RE: MENGAPA 25 APRIL BUKAN 4 DESEMBER?
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Salam Sejahtera!
Basudara beta semua,
Kekeliruan umum dari interpretasi terhadap pernyataan "Kemerdekaan adalah hak
segala bangsa" (Mukadimah UUD 1945) adalah bahwa penjajahan yang diharamkan
itu hanya terjadi antara satu bangsa terhadap bangsa lain, dan karena itu
kemerdekaan harus dinyatakan di dalam ujud sebuah negara berdaulat. Dalam hal ini,
mungkin sebaiknya pernyataan di atas diubah menjadi "Kemerdekaan adalah hak
semua manusia", supaya di dalamnya tercantum larangan terhadap segala bentuk
penindasan, baik antar bangsa maupun antar warga sebangsa. Dilihat dari kedua sisi
di atas, apakah antar bangsa atau intern suatu bangsa, Maluku adalah propinsi yang
"terjajah" dan hal ini dimulai sejak aneksasi RMS oleh RI (TNI), Mei 1950. "Karena
kamu RMS, hasil lautmu kami kuras ke Jakarta!" Karena kamu RMS, hutanmu kami
gunduli untuk Jakarta!" "Karena kamu RMS, tahan adatmu kami jadikan tanah
negara!" "Karena kamu RMS, karier di dalam negara ini harus dibatasi!" Dan, yang
dikembangkan saat ini adalah, "karena kamu RMS, desamu harus diserahkan kepada
Laskar Jihad atau dihancurkan!"
Oleh sebab itu, "Maluku harus memperjuangkan kemerdekaannya"! Merdeka untuk
lepas dari penjajahan Jakarta! Merdeka untuk menjadi tuan di rumah sendiri! Merdeka
untuk tidak diperbudak Jakarta atas kejahatan Jakarta sendiri! Merdeka untuk
membela diri dan menegakkan kebenaran historisnya yang sudah diputar-balikan
selama 52 tahun, oleh Jakarta! Merdeka di dalam bentuk sebuah negara berdaulat
atau tidak, itu soal kedua! Untuk itu, jika NKRI adalah negara berdaulat dan
terhormat, maka dia harus menyatakan kebenarannya dengan berhadapan dengan
FKM secara formal dan melalui badan formal (hukum), nasional dan atau
internasional. Negara berdaulat dan terhormat tidak akan bermuka munafik untuk
menggunakan perusuh dan kekuatan TNI untuk menghancurkan Maluku lewat
"tuduhan-tuduhan di dalam obrolan selepas sholat Jumat"!
Keinginan saya untuk ikut berbicara bagi Maluku, terkabul ketika membaca tayangan
MASARIKU NETWORK, 25 April 2001, dengan judul: "MENGAPA 25 APRIL BUKAN
4 DESEMBER?" Ada beberapa hal di dalam analisa Masariku yang ditulis oleh Sdr.
"DQM" ini, perlu saya komentari, baik berupa sanggahan ataupun berupa pengayaan.
Pada akhirnya, saya akan mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan yang juga
merupakan judul tayangan Masariku Network di atas.
Izinkan saya memulai komentar saya dengan mengutip satu kalimat dari tayangan
Masariku sebelumnya, yang kalau tidak salah, diucapkan oleh Ustadz Polpoke
sebagai berikut:
POLPOKE: "Dan hal ini dikembalikan kepada Pangdam XVI Pattimura dan Kapolda
Maluku, apakah mereka mampu menangkap dan mengungkapkan pelaku dibalik
peristiwa hari ini. Kalau tidak mampu maka sangat kasihan saudara-saudara Kristen
lain yang tidak tahu menahu soal FKM dan RMS".
