Usaha Pembelokan Sebab Dan Sifat Konflik Maluku
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Subjek: Theo Syafei atau Rustam Kastor?
Salam Sejahtera!
Salam Sejahtera!
Perkembangan situasi nasional menyangkut masalah Maluku, pasca penangkapan
Panglima Laskar Jihad, Jafar Umar Thalib semakin tidak karuan. Berbagai tokoh
pemerintahan, tokoh Parpol, pemimpin Ormas dll, ikut memberikan sumbangan yang
berarti untuk menambah kemelut bagi Maluku. Wakil Presiden RI, Hamzah Haz,
sampai harus mencampakkan etika jabatan kenegaraan ke dalam keranjang sampah,
demi solidaritas 'sesama Muslim', dengan menjenguk Jafar Umar Thalib di Rutan
Mabes Polri. Ahmad Sumargono, membawa Komisi I DPR RI ke hadapan Yang
Dipertuan Jafar Umar Thalib, dan ikut melayani keinginan dan hasrat Habib Rizieq
Shihab dari FPI. Hasyim Muzadi, Ketua PB NU, walaupun mengatakan bahwa
'separatisme tidak identik dengan agama', tetap memaksa umat untuk mencap RMS
sebagai akar Konflik Maluku. Lalu, seorang tokoh Kristen bernama "Filipus Litaay",
Wakil Ketua Badan Pertimbangan Sinode GPM yang memperoleh kesempatan untuk
mewakili GPM dalam kunjungan ke GPIB, tidak mau ketinggalan untuk
mempertontonkan 'kesetiaannya' kepada NKRI dengan 'mendukung' Hasyim Muzadi
di dalam usaha menyalibkan FKM/RMS.
Hal ini mengingatkan saya pada lirik lagu Ebiet G. Ade, "dalam kekalutan, masih
banyak tangan yang tega berbuat nista", walaupun situasi sekarang ini lebih kena
untuk 'banyak lidah yang tega menyebar dusta'. Salah satunya adalah 'alasan' yang
diberikan bagi penundaan pembentukan Tim Investigasi Independen Nasional (TIIN –
non-Maluku), yaitu bahwa "Presiden sedang ke luar negeri". Waktu itu, saya sempat
mempertanyakan alasan tersebut, karena justeru Wapres RI, Hamzah Haz, yang
diberikan tanggung jawab untuk menyelesaikan berbagai masalah, termasuk Konflik
Maluku. Pada ujungnya barulah diketahui bahwa pembentukan TIIN itu "baru saja
disetujui oleh Presiden RI, Megawati Soekarnoputri." Seandainya, Megawati tidak
menyetujui salah satu butir Deklarasi Malino II ini, lalu apa gunanya Deklarasi
tersebut? Sekarang, belum lagi TIIN siap dibentuk, sudah terlihat adanya usaha untuk
memutar-balikkan berbagai peristiwa di awal kerusuhan, 19 Januari 1999. Salah satu
di antara adalah usaha-usaha tersebut adalah "menggiring Theo Syafei sebagai salah
satu penyebab Konflik Maluku". Apakah lirik lagu di atas terlalu berlebihan?
Wakil Ketua DPR RI, Soetardjo Soerjogoeritno, yang berkesimpulan bahwa 'apa yang
dilakukan Pemerintah NKRI dan PDSD-Maluku, tidak cukup', membentuk Tim DPR RI
untuk turun ke Maluku! Padahal, jika Soetardjo Soerjogoeritno bisa 'melihat ke dalam',
dia akan sadar bahwa "Panja dan Pokja Maluku" buatan DPR RI juga sama
mandulnya! Lalu, untuk apa DPR RI datang lagi ke Maluku, kalau bukan untuk
menambah kemelut dengan komentar dan rekomendasi usang yang tidak pernah
diseledaikan oleh DPR RI sendiri? Ataukah DPR RI ingin melakukan survey bagi
kemungkinan "pemindahan ibu kota Maluku", seperti yang diusulkan Hamzah Haz
("Lebih baik Ibu Kotanya di pindah ke tempat lain saja, biar lebih tepat", ujar Hamzah
kepada pers di gedung Lemhannas Jakarta, Selasa (7/5))?.
Lain lagi tingkah-pola Ketua MPR RI, Amin Rais, yang mengatakan di Yogyakarta,
bahwa "upaya perdamaian di Ambon bisa secepatnya diwujudkan maka aparat
keamanan harus bersikap lebih tegas dalam menindak para pembuat kerusuhan."
Padahal, Ketua MPR RI, Amin Rais, adalah "salah satu penganjur dan pendukung
masuknya perusuh ke Maluku, dengan melawan perintah Presiden RI, KH.
Abdurahman Wahid!" Artinya, jika aparat harus bertindak tegas di dalam menegakkan
hukum, maka Amin Rais adalah seorang yang harus ditangkap dan diadili. Atau
mungkin hal ini akan menjadi "catatan penting TIIM" nanti? Semoga!
Lalu bagaimana dengan kunjungan Wapres RI, Hamzah Haz ke Rutan Mabes Polri?
