The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Hukum Atau Fatwa?


Hukum Atau Fatwa?
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya

Salam Sejahtera!

Saudara-saudara se-Maluku,

Kita memang tidak terlalu beruntung, berada di dalam negara TAK BERHUKUM, tetapi paling yang rajin mengaku diri sebagai "negara hukum!" Hukum adalah pengalas lidah para 'penguasa' di dalam negara ini, yang berubah-ubah menurut keinginan dan kepentingan mereka. Kita tidak tahu, apakah negara ini menggunakan KUHP atau FATWA, seperti yang jelas-jelas terlihat di dalam "usaha penjegalan Megawati untuk menjadi RI-1" dengan menggunakan alasan "pemimpin wanita", tetapi kemudian berubah "karena kondisi dan situasi!" Seperti itulah, hukum di dalam negara ini diubah menjadi FATWA untuk dipermainkan menurut kondisi dan situasi, demi memenuhi keinginan 'penguasa', baik penguasa resmi, maupun yang didaulat menjadi penguasa karena banyak jumlahnya – mayoritas. Timor Leste adalah negara baru yang beruntung!

Setelah Bromob beradu dengan Kopassus di Kudamati, Ambon, sehingga memperlihatkan "multi-isme kepempinan" di dalam penanganan konflik Maluku, Kepala Pusat Penerangan (Puspen) TNI Mayjen, Sjafrie Sjamsoeddin, buru-buru menimpakan kesalahan kepada PDSD-Maluku, melalui pernyataan, "Satuan-satuan yang ada di Maluku seluruhnya bekerja di bawah otoritas Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) Maluku (Tempo, 18/05/020).

Tidak mau ketinggalan, Kepala Dinas Penerangan (Dispen) TNI AD, Brigjen Ratyono, ikut memberikan pernyataan, "Gubernur Maluku selaku PDSD Maluku bertanggung jawab untuk menjalankan fungsi koordinasi dengan Panglima Kodam XVI/Pattimura, Kepala Polda Maluku, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku" (Tempo, 18/05/020).

Kedua pernyataan di atas hanya memiliki kebenaran, dalam artian "PDSD-Maluku harus bertanggung jawab, jika otoritas terhadap satuan-satuan aparat bersenjata di Maluku, memang dijamin olah Jakarta dan merupakan kenyataan di lapangan!" Tetapi sejak semula, kita sudah tahu bahwa terbanyak dari satuan TNI/Polri, datang ke Maluku dengan membawa instruksi dan kepentingan masing-masing angkatan dan satuan. Jika PDSD-Maluku memiliki otoritas, maka pasukan yang dikirim ke Maluku seharusnya diarahkan oleh PDSD-Maluku. Kenyataannya, mereka datang dengan membawa "indoktrinasi sendiri-sendiri" dari Komoando asal mereka, bahwa "TUGAS UTAMA MEREKA ADALAH MEMADAMKAN PEMBERONTAKAN WARGA KRISTEN MALUKU (RMS)", dan hal ini terjadi berulang kali sejak awal kerusuhan.

Contoh yang lain terlihat pada kasus "Komando Siluman Wijaya II"! Komando Siluman yang dikoordinasikan oleh beberapa Perwira Menengah Polri dan satu Perwira menengah TNI, diberangus oleh Batalyon Gabungan TNI (Yongab) di hotel Wijaya II, Ambon! Akibatnya, YonGab ditarik perlahan-lahan dengan alasan sirkulasi, tetapi para DESERTIR TNI/POLRI tersebut tidak pernah berhadapan dengan konsekwensi hukum dan keadilan. Mantan Kapolda Maluku, Brigjen Pol. Firman Gani, yang seharusnya bertanggung jawab terhadap perbuatan anak buahnya, malah melenggang bebas dan "naik" menjadi Kapolda Sulawesi Selatan. Pertengkaran antara YonGab dengna Brimob, antara Marinir dengan Polisi dan lain-lain seperti itu, sudah sering terjadi sejak awal kerusuhan. Peristiwa-peristiwa seperti itu tidak akan terjadi jika PDSD-Maluku memiliki otoritas atas seluruh pasukan di Maluku! Peristiwa-peristiwa seperti itu adalah gambaran jelas tentang OTORITAS JAKARTA di Maluku, yang menjadikan PDSD-Maluku seperti BONEKA VOODOO (Jakarta berbuat, PDSD-Maluku yang ditusuk)! Selain itu, terlihat jelas bahwa yang berlaku di Maluku bukan hukum, tetapi FATWA

