tangkudung, tentang FKM. Seleh Latuconsina mengatakan, "Mereka dikenai pasal makar atas perbuatannya!", sementara Jhony Tangkudung menunjuk "pasal 106 dan pasal 110 KUHP dan pasal 12 UU No 23 tahun 1959!" Perhatikan bahwa kedua pejabat PDSD-Maluku ini menunjuk "tahun 1959", sementara RMS resmi merdeka pada "tahun 1950"! Artinya, baik KUHP, maupun UU No 23, tidak dapat diterapkan untuk mengadili RMS, atau kita berama-ramai harus mengebiri Sejarah Indonesia sampai pada tahun 1959 saja! Oleh sebab itu, mengapa BPKRMS mengatakan bahwa, Pemerintah RI memutarbalikkan hukum (UU Darurat Sipil yang mengacu pada UU No 23 1959), yang seharusnya mengacu pada Bab IV Bagian V pasal 175 spd Bab VI pasal 184:1,2. dari Rancangan Konstitusi RIS 1949 (jika sasarannya adalah RMS).

Saya ingin sekali mengajak Pangkostrad, Letjen TNI "Ryamizard Ryacudu", untuk mengomentari paragraph di atas, supaya dia tidak usah menunjukkan kejantanan dengan mengandalkan ucapan-ucapan kosong. Ryamizard Ryacudu mengatakan akan "menindak tegas kelompok separatis yang mengacau kawasan NKRI." Itu kata "tentara yang bersenjata"! Bagaimana kata "prajurid yang menjungking hukum dan keadilan?" Apakah Ryamizard Ryacudu, masih mampu bersikap tegas untuk memberikan BUKTI ILMIAH (hukum) bahwa RMS adalah kelompok separatis? Ryamizard Ryacudumenambahkan, "bila menemui bendera Republik Maluku Selatan (RMS) anggota TNI harus menurunkannya. Jika masih tetap ada orang-orang yang ingin menaikkan, ya ditembak saja.'' Saya jadi ingin tahu, apa yang akan dilakukan Ryamizard Ryacudu, jika dia menemukan "ratusan Bendera RMS di Al Fatah dan Muslim Galunggung!" Tembak saja? Jika RMS dan FKM sudah separatis, mengapa mereka harus diseparatiskan lagi oleh Wiranto dan Suaidi Marasabessy melalui Al Fatah? Semoga Ryamizard Ryacudu yang jenderal TNI, lebih banyak berpikir sebelum bicara, jika tidak ingin sekedar mengumbar ucapan-ucapan kosong! Ingat "korupsi maha besar di dalam tubuh Kostrad", dan kenyataan bahwa yang pertama masuk sebagai "pasukan vigilante" ke Maluku adalah Pasukan Kostrad!

Mungkin saya harus mengajak Ryamizard Ryacudu untuk melihat situasi terakhis di Ambon, dimana "Speedboat Pemda diledakkan di Pelabuhan Pandu, samping Pelabuhan Yos Soedarso", dan "Rumah Ketua Delegasi Muslim Maluku ke Malino II, Tahmrin Ely, di kawasan Muslim, dimana Markas Laskar Jihad berada, Kebun Cengkeh, dibakar habis!" Sementara istilah "separatis" tidak mampu dibuktikan oleh Ryamizard Ryacudu, siapa sebenarnya yang merusuh di Maluku? Walau Republika mencoba merelatifkan kenyataan ini, melalui berita, "''Mereka adalah orang yang sering mengancam saya,'' kata Thamrin ketika diwawancarai radio Elshinta di Jakarta, Senin (13/05/02). Meski begitu, dia tidak bersedia mengatakan siapa orangnya," kita semua tahu bahwa yang mengancam Thamrin Ely adalah Laskar Jihad! Cukuplah seragammu yang hijau, dan jangan hijaukan pula hati dan inteligensiamu untuk membolak-balik kenyataan tentang Maluku, Ryamizard Ryacudu!