Hamzah Haz menjelaskan bahwa isi kunjungannya kepada Jafar Umar Thalib itu
"lebih banyak membahas cara-cara penyelesaian kemelut di Ambon. "Bagaimana
caranya Ambon segera aman," Kesan tak masuk akal yang sama pernah diberikan
Hamzah Haz, ketika berpesan pada 'silaturahmi Jafar cs. ke istana Wapres', agar
Laskar Jihad menjadi pelopor pembawa damai di Maluku, ibarat "mendiskusikan
masalah transfusi darah dengan Pangeran Drakula?" Lucunya lagi, Saleh Saaf
mengaku bahwa "kunjugan hamzah Haz ke Jafar Umar Thalib, dalah salah satu
bentuk dorongan moril bagi Polri untuk bisa menangani kasus tersebut dengan lebih
serius"!? Mengapa Saleh Saaf berpikir bahwa dia sedang berbicara kepada
sekumpulan anak-anak Sekolah Dasar? Lain lagi dengan Menkopolkam. Susilo
Bambang Yudhoyono, mengatakan bahwa, "kunjungan Wakil Presiden Hamzah Haz
pada pimpinan Laskar Jihad Ja'far Umar Thalib, terdorong oleh hubungan sesama
umat Islam yang saling bersaudara!" Coba kita pikirkan dengan jernih, "apa yang
akan terjadi, jika Ketua Sinode GPM, Pdt. Dr. IWJ. Hendriks, mengunjungi dr. Alex
Manuputty di Rutan Pomdam Pattimura?" 'Pikirkanlah' juga dengan hatimu, selagi
masih bisa berfunggsi!
Relasi khusus antara Wapres RI, Hamzah Haz, dengan Laskar Jihad juga terlihat
pada berita Satunet.com, "Wakil Presiden Hamzah Haz menyetujui penarikan Laskar
Jihad dari Maluku dengan langkah pertama pembubaran Front Kedaulatan Maluku
(FKM)." Terasa sangat lucu, bahwa keluarnya Laskar Jihad dari Maluku, harus
tergantung dari setuju – tidak-setujunya Hamzah Haz!? Hamzah Haz bertindak
seperti "yang punya hak veto", atau malah seperti Jafar Umar Thalib sendiri! Sebagai
seorang Wapres RI, apalagi baru saja keluar dari Mesjid, Hamzah Haz seharusnya
tidak melatakkan FKM dan Laskar Jihad di dalam satu hubungan sebab-akibat!
Ucapan Hamzah Haz, "bila sudah ada ketegasan pelarangan RMS dan jaminan
perlindungan umat muslim di Ambon, maka Laskar Jihad harus mengikuti secara
gradual penyerahan senjata ke aparat keamanan," adalah cerminan ketidak-jujuran
seorang Pemimpin PPP dan Wapres RI, sebab FKM tidak pernah memusuhi Muslim
Maluku! Hamzah Haz tidak usah berbicara tentang "perlindungan", sebab kenyataan
tentang "Pertemuan dan Pawai Baku Bae" yang seperti menghantam wajah
Pemerintah NKRI, jauh lebih dari jaminan yang bisa diberikan oleh pihak manapun!
Sebaliknya, kita justeru harus berhati-hati dengan selipan istilah "gradual" di dalam
pernyataan Hamzah Haz, tentang keluarnya Laskar Jihad dari Maluku! Istilah
"gradual" ini dapat berarti "dalam setahun, dua tahun atau bahkan puluhan tahun!"
Adanya kecenderungan "mengulur waktu" tidak terbantah, jika kita cermati
pernyataan Hamzah Haz yang lain, bahwa "Bila Laskar Jihad membawa misi sosial,
itu harus dilihat dulu. Kalau memang dibutuhkan masyarakat nggak masalah."
Padahal, kita tahu persis bahwa Laskar Jihad "mengambil jauh lebih banyak dari yang
mereka berikan kepada Muslim Maluku!" Jangan-jangan, Hamzah Haz nanti malah
berusaha mempertahankan Laskar Jihad di Maluku, karena Pemerintah NKRI dan
PDSD-Maluku tidak akan mampu membubarkan FKM-Eropah dan FKM-Amerika!? Di
sini, terlihat juga adanya tanda-tanda dari usaha untuk memelintir kenyataan tentang
konflik Maluku!
Mendagri, Hari Sabarno, juga memberikan sinyal tentang "kerancuan batas waktu
penarikan Laskar Jihad dari Maluku!" Mendagri mengatakan bahwa, "terkait dengan
batas waktu warga non Ambon untuk meninggalkan kota Ambon, menurutnya hal itu
terletak pada kewenangan penguasa darurat sipil, yang berhak menentukan kelompok
mana yang dibatasi dan kelompok mana yang boleh masuk. "Pusat tak terlalu
campur tangan pada hal-hal semacam itu, itu wewenang darurat sipil." "Dalam UU
Darurat Sipil sudah ada batasan-batasan yang mengacu pada UU 23/1959." Padahal,
yang memiliki wewenang tertinggi adalah PDS-Pusat, Pemerintah NKRI, dan karena
itu, "Menkopolkam bisa (pernah) menolak permintaan PDSD-Maluku untuk menarik
Laskar Jihad dari Maluku!" "Intervensi" (pinjam istilah Mendagri) seperti ini bukan saja
terjadi di dalam tubuh PDS, tetapi juga di dalam tubuh TNI, yang dilakukan oleh
Suaidi Marasabessy (Kodam Wirabuwana) terhadap Kodam Trikora, atas persetujuan
Wiranto!