JOSHUA: Sebuah pernyataan yang berisi dua hal yang tidak berhubungan. Pangdam
Pattimura, atau siapapun yang akan saya singgung kemudian, hanya akan berani
untuk mengungkapkan pelaku pengibaran Bendera RMS, tetapi terlalu pengecut
untuk mengungkapkan kebenaran tentang RMS. Oleh sebab itu, pengetahuan rakyat
Maluku tentang kebenaran RMS tidak akan tergantung dari yang dilakukan Pangdam
Pattimura terhadap para pengibar bendera RMS. Rakyat Maluku dan seluruh bangsa
Indonesia harus tahu tentang kebenaran sejarah bahwa RMS tidak memberontak,
tetapi dirampok RI, dan melalui FKM, hal itu akan terwujud! Saya adalah salah satu di
antara mereka yang pada awalnya sempat tertipu dan tidak tahu tentang kebenaran
sejarah Maluku!
DQM: Beberapa pertanyaan lalu muncul. Kalau FKM bukan RMS, lalu apa? Apakah
benar FKM merupakan representasi dan pelurusan nilai-2 sejarah? Dari manakah
diperoleh legitimasi itu? Kemudian, siapakah yang menjadikan FKM instrumen
internasional untuk meluruskan apa yang disebut sebagai ketetapan internasional?
Mengapa FKM menolak diidentikan dengan RMS?
JOSHUA: Pertanyaan saya untuk Sdr. DQM, "jika seorang pengacara membela
seorang penjahat di pengadilan, apakah pengacara tersebut harus identik dengan
penjahat?" "Siapakah yang memberikan legitimasi kepada Sdr. DQM untuk
mempertanyakan FKM? Mengapa Sdr. DQM belum pernah mempertanyakan
legitimasi Laskar Jihad yang mengangkat diri sebagai pejuang integrasi NKRI? Jika
anda bertanya "apa legitmasi Joshua Latupatti untuk melakukan apa yang dia
lakukan sekarang?", maka jawabnya adalah "kebenaran"! Kebenaran itulah yang
memberikan legitimasi bagi saya untuk memuaskan nurani saya dan rakyat Maluku
yang haus akan kebenaran!
DQM: Yang buruk dari pengadilan AM tempohari adalah saksi ahli yang diminta AM
untuk memberi kesaksian yang meringankannya, ditolak pengadilan. Pengadilan itu
sendiri nampaknya tidak ingin membuka sejumlah tabir yang bisa memperjelas
sejumlah petunjuk tentang politik penaklukan Negara terhadap masyarakat Maluku.
JOSHUA: Itulah sebabnya, Sdr. Manuputty hanya dihukum karena melanggar
maklumat PDSD-Maluku. Seperti yang sering saya katakan, mengangkat istilah
"makar atau separtis" secara formal seperti di dalam sebuah persidangan, akan
menuntut penjelasan dan pembuktian formal tentang istilah tersebut. Inilah yang
selalu dihindari oleh Pemerintah NKRI dan TNI/POLRI, sebab mereka tidak punya
dasar kebenaran hukum untuk ‘mengseparatiskan’ RMS! Sejauh ini, sebutan
"makar atau separatis" hanya bisa digunakan di dalam suasana rusuh, melalui
berbagai pernyataan sepintas atau melalui "obrolan selepas sholat Jumat! Oleh sebab
itu, Maluku harus tetap rusuh! Perusuhan dan tuduhan separatisme akan bekerja
timbal balik, di dalam usaha menhilangkan jejak "RI sebagai perampok RMS", dan
untuk "mencengkeram dan menghabisi Maluku" Untuk memahami situasi sekarang
ini, kita harus bisa melihat "skenario pelumpuhan Maluku" secara keseluruhan.
Sebagian dari skenrio ini sudah dengan jelas diuraikan oleh dua sosiolog/antropolog
masing-masing GJA. Aditjondro, PhD, dan Dr. Th.A. Tomagola, dan sepinmtas akan
kita bahas kemudian!
DQM: Di pihak lain, FKM sendiri menggunakan kesempatan lemahnya tuntutan jaksa
dipengadilan AM itu untuk bersikap ambivalen. FKM ingin merayakan HUT proklamasi
RMS dengan jalan mengibarkan bendera RMS, tetapi tidak bersedia tampil
mempertanggungjawabkan "patriotisme" mereka.
JOSHUA: Pada hemat saya, justeru pernyataan Sdr. DQM yang terlihat ambivalen!