Kembali pada usaha pembengkokkan kasus Konflik Maluku, Ketua I DPP FKASWJ, Ayip Syafruddin dan Sekretaris Umum Abu Yusuf Wasis, menegaskan "Pemerintah juga dipandang tidak memahami masalah, sebab Laskar Jihad datang ke Maluku setelah konflik berlangsung lebih dari satu tahun. "Penarikan Laskar Jihad tidak menjamin warga muslim yang pro-NKRI akan terlindungi." Laskar Jihad menyusup (secara terang-terangan, di bawah tangan Kapolda jatim, Da'i Bachtiar, dan Pangdam Brawijaya, Sudi Silalahi), ketika "FKM belum lahir", dan bahkan sebelum bukunya Rustam Kastor diterbitkan! Memang benar bahwa 'isu RMS' sudah pernah ditiup-tiup sebelumnya oleh duet Wiranto-Suaidi Marasabessi! Isu RMS tesebut akhirnya pudar dan mati, setelah Danrem 147 Pattimura, Kol. Inf. KA. Ralahalu, menyita ratusan Bendera RMS, "Benang Raja", dari Al Fatah dan Muslim Galunggung! Sangatlah bijaksana dan jujur, jika Tim Investigasi Independen Nasional (TIIN) mencoba menjawab pertanyaan sederhana, "Mengapa Wiranto dan Suaidi Marasabessy melakukan hal yang tidak terpunji seperti itu?" Apa yang dikatakan Gatra sebagai ucapan Ayip Syafruddin, "Maluku Beres, Laskar Jihad Pergi", adalang usaha menjungkir-balikkan kebenaran. "Laskar Jihat pergi, Maluku akan baru bisa dibereskan!"

Usaha-usaha pembengkokan asal-usul konflik Maluku semakin kentara, ketika Ketua Departemen Humas Badan Immarah Muslim Maluku (BIMM), Aziz Hehaitu, mulai malantunkan lagu lama, bahwa "Idul Fitri tiga tahun lalu benar-benar membekas dalam benak warga Muslim Maluku. Saat itu 19 Januari 1999. Di tengah suka cita hari raya, mereka menerima gempuran. Korban berjatuhan. Pernyatan ini adalah "masukan" yang cukup berarti bagi TIIN! Jika Muslim Maluku diserang dan dibantai pada tanggal 19 Januari 1999, maka yang pertama terbakar pada sore hari, 15.30 wit., adalah rumah warga Muslim, dan bukan rumah warga Kristen Mardika, seperti milik Bpk. Silas Noiya, dan rumah warga Kristen Silale, seperti milik Alm. Bpk. Albet V. Nikijuluw. Jika warga Kristen Ambon merencanakan penyerangan, berarti "rombongan KKR Remaja Gereja Perjanjian Baru, tidak akan ke Desa Muslim Hila, terjebak dan menjadi korban. Jika warga Kristen Ambon menyerang dan menembak Jemaah Ied di Lapangan Merdeka, pagi hari jam 10.00 wit, berarti harus ada korbannya, dan tidak akan ada korban di pihak Kristen, yang "terjebak kunjungan silaturahmi dalam rangka Lebaran, dan menjadi korban pada sore dan malam harinya!"

Identik dengan yang di atas ini, Ayip Syafruddin mengatakan bahwa, "Laskar Jihad akan meninggalkan Maluku jika pemerintah menjamin menindak tegas provokator dan aktor intelektual insiden 19 Januari 1999, atau yang lebih dikenal 'Idul Fitri berdarah'." Istilah Idul Fitri Berdarah sudah ada sebelum 19 Januari 1999, ketika MUI-Maluku meresmikan Posko dan Tim Advokasi "Idul Fitri Berdarah", pada tanggal 6 Januari 1999. Idul Fitri 1999 memang berdarah, dan yang pertama mengalir adalah "darah warga Kristen!" "Jika Muslim bisa seenaknya berdusta di dalam bulan Ramadhan, apa yang melarang dia untuk membunuh pada hari Lebaran?" Kenyataan bahwa MUI-Maluku memiliki Ketua seorang Perwira Polisi, Kol. Rusdi Hasanussi, juga merupakan bahan yang menarik bagi TIIN, untuk meneliti jalur konflik Maluku yang mengarah ke MUI-Pusat !

BIMM juga mengatakan, "Pemerintah tak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan kami.'' Jika Pemerintah NKRI tidak melakukan apa-apa, maka "tidak akan ada pemberangkatan dan penyiagaan Pasukan Kostrad dari Jakarta ke Makassar, pada tanggal 7 Januari 1999. Jika Pemerintah NKRI tidak melakukan apa-apa, tidak akan ada Pasukan Kostrad dari Kodam Wirabuana, Sulsel, yang tiba di Maluku segera setelah kerusuhan pecah. Pasukan yang dipimpin oleh Suaidi Marasabessy ini, "terlibat langsung secara emosional (ras dan agama) dengan korban warga Muslim asal Buton, Bugis dan Makassar (BBM), dan berindak sebagai 'pasukan pembalas dendam' di Ambon. BIMM melanjutkan, "Laskar Jihad datang, membuat situasi berimbang. ''Mereka tak melakukan gangguan apa pun di Maluku, mereka justru menolong masyarakat Muslim Maluku ketika mulai dibantai pada 1999,'' di luar kanyataan bahwa Laskar Jihad menyusup ke Maluku pada sekitar pertengahan tahun 2000, dan tindakan mereka justeru terbalik dari "tak melakukan gangguan apa pun di Maluku "!