Ketidak jujuran yang sama terlihat juga di dalam ucapan Mankopolkan, Susilo
Bambang Yudhoyono, bahwa "Apabila FKM/RMS telah dibubarkan dan Laskar Jihad
dikeluarkan dari Maluku PDS Maluku harus mampu memberikan perlindungan penuh
kepada semua komunitas di Maluklu sehingga tidak ada alasan bagi kelompok di luar
Maluku seperti Laskar Jihad datang ke Maluku dengan tujuan melindungi
keselamatan dan keamanan komunitas Islam di daearh itu." Laskar Jihad menyusup
ke Maluku, bukan untuk melindungi Muslim Maluku dari FKM/RMS, sebab FKM/RMS
justeru bertujuan mempersatukan rakyat Maluku-Muslim dan Kristen, di dalam satu
wadah kedaulatan, dan hal ini jelas terbaca pada struktur Kepemimpinan FKM dan
RMS. Setelah sudah terlalu banyak membunuh, merusak, menjarah, merampas dan
merampok, Laskar Jihad mulai 'kehilangan dasar pijak atau alasan' untuk tindakan
mereka, sebab sudah terlalu kentara bahwa 'mereka bukan lagi melidungi Muslim
Maluku, tetapi menghabisi Kristen Maluku'. Oleh sebab itu, mereka menciptakan
alasan baru, "membela integrasi NKRI", dan alasan ini DISAHKAN oleh Pemerintah
NKRI, seperti oleh Wapres dan Menkopolkam! Kita akan singgung sedikit tentang hal
ini nanti, dan sekarang kita kembali ke seputar Kunjungan Wapres ke Jafar Umar
Thalib.
Baru saja menerima "dorongan moril" dari Wapres RI. Hamzah Haz, Mabes
Polri-melalui Kepala Korps Reserse Irjen Pol. Engkesman R. Hillep, Direktur Tindak
Pidana Umum Brigjen Pol. Aryanto Sutadi, mencoba membuat kesepakatan dengan
Jafar Umar Thalib, untuk "membebaskan Panglima Laskar Jihad tersebut dari sel
tahanan, asalkan , Ja'far menarik seluruh Laskar Jihad dari Maluku, meletakkan
senjata dan secepat mungkin menyerahkan kepada aparat keamanan." Ada di sana,
Kapolri, Da'i Bachtiar, Hamzah Haz, Eggy Sudjana, dan Jafar Sendiri. Apakah ini
yang dimaksudkan Saleh Saaf sebagai "bisa menangani kasus tersebut dengan lebih
serius"? Saya percaya, 'deal' semacam ini tidak akan diberlakukan kepada FKM,
sebab nanti tidak ada lagi yang bisa dijadikan 'kambing hitam'! Atau mungkin karena
hal lain? Coba kita lihat dari sisi komentar Ketua PB NU, Hasyim Muzadi!
Menurut Muzadi, "konflik Ambon tak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan
aparat keamanan atau pengerahan pasukan secara besar-besaran. Namun, operasi
intelijen khusus sejak dini harus dilakukan mengingat keberadaan RMS sudah
berlapis-lapis kekuatannya." Orang akan dibawa kepada pemikiran bahwa, "Pasukan
besar-besaran bukan lagi tandingan RMS dengan kekuatan yang sudah
berlapis-lapis!" Padahal, yang saya maksudkan dengan ketidak-mungkinan lain untuk
diadakannya 'deal' dengan Mabes Polri, seperti yang ditawarkan kepada Jafar Umar
Thalib, adalah karena "tawaran meletakkan dan 'meyerahkan senjata kepada aparat,'
tidak mungkin dilakukan oleh FKM/RMS." Senjata apa yang akan diserhkan oleh
seseorang yang tidak bersenjata? Jika anda terlalu sukar percaya kepada ucapan
saya sebagai seorang Kristen, tanyakan diri sendiri, "jika kekuatan RMS sudah
berlapis-lapis, sehingga tidak tertandingi lagi oleh pengerahan pasukan (TNI/Polri)
secara besar-besaran, apa mungkin Laskar Jihad masih bisa bertahan di Maluku?
Apa mungkin dr. Alex Manuputty bisa ditangkap-paksa tanpa perlawanan? Mungkin
kita harus membiarkan hati kita berbicara, sebelum hati kita benar-benar kelu!
Setelah itu, Menkopolkam, Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan
PDSD-Maluku untuk "menuntaskan semua kasus dan membubarkan FKM/RMS serta
mengeluarkan pendatang yang tidak berkepentingan dari Maluku!" Di dalam situasi
dimana PDSD-Maluku disorot oleh berbagai pihak sebagai "lemah", "tidak kompak",
"tidak tegas", dll., mengapa Pemerintah NKRI selaku PDS-Pusat tidak mengeluarkan
maklumat itu sendiri? Sangat terasa bahwa Pemerintah NKRI 'tidak yakin' akan
mampu membubarkan FKM/RMS yang mempunyai 'sayap internasional' dan enggan
menyebut 'Laskar Jihad' sebagai pihak yang harus diusir dari Maluku. Pemerintah
NKRI tidak punya 'alasan hukum' untuk menggunakan jalur diplomasi bagi usaha
membubarkan FKM/RMS, dan terbentur oleh pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono
sendiri. Ketika Gubernur Maluku, PDSD-Maluku, M. Saleh Latuconsina meminta
Menkopolkam untuk mengeluarkan Laskar Jihad dari Maluku, permintaan tersebut
ditolak dengan alasan, "Laskar Jihad harus tetap di Maluku untuk menjaga
keseimbangan kekuatan!" Kelihatannya, Pemerintah NKRI sedang mencoba untuk
'melepaskan tanggung jawabnya' kepada PDSD-Maluku, lagi!