Ketua MUI-Maluku, Kol. Pol. Rusdy Hasanussi, membayar dan memasok Laskar Muhammdiyah dari Makassar ke Ambon, sementara Wiranto dan Suaidi Marasabessy (Pangdam Wirabuawana) melanggar territorial Kodam Trikora, Irian Jaya, untuk masuk ke Maluku dengan membawa "pasukan vigilante-Kostrad"! Akibat dari kasus Pasokan Laskar Muhammadiyah tersebut, Kompleks Polres Perigi Lima dan sekitarnya dihujani tembakan, yang ditujukan khusus untuk menghabisi saksi kunci, Nn. Mery Rikumahu yang harga kepalanya naik drastis menjadi jutaan rupiah. Tidak adanya proses hukum yang menuntaskan kedua masalah ini membenarkan pernyataan bahwa "yang berlaku di Maluku bukan Hukum, tetapi FATWA!"

Seorang yang katanya "Pakar hukum Universitas Hasanuddin, Achmad Ali, memberikan penilaian bahwa "tindakan Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM) Alex Manuputty sudah dapat dianggap makar karena ada permulaan tindakan untuk memisahkan diri dari NKRI, meski Alex mengklaim gerakannya adalah gerakan moral dan tak bersenjata." (Indonesiamu, 17/05/02) Achmad Ali mengatakan, "Tindakan Alex melanggar pasal 106 (KUHP?) dan pantas diajukan ke pengadilan."

Sementara itu, Kuasa hukum dr. Alex Manuputty, Christian Rahajaan, membantah bahwa, "Tuduhan makar, kata Cristian, terlalu prematur. Menurut dia tindakan makar harus dilengkapi dengan senjata dan rencana pembunuhan. Sedangkan kegiatan FKM tidak pernah menggunakan senjata." Menurut Christian, "FKM melakukan gerakan moral tidak bersenjata untuk menuntut KEADILAN dari Pemerintah NKRI, dan karena itu, Pembubaran FKM bukannya berdasarkan hukum, tetapi malah melanggar hukum (HAM)!"

Masalah makar yang berhubungan dengan gerakan bersenjata atau tidak bersenjata, dapat dijadikan bahan untuk perbantahan yang berlarut-larut dan tiada ujungnya. Sama halnya dengan perbantahan 'apakah pembubaran FKM itu sesuai atau melawan hukum. Hal-hal seperti ini sebenarnya bisa dihindari dengan melakukan analisa terhadap tuntutan FKM untuk mendapatkan KEADILAN bagi Maluku. FKM menuntut agar "Pemerintah NKRI mengembalikan Kedaulatan Maluku yang dirampas secara illegal," dan telah telah mengajukan bukti-bukti hukum untuk itu. Jika tuntutan FKM itu bisa dijatuhkan secara hukum oleh Pemerintah NKRI, maka FKM tidak perlu ada, kecuali untuk memberontak. Anehnya, Pemerintah NKRI malah "tidak bersuara" dan sepertinya menghindar dari keharusan untuk membuktikan secara hukum, bahwa RMS itu tidak sah/ilegal! Mengapa?