Sdr. DQM tidak memberikan penjelasan, apa yang dia maksudkan dengan sikap
ambivalen dari FKM. Dia keliru, jika mengandalkan kalimat kedua di atas, sebagai
keterangan terhadap istilah ambivalen yang dia gunakan, sementara apa yang dia
inginkan FKM lakukan untuk memenuhi persyaratan ‘patriotisme’, juga tidak jelas.
Jika dia berkeinginan agar FKM balik menuntut Pemerintah berdasarkan ‘kebenaran
RMS’, pertanyaannya sederhana saja, "Apa itu mungkin?" Jangankan bersedia ke
pengadilan, untuk menjawab surat FKM saja, Pemerintah NKRI sudah ompong
sebelum ditinju!
DQM: Masyarakat justru mereka tampilkan mereka sebagai bumper politik dan
hukum bagi mereka. Akhirnya, FKM nampak senang menampilkan diri sebagai
penjara masa lampau, sekaligus tawanan masa depan bagi masyarakat. Setidaknya
hal ini dikesankan oleh dokumen-2 pengadilan AM.
JOSHUA: Kita sedang berada di dalam suasana "konflik rekayasa politik di dalam
baju agama". FKM muncul karena rasa tidak puas atas perlakuan Pemerintah NKRI
terhadap Maluku, di dalam kerusuhan yang berkepanjangan, dengan tujuan
perjuangan untuk mengembalikan kedaulatan Maluku bagi rakyat Maluku,
Salam-Sarani. Perjuangan FKM adalah perjuangan politis, dan karena itu, berbagai
surat pernyataan kepada Pemerintah NKRI sudah dilayangkan, dan malah kunjugan
ke DPR RI sudah dilakukan FKM. Pemerintah NKRI bukannya memberikan jawaban
politis, tetapi "jawaban fisik" terhadap seluruh rakyat Maluku, terutama yang Kristen!
FKM mendasarkan tuntutan mereka pada hukum dan konvensi Internasional,
sementara Pemerintah NKRI memakai UUD 1945 yang tidak bersesuaian dengan
tuntutan FKM (UUD 1945 TIDAK berlaku pada tahun 1950). Di sampung itu,
Pemerintah NKRI menggunakan Laskar Jihad untuk meresahkan dan memobilisasi
umat Islam seluruh Indonesia untuk menghindar dari berhadapan secara politis formal
dengan FKM. Pertanyaannya sekarang adalah, "Siapa sebenarnya yang menjadikan
massa/rakyat sebagai tumpuan politik dan hukum?" Jika Sdr. DQM sadar, dia dan
saya berserta seluruh rakyat Maluku, juga berada di dalam penjara masa lalu dan
tawanan masa depan, sebagai korban penghapus kejahatan Pemerintah RI/NKRI!
DQM: Menyongsong 25 April 2002 Terhadap hal ini, FKM Jakarta diketahui mengirim
berita penahanannya ke berbagai pihak sambil minta perhatian atas indikasi
pelanggaran HAM. Meskipun ini bukan kasus pelanggaran HAM Berat, perhatian
untuk kasus ini dimintakan juga dari lembaga-2 internasional.
JOSHUA: Pertanyaan untuk Sdr. DQM! "Apakah ada batasan tentang pelanggaran
HAM besar dan kecil, dan apakah ada aturan yang mengatakan bahwa pada batas
tertentu baru seseorang diizinkan untuk meminta perhatian pihak Internasional?"
Apakah Indonesia terkenal karena pelanggaran HAM besar, kecil, ataukah karena
pelanggaran HAM saja?" Siapakah yang memberikan legitimasi kepada Sdr. DQM
untuk mengklasifikasi pelanggaran HAM?"
DQM: Mereka (nagara asing, jl) tentu paham bahwa kasus yang secara resmi
dikategorikan Pemerintah sebagai masalah separatis di dalam negeri Indonesia,
barulah kasus Aceh dan Papua. Meskipun ada usaha pihak-pihak tertentu untuk
mencuatkan sifat separatis pada masalah Maluku, sampai saat ini belum ada
keputusan politik yang memastikan masalah Maluku sebagai masalah separatis.