Di dalam ketidak-pastian dan kekalutan situasi seperti ini, Koordinator Kontras tidak
mau diam. Munir menyatakan bahwa, "pasal 134 KUHP berbunyi, "Penghinaan
dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana
penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp 4.500", seharusnya itu
tidak lagi dipergunakan dalam sistem hukum di Indonesia!" Karena itu, penangkapan
Jafar Umar Thalib merupakan langkah mundur bagi sistem penegakkan hukum RI.
Memang tidak salah kalau Munir berpendapat demikian, tetapi hal itu hanyalah
tetek-bengek tak berarti jika dibandingkan dengan Konflik Maluku yang sudah
menelan ribuan nyawa, menyengsarakan ratusan ribu orang, menghilangkan
harta-benda dan memusnahkan desa kelahiran. Seharusnya Munir melengkapi
pernyataannya dengan memberikan jalan yang sebaiknya ditempuh untuk mengakhiri
penyebaran hasutan dan kejahatan oleh Jafar Umar Thalib, demi perdamaian Maluku.
Sayangnya, Munir terlihat hanya sekedar mencari-cari bahan bicara dan mengail di air
keruh. Padahal, Munir bisa mengajak orang berpikir tentang "bagaiman jika Presiden
dan Wakil Presiden mempermalukan jabatan mereka sendiri," sebab pasal 134 KUHP
tidak melindungi orangnya tetapi jabatannya! Dengan itu, mungkin tidak akan ada lagi
kunjungan solidaritas model Hamzah Haz!?
Lain Munir, lain pula badan 'penegak hukum' yang bernama PAHAM (Pusat Advokasi
Hukum dan HAM). PAHAM melalui Zainuddin menyatakan bahwa, "tablig akbar-nya
Jaffar Umar Thalib adalah pernyataan kecintaan rakyat Maluku terhadap NKRI, dan
seruan untuk melawan segala bentuk sparatisme FKM atau RMS." Baiklah kita tidak
usah mempermasalahkan 'pembuktian istilah separatisme', walaupun sebagai sebuah
lembaga yang bergerak di bidang hukum, PAHAM seharusnya mampu melakukan hal
itu. Perhatikan saja bahwa PAHAM menggunakan istilah "kecintaan rakyat Maluku",
padahal Jafar Umar Thalib adalah keturunan Arab-Madura! Saya tidak tahu, apakah
mata atau hati yang tidak berfungsi pada Zainuddin, sehingga dia tidak mampu
membaca dan mengartikan ucapan Jafar seperti yang berbunyi, "Tiga tahun lebih
kaum Muslimin dipermainkan dan diperolok-olokkan dengan berbagai penipuan,
sandiwara jahat, dan makar-makar jahat yang dilancarkan oleh Pemerintah Propinsi
Maluku bersama gereja yang menjadi markas komando gerakan RMS." Dengan
melihat sekilas pintas saja, orang sudah tahu bahwa sasaran khotbah Jafar Umar
Thalib adalah warga Kristen! Amin Rais dan Hamzah Haz adalah saksi hidup, kalau
mau jujur, bahwa alasan infiltrasi Laskar Jihad ke Maluku adalah "solidaritas Muslim".
Sebagian Muslim malah berdalih bahwa tujuan utama Laskar Jihad adalah membantu
"Muslim di Maluku Utara," di mana tidak ada RMS!
Sesudah itu, Furum Ukhuwah Islamiyah yang terdiri dari MUI dan Ormas Islam se
Jabotabek, lalu "mengutuk penangkapan Panglima Lasyakar Jihad Ja'far Umar
Thalib." Din Syamsuddin, Sekjen MUI, mengatakan, "''Mestinya yang ditangkap
adalah tokoh Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang jelas-jelas menyatakan akan
mendirikan negara di atas Negara Kesatuan Republik Indonesia.'' Apakah itu Ukuwah
Islamiyah sehingg membutakan mata dan hati, untuk tidak melihat dan sadar bahwa
"dr. Alex Manuputty sudah di dalam Rutan Polda, lalu dipindahkan ke Rutan Pomdam
Pattimura? Sebagai kumpulan orang beriman, FUI seharusnya bisa lebih jujur untuk
mengatakan bahwa "FKM tidak hendak mendirikan negara, tetapi menuntut keadilan
dan hak bagi negara yang sudah SAH berdiri, tetapi dianeksasi oleh RI secara tidak
halal, dan wilayahnya digarap oleh NKRI dengan cara yang sama haramnya!" Jika
mereka beranggapan bahwa klaim FKM ini tidak benar, bukankah mereka bisa
membantahnya dengan mengajukan bukti-bukti bandingan? Saya percaya,
mereka-mereka ini hanya mencoba mengeruhkan suasana di Maluku dengan
menunggang FKM/RMS, supaya "ada yang nantinya tidak akan kelihatan!"