Republika (17/05/02) mencoba mengangkat Hamka Haq, Guru Besar, Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Makassar, untuk mengatakan bahwa "Supremasi Hukum, Solusi Untuk Maluku," dengan melihat penangkapan dan pemindahan dr. Alex Manuputty. Saya ingin bertanya, "Supremasi hukum yang mana?" Tahun lalu, dr. Alex Manuputty ditahan dan dipimpong antara Polda Maluku dan Mabes Polri Jakarta, karena "Menaikkan Bendera RMS di dalam Upacara HUT-51 RMS", sementara Jafar Umar Thalib ditahan di Mabes Polri karena "mencabut nyawa WNI , Abdullah, dan memberlakukan Syariat Islam (Hukum Rajam Sampai Mati) di dalam wilayah hukum positif NKRI yang berlandaskan Pancasila! Pemimpin FKM tersebut disidang dan divonis 4 bulan penjara, hanya karena melanggar maklumat PDSD-Maluku, sementara Jafar Umar Thalib mempraperadilankan Kapolri, lalu diberi tahanan sumah yang identik dengan pembebasan penuh.

Sekarang, dr. Alex Manuputty ditahan dan diancam dengan pasal-pasal KUHP tentang makar, hanya karena "berencana menaikkan bendera RMS yang terbukti dengan tiga tiang bendera yang disita dari pekarangan rumahnya!" Saya yang lagi serius, akhirnya tidak bisa tahan untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Sementara itu, Jafar Umar Thalib mulai "menyangkali" suaranya sendiri, dan bersiap untuk menuntut Kapolri (lagi!), sambil menerima kunjungan ratusan tamu, termasuk Wakil Presiden RI, Hamzah Haz dan Anggota DPR/MPR RI, Ahmad Soemargono. Apakah dagelan ini harus kita sebut sebagai 'Proses hukum yang suprim'? Jika NKRI memiliki supremasi hukum, maka tidak ada alasan bagi Pemerintah NKRI untuk tidak melibas FKM sekaligus dengan RMS "secara hukum", dan meminta dunia internasional untuk membekukan mereka! Sayang, Pemerintah NKRI berhadapan dengan "dosa masa lampau", dan karena itu selalu berusaha berkelit dari Supremasi Hukum, dengan membiarkan negara ini diatur oleh Supremasi FATWA!

Saat ini, TNI (Kopassus) sedang mencoba menggemparkan suasana nasional dengan apa yang mereka temukan sebagai "Dokumen RMS!" Kol. EH. Lubis, mengatakan bahwa "bundelan dokuman RMS itu ditemukan pada beberapa rumah di sekitar kediaman dr. Alex Manuputty di Kudamati (Antara, 17/05/02). Padahal, Mayor Herry Suhardi mengatakan sebelumnya bahwa "dokumen RMS itu ditemukan di rumah dr. Alex Manuputty!" Mana mungkin PDSD-Maluku punya OTORITAS, jika dua Perwira TNI yang memberikan penjelasan tentang "penemuan yang sama, tetapi pada tempat yang berbeda", sementara PDSD-Maluku tidak tahu apa-apa tentang operasi tersebut???

Masalah "dokumen RMS" ini adalah masalah usang. Ketika Konflik Maluku baru seumur jagung, Suaidi Marasabessy, "Pangdam Wirabuwana yang bermarkas di dalam teritorial Kodam Trikora di Ambon," mengangkat dan meniup isu-isu "penemuan dokumen RMS di Pulau Haruku." Jika dokumen RMS tersebut terkait dengan Kerusuhan Maluku, tentu saja duet Wiranto-Marasabessy sudah memprosesnya dan menjadikannya sebagai "Akar Konflik Maluku!" Sayangnya, penemuan ini kemudian tercium sangat berbau rekayasa, yang dilandasi oleh niat yang tidak bersih. Penemuan tersebut dianulir oleh penemuan "ratusan bendera RMS di Mesjid Al Fatah dan di daerah Muslim Galunggung", oleh sweeping Kol. KA.Ralahalu, Danrem Pattiimura waktu itu. Wiranto-Marasabessy bungkam, kasus penemuan dokumen RMS menguap, lalu Kol.

KA. Ralahalu dicabut dari Maluku. Apakah ini gambaran dari Supremasi Hukum atau Supremasi FATWA?