Semantara itu, Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Maluku, Ustadz Abdul Wahab Polpoke mengatakan. keberadaan Laskar Jihad di Maluku, terutama sebelum Kesepakatan Malino II, sangat diperlukan. ''Sesudah perjanjian Malino, terbukti Laskar Jihad tidak melakukan kekerasan. Kekuatan Islam maupun Kristen sepatutnya menghormati Kesepakatan Malino.'' Ada baiknya TIIN menanyakan langsung kepada Abdul Wahab Polpoke, "Mengapa keberadaan Laskar Jihad di Maluku, terutama sebelum Kesepakatan Malino II, sangat diperlukan?" TIIN bisa juga menanyakan MUI-Maluku dan Al Fatah, "Mengapa setelah menyerang dan membakar perumahan Kristen di Mardika dan Silale, 'pasukan putih' yang soremya menumpuk di Pasar Gambus dan Belakang Kota, RAIB dari sana pada malam harinya?" Kompleks Muslim BBM Pasar Gambus tidak akan mungkin dihancurkan oleh sekitar 30an pemuda Kristen dan tak satupun dari mereka yang tergores, jika Muslim BBM Pasar Gambus tidak sengaja dijadikan tumbal oleh MUI-Maluku dan Al Fatah, di dalam kaitannya dengan istilah "sangat diperlukan" dari Ketua MUI-Maluku, Ustadz Abdul Wahab Polpoke, di atas! TIIN juga bisa menanyakan Fungsionaris PAN dan anggota DPR RI, AM FATWA, untuk membuktikan ucapannya yang disiarkan oleh siaran Televisi nasional, "Muslim lagi beribadah, diserang dan dibantai!"

Untuk meramaikan usaha pemelintiran kebenaran tentang asal-muasal konflik Maluku, Dudung Abdul Muslim (Suara Merdeka 11/05/02) memisalkan Jafar Umar Thalib dan Alex H. Manuputty sebagai 'biang kerusuhan di Maluku, lalu bertanya, "Apakah Ja'far dianggap lebih berbahaya daripada Manuputty, dan Laskar Jihad lebih mengerikan ketimbang FKM yang nyata-nyata jelmaan RMS?" Jawabannya tentulah tergantung dari 'terhadap siapa', kedua tokoh ini terlihat mengerikan, "rakyat Maluku, rakyat Alif'uru Salam-Sarani," atau "Pemerintah NKRI." Hal ini bisa dijawab dengan membandingkan "dakwah Jafar Umar Thalib" dan "khotbah Alex H. Manuputty (jika ada) terhadap rakyat Maluku! Saya pikir, ada baiknya saya kembalikan pertanyaan Dudung Abdul Muslim kepada dirinya sendiri, "Mungkinkah pemerintah hendak menciptakan stigma bahwa Laskar Jihad itu kelompok Islam yang berbahaya?", dengan memperhatikan sikap dan pernyataan Pemerintah NKRI, seperti dari Wapres, Hamzah Haz, dan Menkopolkam, Susilo Bambang Yudhoyono di atas, supaya dia berhenti 'memisterikan dan memutarbalikkan kebenaran sedehana yang begitu jelas terlihat'!

Tidak baik jika saya tidak menyertakan sumbangan keramaian bagi polemik Maluku dari pihak GPM, lewat Wakil Ketua Badan Pertimbangan Sinode GPM, Filipus Litaay, ketika menghadiri pertemuan yang diselenggarakan Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) untuk mencari solusi perdamaian di Maluku dengan mengundang GPM dan Badan Immarah Muslim Maluku (BIMM), di Jakarta. Filipus Litaay mengatakan, "Gereja Protestan Maluku (GPM) meminta pemerintah menindak tegas kelompok yang berupaya memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI dan membentuk Republik Maluku Selatan (RMS)." "GPM sangat senang Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM) Alex Manuputy ditangkap dan diadili, agar Maluku terpelihara dari separatisme dan demi tegaknya integrasi. `Tim Investigasi agar segera didatangkan untuk mengusut dan mengadili para anggota RMS!"