Apakah aksi pengibaran bendera RMS nanti akan mengarah pada tersedianya
momentum bagi penyifatan separatisme, kemungkinan itu tak bisa ditampik.
JOSHUA: Pernyataan politis formal Pemerintah NKRI tentang "separatisme" akan
sangat tergantung pada apa yang Pemerintah KNRI miliki sebagai dasar legal untuk
itu, dan apa yang dimiliki oleh pihak disebut separatis. Setahu saya, Aceh dan Papua
tidak termasuk RI, menurut Konvensi Meja Bundar. Yang saya tidak tahu adalah,
apakah masalah Aceh (GAM) dan Papua (OPM) sudah pernah diselidiki dan
dipublikasi secara luas atau tidak. Lain dengan RMS yang sudah pernah menjadi
"negara" melalui Proklamasi 25 Apri 1950, yang segala sesuatu tentang itu sudah
diteliti dan disebar luas, dan malah pernah menjadi laporan pelanggaran HAM ke
PBB. Karena itu, Pemerintah NKRI harus berpikir dua kali untuk mengseparatiskan
Maluku secara politis formal, jika tidak ingin memasukkan kepala sendiri ke bawah
pisau guillotine. Kasus Papua misalnya, akan jadi lain, seandainya "skandal
manipulasi Pepera" sudah diseliidiki dan dibuktikan! Karena itu, entah sudah berapa
kali Pemerintah NKRI mengklaim masalah Maluku sebagai ‘masalah dalam negeri’
(saja)!
DQM: Isu Separatis. Tanpa diduga sebelumnya, Ketua Umum PB NU, KH Hasyim
Muzadi yang beberapa hari lalu pergi ke Ambon, mengatakan kepada Pers menjelang
akhir minggu lalu bahwa akar konflik Maluku adalah adanya gerakan separatis. Saya
pribadi sangat terkejut membaca statement ini, setidaknya karena saya mengetahui
dua hal. Pertama, beliau tidak punya kapasitas sebagai penyelidik konflik Maluku dan
bukan untuk itu beliau pergi ke Ambon;
JOSHUA: Kita bertemu dengan masalah ‘legitmasi’ lagi kan Sdr. DQM? Tolonglah,
jangan menambah beban FKM dengan masalah ini, sebab jika yang lain bisa
meligitimasi diri dan kelompoknya untuk "menyebar dusta", mengapa FKM tidak
boleh melakukannya untuk mengangkat kebenaran? Sekarang ada baiknya kita
singgung sedikit masalah "skenario pelumpuhan Maluku", di dalam kaitannya dengan
sikap KH. Hasyim Muzadi (tolong catat bahwa saya tidak menidentikkan sikapnya
sebagai sikap keseluruhan komunitas NU). Sikap KH. Hasyim Muzadi ini tidak bisa
dilepaskan dari hasil kunjungan silaturahmi "Ketua Laskar Jihad Ahlusunnah Wal
Jamaah Jaffar Umar Thalib, kepada Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), di
Kantor PB NU, Jl. Kramat, Senin 11 Maret 2002 (Kompas, 12 Maret 02). Pernyataan
yang diberikan wakil PBNU waktu itu adalah bahwa "PBNU menerima laporan
keadaan Poso dan Maluku, ‘yang belum diketahui’ mereka, dari Ja’ar Umar
Thalib!"
Ada dua hal yang aneh di dalam silaturahmi ‘mendadak’ ini! Pertama, peristiwa di
seputar konspirasi politik untuk menjatuhkan KH. Abdurahman Wahid dari kursi
Kepresidenan RI, mendatangkan reaksi keras dari warga NU, yang nampak di dalam
pembentukan ‘pasukan berani mati’. Laskar Jihad tampil sebagai pendukung Amin
Rais cs. dengan menentang dan menantang pasukan NU tersebut. NU sendiri
memiliki Pengurus Wilayah Maluku, yang melibatkan orang Maluku yang tahu persis
tentang situasi Maluku. Anehnya, PB NU masih memerlukan keterangan tambahan
dari Jafar Umar Thalib, yang kita kenal sebagai penganjur kebencian dan permusuhan
antar umat beragama dengan memanipulasi ayat-ayat Al Quran.