Padahal, saat ini adalah "kesempatan yang amat langka bagi Pemerintah NKRI untuk membersihkan diri dari tuduhan "agresor atas Maluku", dan menguburkan FKM dan RMS di dalam satu lobang, sekali untuk selamanya. Ternyata, Pemerintah NKRI terus mengabaikan kesempatan emas tersebut, karena tidak memiliki "cangkul dan sekop Hukum" untuk menggali kolam bagi FKM dan RMS. Pemerintah NKRI terpaksa menggunakan "cangkul dan sekop FATWA" untuk menebas FKM dan RMS, seperti Herodiah meminta pancungan kepala Yohanes Pembaptis yang mengingatkannya atas dosa perzinahannya! Pemerintah NKRI juga hendak menepuk 'dua lalat' sekaligus, "menumpas FKM/RMS dan menjadikan mereka sebagai akar Kerusuhan Maluku!" Saya menjadi semakin tidak yakin bahwa TIIN akan mampu mengungkit akar kerusuhan Maluku!

Adalah suatu hal yang memalukan, jika kelompok elit khusus TNI seperti Kopassus sampai harus menggauli seorang preman avonturir seperti Berty Loupatty, untuk mengorek keterangan berharga tentang FKM/RMS. Mana kepiawaian inteligen-TNI yang katanya sangat diandalkan itu? Jika yang dilakukan TNI dengan mengambil 'musuh FKM', Berty Loupatty sebagai saksi kunci terhadap rencana kegiatan FKM/RMS, sesuai dengan "Standar Operasional", maka TPG juga bisa menjadikan anggota FKM sebagai saksi kunci terhadap kegiatan Berty Loupatty. Tapi, TPG justeru mengambil "teman Berty Loupatty", Yunus Siahaya! Apakah dalam hal ini, standar prosedural TNI berbeda dengan Polri? Semakin mereka berbicara (TNI/Polri), semakin kelihatan penyimpangannya! Bagaimana supremasi hukum bisa tercipta di Maluku, sementara para penegak hukum sendiri menggupayakan supremasi FATWA?

Sejak pertama sudah saya katakana bahwa "bentrokan berdarah Porto – Haria" (dua desa Kristen bertetangga di Saparua), tidak terlepas dari unsur adu-domba yang terkait dengan usaha-usaha "melumpuhkan FKM dan menjadikan mereka sebagai akar Kerusuhan Maluku!" Porto mendukung FKM, sedangkan Haria menolak FKM. Mengapa keduanya tidak diadu? Lalu masuklah TNI melalui Berty Loupatty untuk melakukan provokasi. Tembakan yang memulai pertengkaran kedua antara Porto-Haria lebih berbau 'sniper' daripada tembakan amatiran bersenjata rakitan. Saya menyesal bahwa warga Porto-Haria terlalu terpaku pada kenyataan lokal di sekitarnya, sehingga terpancing untuk saling bunuh dan bakar karena ulah orang lain. Mereka seharusnya bisa melihat keseluruhan "skenario nasional" yang sedang diimplementasikan oleh Jakarta di Maluku, bahwa FATWA lebih tinggi dari HUKUM!

Pembunuhan Bpk. Theys H. Eluway diklaim mabes TNI sebagai "tindak pidana murni". Ini FATWA dan bukan HUKUM! Pada tahun 1950, RMS dan RI adalah bagian dari Republik Indonesia Serikat RIS, berdasarkan HUKUM dan Konvensi Internasional! RI kemudian mencaplok NIT (Negara Indonesia Timur). RMS dan seluruh wilayah RIS dan dibenarkan, sementara RMS dituduh sebagai pemberontak terhadap "Negara Kesatuan Republik Indonesia yang belum ada"! Yang ini adalah gambaran tentang "Supremasi FATWA" dan bukan "Supremasi HUKUM" yang tidak ada dan tidak dimiliki NKRI! Karena itu, ujilah segala sesuatu dengan bertanya, "HUKUM atau FATWA?"

Salam Sejahtera!

JL.
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kariu67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044