Adanya upaya "pembelokkan" masalah MAluku semakin kentara di dalam ucapan
Habib Risieq Shihab tentang Theo Syafei, "kami pernah melaporkan pidato Theo
Syafei tiga tahun lalu. Pidato itu membuat onar di Kupang dan Ambon." Saya pribadi
sudah mendengan sendiri rekaman ceramah tersebut, dan saya adalah saksinya
bahwa "tidak pernah ada gejolak atau keonaran di Ambon/Maluku, yang ditimbulkan
oleh ceramah tersebut. Ceramah tesebut berisikan 'peta politik Indonesia" saat itu, di
dalam hubungannya dangan tindakan biadab, Mei 1989!" Pada akhirnya, Theo Syafei
bukan mengajak warga Kristen, khusus suku Tionghoa, untuk tidak takut dan lari
meninggalkan "tanah air" mereka, sebab Yesus Kristus bersama mereka! Theo Syafei
tidak pernah mengajak warga Kristen untuk mengangkat senjata demi nama Tuhan,
seperti yang sudah berulang-kali dikumadangkan Jafar Umar Thalib! Kalaupun bukan
merupakan usaha pemutar-balikkan akar konflik Maluku, maka paling tidak, tindakan
ini bertujuan untuk mengaburkan suasana dengan menyerang Megawati dan
kebijaksanaannya!
Pada bagian lain, Ketua Data dan Informasi Majelis Mujahiddin Indonesia, Fauzan Al
Anshari, mangatakan, "Theo menyebut Al Quran hanya sebuah buku tipis yang berisi
tidak lebih dari 30 juz." Sejujurnya, saya belum pernah mendengar ucapan seperti ini.
Lagipula, kalau ucapan itu benar, mengapa harus merasa terhina? Kalau ucapan itu
tidak benar, saya pikir itu sangat berguna bagi mereka untuk dijadikan bahan
introspeksi, bagaimana perasaan warga Kristen, jika "Kesalahan Alkitab diteriakkan
melalui pengeras suara di Mesjid-Mesjid dan diedarkan secara bebas dan
terang-terangan", sementara kami hanya dibenarkan oleh hukum untuk "diam!" Jika
Theo Syafei harus dipenjarakan karena 'kesalahan pada sebuah buku, yang tidak
menghilangkan satu nyawapun, apa yang harus dilakukan terhadap Jafar Umar Thalib
karena perkataan, "PDS telah dikuasai dan dikendalikan oleh gereja yang nota bene
adalah markas komando gerakan RMS," yang dampaknya sudah dirasakan oleh
warga Kristen Soya? Saya mengaku bahwa apa yang diklaim Fauzan dengan
mangatakan bahwa "Theo juga dianggap melanggar pasal 134 tentang penghinaan
kepada kepala negara saat itu BJ Habibie," tidak jauh dari kenyataan. Yang saya
ingat adalah bahwa "Habibie bukan pemimpin (Muslim) yang baik, tetapi alat yang
baik (di tangan ICMI)!" Buktikan bahwa ucapan ini salah! Atau kita harus bertanya lagi
kepada Munir tentang pasal 134 KUHP ini?
Berbicara tentang KUHP, saya terpikir untuk menyinggung pernyataan PDSD-Maluku,
M. Saleh Latuconsina dan Tim Penyidik Gabungan PDS Maluku, Komisaris Besar
Jhony Tangkudung, tentang FKM. Seleh Latuconsina mengatakan, "Mereka dikenai
pasal makar atas perbuatannya!", sementara Jhony Tangkudung menunjuk "pasal 106
dan pasal 110 KUHP dan pasal 12 UU No 23 tahun 1959!" Perhatikan bahwa kedua
pejabat PDSD-Maluku ini menunjuk "tahun 1959", sementara RMS resmi merdeka
pada "tahun 1950"! Artinya, baik KUHP, maupun UU No 23, tidak dapat diterapkan
untuk mengadili RMS, atau kita berama-ramai harus mengebiri Sejarah Indonesia
sampai pada tahun 1959 saja! Oleh sebab itu, mengapa BPKRMS mengatakan
bahwa, Pemerintah RI memutarbalikkan hukum (UU Darurat Sipil yang mengacu pada
UU No 23 1959), yang seharusnya mengacu pada Bab IV Bagian V pasal 175 spd
Bab VI pasal 184:1,2. dari Rancangan Konstitusi RIS 1949 (jika sasarannya adalah
RMS).
Saya ingin sekali mengajak Pangkostrad, Letjen TNI "Ryamizard Ryacudu", untuk
mengomentari paragraph di atas, supaya dia tidak usah menunjukkan kejantanan
dengan mengandalkan ucapan-ucapan kosong. Ryamizard Ryacudu mengatakan
akan "menindak tegas kelompok separatis yang mengacau kawasan NKRI." Itu kata
"tentara yang bersenjata"! Bagaimana kata "prajurid yang menjungking hukum dan
keadilan?" Apakah Ryamizard Ryacudu, masih mampu bersikap tegas untuk
memberikan BUKTI ILMIAH (hukum) bahwa RMS adalah kelompok separatis?
Ryamizard Ryacudumenambahkan, "bila menemui bendera Republik Maluku Selatan
(RMS) anggota TNI harus menurunkannya. Jika masih tetap ada orang-orang yang
ingin menaikkan, ya ditembak saja.'' Saya jadi ingin tahu, apa yang akan dilakukan
Ryamizard Ryacudu, jika dia menemukan "ratusan Bendera RMS di Al Fatah dan
Muslim Galunggung!" Tembak saja? Jika RMS dan FKM sudah separatis, mengapa
mereka harus diseparatiskan lagi oleh Wiranto dan Suaidi Marasabessy melalui Al
Fatah? Semoga Ryamizard Ryacudu yang jenderal TNI, lebih banyak berpikir
sebelum bicara, jika tidak ingin sekedar mengumbar ucapan-ucapan kosong! Ingat
"korupsi maha besar di dalam tubuh Kostrad", dan kenyataan bahwa yang pertama
masuk sebagai "pasukan vigilante" ke Maluku adalah Pasukan Kostrad!