Dari sana, kita bisa melihat sisi agama yang digunakan di dalam "skenario
pelumpuhan Maluku", yang tidak terlepas dari keinginan-keinginan untuk
"mengislamkan Maluku", sebagai bagian kecil dari pengislaman Indonesia dan
seluruh Asia Tenggara. Hal ini jangan dilepaskan dari kemungkinan pemanfaatan Asia
Tenggara sebagai basis baru bagi Al Qaeda. Skenario ini menggunakan Laskar Jihad
sebagai ‘Islamic fighting squad’ dan agar mereka bisa memperoleh legitimasi untuk
merajalela di Maluku sebagai pembela integrasi NKRI, FKM dan RMS harus
dikristenkan terlebih dahulu, kemudian diseparatiskan. Dari sana mereka bergerak
untuk menjungkir-balikkan kenyataan tentang akar kerusuhan Maluku, dari skema
‘konspirasi politis berbungkus agama’ ke skema ‘separatis Kristen’. Setelah mendapat
dukungan dari Ormas Islam militan, Muhammadiyah dan MUI, maka keikutsertaan
PBNU akan melengkapi kekuatan eksekutif bagi pelaksanaan skenario tersebut.
Bebasnya Jafar Umar Thalib dari pelanggaran hukum positif Indonesia dengan
memberlakukan Syariat Islam di Maluku, adalah indikator kuat ke arah pelumpuhan
Maluku melalui sisi agama, atau secara kasar dapat saya katakan ke arah
"pengislaman Maluku"! Hal ini sejalan dengan "makalah khusus" di dalam Konferensi
HMI-Maluku, beberapa saat sebelum kerusuhan pecah, yang berjudul "Perjuangan
belum selesai sebelum Maluku diislamkan"! Pengislaman Maluku sebagai salah satu
akar konflik Maluku, akan aman terlindung di balik isu-isu separatis Kristen, seperti
yang disebarkan KH. Hasyim Muzadi! Kita akan menyinggung skenario ini dari sisi
lain juga, tetapi perlu dicatat bahwa pengislaman Maluku tidak hanya bisa terjadi
karena seluruh rakyat Maluku diislamkan, tetapi juga karena "seluruh warga Kristen
Maluku berhasil dihabiskan atau diusir dari Maluku"!
DQM: Seakan-akan telah dirancang, menyusul pernyataan Muzadi, Kapuspen TNI,
Safrie Syamsudin menyatakan kepada pers bahwa 1800 prajurit TNI di Ambon siap
memberantas separatisme. Kemudian seorang pimpinan Muhammadyah mengimbau
warga Muhammadyah di Maluku supaya tidak melibatkan diri dalam gerakan
separartis.
JOSHUA: Inilah sisi lain dari "skenario pelumpuhan Maluku" (dan pengislaman
Maluku), TNI/POLRI! Nanti kita akan soroti beberapa tokoh TNI/POLRI yang terlibat di
dalam skenario ini. Sekarang coba kita fokuskan perhatian kita pada sepak-terjang
Pemerintah NKRI. Jika kita bisa mengingat kembali, akan terbayang wajah Amin Rais
(Ketua MPR) dan Hamzah Haz (Wakil Presiden sakarang dan ketua PPP) di depan
Tablich Akbar, Monas, Jakarta, yang mendukung dan merestui infiltrasi laskar Jihad
ke Maluku, atas nama "solidaritas Islam", walaupun untuk itu, mereka harus
menentang perintah Presiden NKRI, KH. Abdurahman Wahid! Segera setelah
menduduki Kursi Wakil Presiden RI, Hamzah Haz menerima silaturahmi Laskar
Jihad, yang dipimpin langsung oleh Jafar Umar Thalib di istana Wapres RI. Yang
sangat membingungkan adalah ‘pesan’ Wapres agar Laskar Jihad menjadi
pemrakarsa damai di Maluku! Sekarang, untuk melindungi dirinya dari kejahatan yang
dilakukan Laskar Jihad atas nama "solidaritas Islam" yang dia dukung dan restui di
depan publik, Hamzah Haz mulai mengarang tembang baru bagi Kerusuhan Maluku,
dengan nada dasar ‘separatisme’ (Kompas 26 April 02, Suara Karya, 27 April 02).