Pernyataan GPM ini sudah mendapatkan banyak tangapan negatif sampaipun berupa makian terhadap pribadi Filipus Litaay. Saya ingin sekali melihat hal ini dari sisi yang lain, yang mungkin agak sukar dibaca oleh yang tidak memiliki kepekaan tinggi. Untuk itu, coba kita andaikan bahwa Pemerintah NKRI ini adalah pemerintah terhormat, halus budi-pekertinya, dan peka perasaannya. Di dalam keadaan ideal seperti itu, Pemerintah NKRI tidak akan mungkin menilai pernyataan GPM di atas sebagai suatu pernyataan yang melulu didasarkan pada rasa 'kesetiakawanan nasional'! GPM memberikan dorongan kepada Pemerintah NKRI untuk "bertindak tegas di dalam hukum dan keadilan" terhadap kelompok separatis FKM/RMS!" Untuk itu, Pemerintah NKRI ditantang oleh 'hukum dan keadilan' untuk sebelum mengambil tindakan tegas terhadap FKM/RMS, menggunakan 'hukum dan keadilan' di dalam membuktikan bahwa "RMS dan Tuntutan FKM adalah aspirasi yang terkait dengan separtisme!" Hukum yang mana dan keadilan menurut siapa? Jika andaian kita benar tentang Pemerintah NKRI (terhormat, halus budi-pekerti dan punya kepekaan) maka mereka sudah lebih dari tahu apa jawabannya!

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk melihat 'dua pernyataan aneh' yang seharusnya tidak diutarakan! Pertama, "Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI) Habib Husein Al-Habsyi, menolak keputusan Pemerintah untuk mengeluarkan Laskar Jihad dari Maluku!" Memang apa fungsinya Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia di dalam Pemerintahan Negara, sehingga 'setuju dan tidak setujunya' ikut menenutkan? Kedua, "Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui rencana pembentukan tim investigasi independen nasional untuk Maluku guna mengatasi konflik berkepanjangan di provinsi itu." Apa Megawati memang bisa untuk tidak menyutujui butir Deklarasi Malino II tersebut? Yang lebih lucu tapi menyedihkan adalah "pernyataan setuju untuk mengeluarkan Laskar Jihad dari Maluku", oleh Hasyim Muzadi! Memang kalau orang ini tidak setuju, lalu apa?

Perlu dicatat bahwa "bisa" tidak sama dengan "terpaksa harus"! Saya setuju dengan pendapat, "Pembubaran FKM/RMS dan Penarikan Laskar Jihad dari Maluku, tidak akan menyelesaikan masalah Maluku!" Kedua kelompok ini bukanlah akar dari Konflik Maluku! Laskar Jihad yang menyusup ke Maluku pada pertengahan tahun 2000, adalah "eskalator" kerusuhan Maluku, sedangkan FKM yang lahir pada bulan Desember 2000, adalah "alasan sempurna" bagi Eskalator Konflik Maluku (Laskar Jihad) dan Sponsor mereka (gelap maupun terang-terangan) untuk tetap melanjutkan proyeknya. Karena itu, 'menghabisi' kedua kelompok itu dari Maluku belum sampai menyentuh 'biang' kerusuhan Maluku! Saya tidak akan memberikan penjelasan panjang lebar di sini, dan jika anda ingin menggali akar konflik Maluku, silahkan baca tulisan-tulisan "Tangan-tangan Jakarta di balik Konflik Maluku" (GJA, Aditjondro, PhD), "Keterlibatan TNI di dalam Konflik Maluku" (Dr. Th.A. Tomagola) dan lain-lain, termasuk sebagian komentar saya pada awal kerusuhan. Sebuah contoh, "Amin Rais menyetujui dan mendukung infiltrasi Laskar Jihad ke Maluku, dengan menentang perintah Presiden RI", lalu sekarang "menyetujui dan mendukung penarikan Laskar Jihad ke Maluku, dengan membenarkan perintah Presiden RI (lewat Menkopolkam)"! Sepertinya, dosa Amin Rais dahulu, sudah impas oleh amal baktinya sekarang!? "Lalu dimana kepastian hukum dan keadilan untuk Maluku?"

Pada akhirnya, saya sengaja mengutip satu paragraf dari berita Media Indonesia, Minggu, 5 Mei 2002, yang berbunyi "Menurut Alex, perjuangannya bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan bangsa Maluku yang sudah merdeka dan berdaulat sejak 25 April 1950. "Kembalikan kemerdekaan kami yang sudah dirampas NKRI," kata Alex, beberapa waktu lalu. Betulkah?" Sebuah pertanyaan menarik untuk dijawab oleh Pemerintah NKRI di dalam koridor hukum dan keadilan, yang sekaligus merupakan jawaban atas tantangan tersamar dari GPM lewat Filipus Litaay di atas. Seorang anak Maluku, anak Alif Ur seperti saya tentu akan bertanya, "Mampukah?"

Salam Sejahtera!

JL.
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kariu67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044