Mungkin saya harus mengajak Ryamizard Ryacudu untuk melihat situasi terakhis di
Ambon, dimana "Speedboat Pemda diledakkan di Pelabuhan Pandu, samping
Pelabuhan Yos Soedarso", dan "Rumah Ketua Delegasi Muslim Maluku ke Malino II,
Tahmrin Ely, di kawasan Muslim, dimana Markas Laskar Jihad berada, Kebun
Cengkeh, dibakar habis!" Sementara istilah "separatis" tidak mampu dibuktikan oleh
Ryamizard Ryacudu, siapa sebenarnya yang merusuh di Maluku? Walau Republika
mencoba merelatifkan kenyataan ini, melalui berita, "''Mereka adalah orang yang
sering mengancam saya,'' kata Thamrin ketika diwawancarai radio Elshinta di Jakarta,
Senin (13/05/02). Meski begitu, dia tidak bersedia mengatakan siapa orangnya," kita
semua tahu bahwa yang mengancam Thamrin Ely adalah Laskar Jihad! Cukuplah
seragammu yang hijau, dan jangan hijaukan pula hati dan inteligensiamu untuk
membolak-balik kenyataan tentang Maluku, Ryamizard Ryacudu!
Kembali pada usaha pembengkokkan kasus Konflik Maluku, Ketua I DPP FKASWJ,
Ayip Syafruddin dan Sekretaris Umum Abu Yusuf Wasis, menegaskan "Pemerintah
juga dipandang tidak memahami masalah, sebab Laskar Jihad datang ke Maluku
setelah konflik berlangsung lebih dari satu tahun. "Penarikan Laskar Jihad tidak
menjamin warga muslim yang pro-NKRI akan terlindungi." Laskar Jihad menyusup
(secara terang-terangan, di bawah tangan Kapolda jatim, Da'i Bachtiar, dan Pangdam
Brawijaya, Sudi Silalahi), ketika "FKM belum lahir", dan bahkan sebelum bukunya
Rustam Kastor diterbitkan! Memang benar bahwa 'isu RMS' sudah pernah ditiup-tiup
sebelumnya oleh duet Wiranto-Suaidi Marasabessi! Isu RMS tesebut akhirnya pudar
dan mati, setelah Danrem 147 Pattimura, Kol. Inf. KA. Ralahalu, menyita ratusan
Bendera RMS, "Benang Raja", dari Al Fatah dan Muslim Galunggung! Sangatlah
bijaksana dan jujur, jika Tim Investigasi Independen Nasional (TIIN) mencoba
menjawab pertanyaan sederhana, "Mengapa Wiranto dan Suaidi Marasabessy
melakukan hal yang tidak terpunji seperti itu?" Apa yang dikatakan Gatra sebagai
ucapan Ayip Syafruddin, "Maluku Beres, Laskar Jihad Pergi", adalang usaha
menjungkir-balikkan kebenaran. "Laskar Jihat pergi, Maluku akan baru bisa
dibereskan!"
Usaha-usaha pembengkokan asal-usul konflik Maluku semakin kentara, ketika Ketua
Departemen Humas Badan Immarah Muslim Maluku (BIMM), Aziz Hehaitu, mulai
malantunkan lagu lama, bahwa "Idul Fitri tiga tahun lalu benar-benar membekas
dalam benak warga Muslim Maluku. Saat itu 19 Januari 1999. Di tengah suka cita
hari raya, mereka menerima gempuran. Korban berjatuhan. Pernyatan ini adalah
"masukan" yang cukup berarti bagi TIIN! Jika Muslim Maluku diserang dan dibantai
pada tanggal 19 Januari 1999, maka yang pertama terbakar pada sore hari, 15.30
wit., adalah rumah warga Muslim, dan bukan rumah warga Kristen Mardika, seperti
milik Bpk. Silas Noiya, dan rumah warga Kristen Silale, seperti milik Alm. Bpk. Albet
V. Nikijuluw. Jika warga Kristen Ambon merencanakan penyerangan, berarti
"rombongan KKR Remaja Gereja Perjanjian Baru, tidak akan ke Desa Muslim Hila,
terjebak dan menjadi korban. Jika warga Kristen Ambon menyerang dan menembak
Jemaah Ied di Lapangan Merdeka, pagi hari jam 10.00 wit, berarti harus ada
korbannya, dan tidak akan ada korban di pihak Kristen, yang "terjebak kunjungan
silaturahmi dalam rangka Lebaran, dan menjadi korban pada sore dan malam
harinya!"
Identik dengan yang di atas ini, Ayip Syafruddin mengatakan bahwa, "Laskar Jihad
akan meninggalkan Maluku jika pemerintah menjamin menindak tegas provokator dan
aktor intelektual insiden 19 Januari 1999, atau yang lebih dikenal 'Idul Fitri berdarah'."
Istilah Idul Fitri Berdarah sudah ada sebelum 19 Januari 1999, ketika MUI-Maluku
meresmikan Posko dan Tim Advokasi "Idul Fitri Berdarah", pada tanggal 6 Januari
1999. Idul Fitri 1999 memang berdarah, dan yang pertama mengalir adalah "darah
warga Kristen!" "Jika Muslim bisa seenaknya berdusta di dalam bulan Ramadhan,
apa yang melarang dia untuk membunuh pada hari Lebaran?" Kenyataan bahwa
MUI-Maluku memiliki Ketua seorang Perwira Polisi, Kol. Rusdi Hasanussi, juga
merupakan bahan yang menarik bagi TIIN, untuk meneliti jalur konflik Maluku yang
mengarah ke MUI-Pusat !