Tidak ketinggalan, gerombolan berdasi pelahap uang rakyat yang diberi nama DPR
RI, ikut menyanyikan lagu yang sama, untuk menutupi kemandulan mereka di dalam
mengurus warga Maluku yang mereka klaim sebagai "rakyat Indonesia", dan
kejahatan mereka di dalam mendukung dan membela Laskar Jihad. Respons DPR RI
terhadap pengaduan Laskar Jihad tentang kasus "Komando Siluman Wijaya II" (yang
melibatkan desertir Perwira dan prajurid TNI/POLRI) yang dibungkus di dalam apa
yang mereka sebut sebagai "Kasus Batumerah Berdarah", dan menghindarya DPR RI
dari kunjungan FKM, memperlihatkan keikutsertaan DPR-RI di dalam skenario
pelumpuhan dan pengislaman Maluku! Untuk mempertebal polesan bedak tidak
bersalah, anggota DPR RI, Ibrahim Ambong, lalu ikut menyanyikan nada
‘separatisme’, sambil menyamakan RMS dengan DII-TI dan Permesta. Ibrahim Ambong
tentunya hanya akan mampu menggunakan istilah "tumpas", tanpa mendasarinya
dengan ‘hukum dan konvensi internasional yang berlaku saat itu"! Tidak ketinggalan,
para Ketua DPR RI seperti Soetardjo Soerjogoeritno dan Akbar Tanjung (Suara Karya,
27 April 02), ikut memainkan nada ‘separtisme’, tanpa dukungan ‘partitur’ hukum
dan konvensi internasional yang berlaku saat itu. Lebih parah lagi, kemunafikan
Pemerintah NKRI ini dikumandangkan setelah KH. Hasyim Muzadi menjadi ‘pendeta
laskar Jihad’ untuk membaptis RMS dan FKM menjadi ‘kelompok separatis
Kristen’. Mengapa begitu? Karena Pemerintah NKRI mempunyai DUA HUTANG
DARAH terhadap Maluku yang tidak mungkin mereka bayar, yaitu "aneksasi RMS
dengan melanggar Konstitusi RIS dan menghianati Konvensi Internasional (Linggarjati
sampai Meja Bundar)" dan "penindasan, pengerukan kekayaan selama 52 tahun serta
penumpahan darah rakyat Maluku melalui kerusuhan rekayasa poltik berbaju agama",
atau "kerusuhan rekayas politik yang disusupi oleh kepentingan agama-pengislaman
Maluku!"
DQM: Terakhir, muncul pernyataan dari Menko Kesra, Jusuf Kalla, bahwa pimpinan
agama sudah menyatakan apa yang menjadi akar konflik Maluku. Pernyataan terakhir
ini menjelaskan beberapa hal yang tersembunyi sebelumnya. Dengan menghormati
integritas pak Ketua Umum PB NU, harus dikatakan bahwa kali ini beliau terjebak
dalam skenario Jusuf Kalla yang membiayai perjalanan para pemimpin agama itu ke
Ambon. Jusuf Kalla rupanya sedang mengalami kemacetan tertentu dalam
mendorong implementasi kesepakatan Maluku di Malino. Sejumlah sumber
menyebutkan bahwa kemacetan itu terjadi karena sejumlah "dukungan" mengendur,
setelah speed Jusuf Kalla dinilai terlalu cepat, melebihi speed yang mereka gunakan.
Secepat-cepatnya speed Jusuf Kalla untuk mengimpelemtasi Malino, dia tampak tak
mungkin melakukan semua hal yang diinginkannya, Dia tak kunjung memperoleh
dukungan Presiden dalam bentuk pemberian dasar-2 yuridis bagi kesepakatan Malino
yang merupakan formula moral itu. Bahkan dalam hal penggunaan 300 milyar yang
digembor-gemborkannya sebagai bantuan untuk Maluku itu, belum satupun korban
konflik Maluku yang merasakannya.Dia juga nampak terhambat memperoleh
pengertian Menko Polkam serta Panglima TNI untuk memperlancar back-up terhadap
langkah-2 Jusuf Kalla dari komponen-2 yang dikuasai mereka. Hal ini yang juga
berperan dalam memperlambat pembentukan badan independen untuk
meng-investigasi sejumlah hal "misterius" yang telah diidentifikasi di Malino. Yang
terakhir, sumber-2 kami menyatakan bahwa saat ini ada tim kecil dari Kantor
Presiden RI memasuki Ambon dengan tugas menyelidiki kesalahan-2 langkah Jusuf
Kalla dan akibat-2nya sebagaimana nampak di tengah masyarakat. Semua ini
setidaknya membuat Jusuf Kalla menjalankan taktik baru yang diharapkan dapat
menyelamatkan diri dan ketokohannya dalam kasus perundingan Malino untuk
Maluku. Ia tampak memilih cara menjawab keinginan TNI untuk tetap memperoleh
legitimasi keberadaan pasukan dalam jumlah besar di Ambon, di samping peran-2 TNI
lainnya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan konflik Maluku. Taktik
yang agak kasar inilah yang menyata dalam wujud pernyataan Muzadi mengenai
separatisme.
JOSHUA: Saya sejujurnya tidak terlalu percaya pada Yusuf Kalla, mengingat sepak
terjang Keluarga Kalla di dalam konspirasi pengusiran warga Tionghoa dan
penindasan terhadap warga Kristen di Makassar, yang dimotori oleh Haji Kalla! Tetapi
saya harus jujur mengatakan apa yang saya pikirkan sekarang, bahwa Yusuf Kalla
sedang dijadikan sebagai ‘wayang’ oleh Pemerintah NKRI, yang sebanranya tidak
menginginkan adanya perdamaian di Maluku, atau paling tidak, tidak menghendaki
perdamaian yang terlalu cepat bagi Maluku. Maluku yang sehat dengan rakyat yang
pandai dan sadar akan diri mereka, tentulah akan menuntut pelunasan ‘dua hutang
darah’ dari Pemerintah NKRI, seperti yang dilakukan oleh FKM saat ini. Mereka
akan berusaha sedemikian rupa, agar kerusuhan ini berlanjut dan rakyat Maluku yang
hilang akal karenanya akan berbalik menyalahkan FKM dan RMNS untuk itu! Yang
penting, wajah buruk Pemerintah NKRI terlihat manis di depan dunia internasional,
karena ‘make-up Malino II’! Megawati sendiri, walaupun mungkin memiliki darah
‘nasionalisme’ bapaknya, tidak memiliki fondasi pemerintahan yang cukup kuat untuk
mengekang gerakan milisi Islam seperti Laskar Jihad, dan karena itu harus selalu
menimang TNI/POLRI sembil mengelus dada karena korupsi dan pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh TNI/POLRI!
DQM: Dengan demikian, jika aksi pengibaran bendera RMS berlangsung, aksi itu
telah diberi tempat yang layak dalam skenario separatisme yang secara sistematis
dibangun sekarang. Rencana sistematis ini telah memperlihatkan buahnya berupa
pembentukan opini nasional. Selain aksi-2 pembentukan opini ini akan terus
berlangsung, gerakan FKM yang diniatkan berlangsung tanpa kekerasan fisik itu
hendak diarahkan menjadi aksi dengan kekerasan, baik kekerasan politik maupun
kekerasan fisik.
JOSHUA: Menurut Suara Karya, 27 April 02, sosiolog UI, Thamrin Amal Tamagola
mengatakan, kerusuhan kembali terjadi karena kelamahan PDSD-Maluku dan aparat
keamanan. Saya lebih cenderung mengatakan hal ini sebagai suatu "kesengajaan"
untuk dikatikan dengan kasus pembakaran Kantor Gubernur Maluku, menjadi suatu
"drama separatis Kristen" yang disutradarai oleh FKM/RMS (padahal naskah aslinya
ditulis oleh Jakarta).