BIMM juga mengatakan, "Pemerintah tak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan
kami.'' Jika Pemerintah NKRI tidak melakukan apa-apa, maka "tidak akan ada
pemberangkatan dan penyiagaan Pasukan Kostrad dari Jakarta ke Makassar, pada
tanggal 7 Januari 1999. Jika Pemerintah NKRI tidak melakukan apa-apa, tidak akan
ada Pasukan Kostrad dari Kodam Wirabuana, Sulsel, yang tiba di Maluku segera
setelah kerusuhan pecah. Pasukan yang dipimpin oleh Suaidi Marasabessy ini,
"terlibat langsung secara emosional (ras dan agama) dengan korban warga Muslim
asal Buton, Bugis dan Makassar (BBM), dan berindak sebagai 'pasukan pembalas
dendam' di Ambon. BIMM melanjutkan, "Laskar Jihad datang, membuat situasi
berimbang. ''Mereka tak melakukan gangguan apa pun di Maluku, mereka justru
menolong masyarakat Muslim Maluku ketika mulai dibantai pada 1999,'' di luar
kanyataan bahwa Laskar Jihad menyusup ke Maluku pada sekitar pertengahan tahun
2000, dan tindakan mereka justeru terbalik dari "tak melakukan gangguan apa pun di
Maluku "!
Semantara itu, Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Maluku, Ustadz Abdul Wahab
Polpoke mengatakan. keberadaan Laskar Jihad di Maluku, terutama sebelum
Kesepakatan Malino II, sangat diperlukan. ''Sesudah perjanjian Malino, terbukti Laskar
Jihad tidak melakukan kekerasan. Kekuatan Islam maupun Kristen sepatutnya
menghormati Kesepakatan Malino.'' Ada baiknya TIIN menanyakan langsung kepada
Abdul Wahab Polpoke, "Mengapa keberadaan Laskar Jihad di Maluku, terutama
sebelum Kesepakatan Malino II, sangat diperlukan?" TIIN bisa juga menanyakan
MUI-Maluku dan Al Fatah, "Mengapa setelah menyerang dan membakar perumahan
Kristen di Mardika dan Silale, 'pasukan putih' yang soremya menumpuk di Pasar
Gambus dan Belakang Kota, RAIB dari sana pada malam harinya?" Kompleks
Muslim BBM Pasar Gambus tidak akan mungkin dihancurkan oleh sekitar 30an
pemuda Kristen dan tak satupun dari mereka yang tergores, jika Muslim BBM Pasar
Gambus tidak sengaja dijadikan tumbal oleh MUI-Maluku dan Al Fatah, di dalam
kaitannya dengan istilah "sangat diperlukan" dari Ketua MUI-Maluku, Ustadz Abdul
Wahab Polpoke, di atas! TIIN juga bisa menanyakan Fungsionaris PAN dan anggota
DPR RI, AM FATWA, untuk membuktikan ucapannya yang disiarkan oleh siaran
Televisi nasional, "Muslim lagi beribadah, diserang dan dibantai!"
Untuk meramaikan usaha pemelintiran kebenaran tentang asal-muasal konflik
Maluku, Dudung Abdul Muslim (Suara Merdeka 11/05/02) memisalkan Jafar Umar
Thalib dan Alex H. Manuputty sebagai 'biang kerusuhan di Maluku, lalu bertanya,
"Apakah Ja'far dianggap lebih berbahaya daripada Manuputty, dan Laskar Jihad lebih
mengerikan ketimbang FKM yang nyata-nyata jelmaan RMS?" Jawabannya tentulah
tergantung dari 'terhadap siapa', kedua tokoh ini terlihat mengerikan, "rakyat Maluku,
rakyat Alif'uru Salam-Sarani," atau "Pemerintah NKRI." Hal ini bisa dijawab dengan
membandingkan "dakwah Jafar Umar Thalib" dan "khotbah Alex H. Manuputty (jika
ada) terhadap rakyat Maluku! Saya pikir, ada baiknya saya kembalikan pertanyaan
Dudung Abdul Muslim kepada dirinya sendiri, "Mungkinkah pemerintah hendak
menciptakan stigma bahwa Laskar Jihad itu kelompok Islam yang berbahaya?",
dengan memperhatikan sikap dan pernyataan Pemerintah NKRI, seperti dari Wapres,
Hamzah Haz, dan Menkopolkam, Susilo Bambang Yudhoyono di atas, supaya dia
berhenti 'memisterikan dan memutarbalikkan kebenaran sedehana yang begitu jelas
terlihat'!
Tidak baik jika saya tidak menyertakan sumbangan keramaian bagi polemik Maluku
dari pihak GPM, lewat Wakil Ketua Badan Pertimbangan Sinode GPM, Filipus Litaay,
ketika menghadiri pertemuan yang diselenggarakan Gereja Protestan Indonesia Barat
(GPIB) untuk mencari solusi perdamaian di Maluku dengan mengundang GPM dan
Badan Immarah Muslim Maluku (BIMM), di Jakarta. Filipus Litaay mengatakan,
"Gereja Protestan Maluku (GPM) meminta pemerintah menindak tegas kelompok
yang berupaya memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI dan membentuk Republik
Maluku Selatan (RMS)." "GPM sangat senang Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM)
Alex Manuputy ditangkap dan diadili, agar Maluku terpelihara dari separatisme dan
demi tegaknya integrasi. `Tim Investigasi agar segera didatangkan untuk mengusut
dan mengadili para anggota RMS!"
Pernyataan GPM ini sudah mendapatkan banyak tangapan negatif sampaipun berupa
makian terhadap pribadi Filipus Litaay. Saya ingin sekali melihat hal ini dari sisi yang
lain, yang mungkin agak sukar dibaca oleh yang tidak memiliki kepekaan tinggi.
Untuk itu, coba kita andaikan bahwa Pemerintah NKRI ini adalah pemerintah
terhormat, halus budi-pekertinya, dan peka perasaannya. Di dalam keadaan ideal
seperti itu, Pemerintah NKRI tidak akan mungkin menilai pernyataan GPM di atas
sebagai suatu pernyataan yang melulu didasarkan pada rasa 'kesetiakawanan
nasional'! GPM memberikan dorongan kepada Pemerintah NKRI untuk "bertindak
tegas di dalam hukum dan keadilan" terhadap kelompok separatis FKM/RMS!" Untuk
itu, Pemerintah NKRI ditantang oleh 'hukum dan keadilan' untuk sebelum mengambil
tindakan tegas terhadap FKM/RMS, menggunakan 'hukum dan keadilan' di dalam
membuktikan bahwa "RMS dan Tuntutan FKM adalah aspirasi yang terkait dengan
separtisme!" Hukum yang mana dan keadilan menurut siapa? Jika andaian kita benar
tentang Pemerintah NKRI (terhormat, halus budi-pekerti dan punya kepekaan) maka
mereka sudah lebih dari tahu apa jawabannya!
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk melihat 'dua
pernyataan aneh' yang seharusnya tidak diutarakan! Pertama, "Presiden Ikhwanul
Muslimin Indonesia (IMI) Habib Husein Al-Habsyi, menolak keputusan Pemerintah
untuk mengeluarkan Laskar Jihad dari Maluku!" Memang apa fungsinya Presiden
Ikhwanul Muslimin Indonesia di dalam Pemerintahan Negara, sehingga 'setuju dan
tidak setujunya' ikut menenutkan? Kedua, "Presiden Megawati Soekarnoputri
menyetujui rencana pembentukan tim investigasi independen nasional untuk Maluku
guna mengatasi konflik berkepanjangan di provinsi itu." Apa Megawati memang bisa
untuk tidak menyutujui butir Deklarasi Malino II tersebut? Yang lebih lucu tapi
menyedihkan adalah "pernyataan setuju untuk mengeluarkan Laskar Jihad dari
Maluku", oleh Hasyim Muzadi! Memang kalau orang ini tidak setuju, lalu apa?
Perlu dicatat bahwa "bisa" tidak sama dengan "terpaksa harus"! Saya setuju dengan
pendapat, "Pembubaran FKM/RMS dan Penarikan Laskar Jihad dari Maluku, tidak
akan menyelesaikan masalah Maluku!" Kedua kelompok ini bukanlah akar dari
Konflik Maluku! Laskar Jihad yang menyusup ke Maluku pada pertengahan tahun
2000, adalah "eskalator" kerusuhan Maluku, sedangkan FKM yang lahir pada bulan
Desember 2000, adalah "alasan sempurna" bagi Eskalator Konflik Maluku (Laskar
Jihad) dan Sponsor mereka (gelap maupun terang-terangan) untuk tetap melanjutkan
proyeknya. Karena itu, 'menghabisi' kedua kelompok itu dari Maluku belum sampai
menyentuh 'biang' kerusuhan Maluku! Saya tidak akan memberikan penjelasan
panjang lebar di sini, dan jika anda ingin menggali akar konflik Maluku, silahkan baca
tulisan-tulisan "Tangan-tangan Jakarta di balik Konflik Maluku" (GJA, Aditjondro,
PhD), "Keterlibatan TNI di dalam Konflik Maluku" (Dr. Th.A. Tomagola) dan lain-lain,
termasuk sebagian komentar saya pada awal kerusuhan. Sebuah contoh, "Amin Rais
menyetujui dan mendukung infiltrasi Laskar Jihad ke Maluku, dengan menentang
perintah Presiden RI", lalu sekarang "menyetujui dan mendukung penarikan Laskar
Jihad ke Maluku, dengan membenarkan perintah Presiden RI (lewat Menkopolkam)"!
Sepertinya, dosa Amin Rais dahulu, sudah impas oleh amal baktinya sekarang!?
"Lalu dimana kepastian hukum dan keadilan untuk Maluku?"
Pada akhirnya, saya sengaja mengutip satu paragraf dari berita Media Indonesia,
Minggu, 5 Mei 2002, yang berbunyi "Menurut Alex, perjuangannya bertujuan untuk
mengembalikan kedaulatan bangsa Maluku yang sudah merdeka dan berdaulat sejak
25 April 1950. "Kembalikan kemerdekaan kami yang sudah dirampas NKRI," kata
Alex, beberapa waktu lalu. Betulkah?" Sebuah pertanyaan menarik untuk dijawab
oleh Pemerintah NKRI di dalam koridor hukum dan keadilan, yang sekaligus
merupakan jawaban atas tantangan tersamar dari GPM lewat Filipus Litaay di atas.
Seorang anak Maluku, anak Alif Ur seperti saya tentu akan bertanya, "Mampukah?"
Salam Sejahtera!
JL.
|