Setelah sekian lama bungkam, Makassar kembali bergolak dengan demo-demo dan
pernyataan anti separatis RMS, seperti yang dinyatakan oleh Dr.HM. Saleh
Putuhena, mewakili Kerukunan Warga Maluku (KWM) di Makasar (Kompas, Makasar
Sabtu 27 April 02). Situasi ini mungkin cukup baik bagi kita untuk menelusuri
keterlibatan POLRI di dalam "skenario pelumpuhan dan pengislaman Maluku"!
Kebangkitan mendadak di Makassar seperti ini tidak akan terlepas dari keberadaan
Kapolda Sulawesi Selatan, "Firman Gani", yang juga lolos dari
mempertanggung-jawabkan keterlibatan bawahannya di dalam Komando Siluman
Wijaya II, ketika menjabat Kapolda Maluku. Sama beruntungnya dengan Firman Gani,
para desertir POLRI/TNI seperti Ricky Paays, Saragih dan Nurdin Nontji, tidak pernah
diperhadapkan dengan hukum dan keadilan. Sebelum meninggalkan Maluku, Firman
Gani terlebih dahulu "mengungsikan Kol. Pol. Rusdi Hasanussy", Ketua MUI-Maluku,
ke Ternate. Kol. Pol. Rusdi Hasanussi adalah satu-satunya Ketua MUI daerah yang
berstatus perwira Polri/TNI aktif dan yang meresmikan Posko dan Tim Advokasi Idul
Fitri Berdarah di Al Fatah, 13 hari sebelum kerusuhan pecah, yaitu pada tanggal 6
Januari 1999. Orang yang sama ini kemudian tertangkap basah ketika membayar dan
memasok 60-an orang "laskar Muhammadiyah Makassar" ke Ambon, tetapi luput dari
semua tuntutan hukum! Yang tidak bisa diabaikan di dalam hal ini adalah "keakraban"
yang terjalin antara Edi Darnadi, asisten Kapolda Jatim, dengan Laskar Jihad, ketika
mereka menyusup ke Maluku melalui Suranaya, Jawa Timur. Edi Darnadi kemudian
ditunjuk sebagai Kalpoda Maluku, dan menyempatkan diri untuk bersilturahmi dengan
jafar Umar Thalib di dalam tahanan Mabes Polri, sebelum melanjutkan perjalanan ke
Maluku! Sepak terjang Edi Darnadi tidak akan terlepas dari dukungan dan restu "Da’i
Bachtiar" sebagai Kapolda Jatim waktu itu. Karena itu, sikap Kapolri yang miring ke
arah Laskar Jihad bukanlah sesuatu yang perlu diherankan lagi. Dari sini, lahir juga
isu-isu dan pernyataan-pernyatan liar tentang "separatisme Kristen di Maluku"! Saru
hal yang perlu dicatat adalah bahwa "keseluruhan tokoh POLRI yang saya sebutkan
di atas, beragama Islam!"
DQM: Selain itu, ada dua orang yang tertangkap membawa granat ketika kelompok
orang (sekitar 100 orang) berdemo ke Mapolda memperotes penahanan AM. Mereka
ternyata adalah anggota Kopassus (yang pasti disebut sebagai desertir). Sayangnya
mereka dilepas setelah diserahkan ke tangan Panglima Kodam. Untung saja, granat
itu tidak diledakan. Tapi pertanyaan kritisnya adalah apakah kelompok yang berdemo
mendukung AM itu tidak tahu bahwa mereka sedang disusupi ? Banyak diantara kita
yang berpengalaman mengorganisasikan demonstrasi pasti tahu bahwa dalam
pengorganisasian sebuah demo tanpa kekerasan, keharusan mencegah penyusupan
anasir-2 asing ke dalam massa yang melakukan demonstrasi adalah hal mendasar.
Hal ini tampak dilalaikan oleh dr Noke Mailoa yang diinformasikan memimpin demo
pro AM ke Mapolda minggu lalu. Atau, jangan-2 mereka tahu sedang "dikawal" oleh
oknum Kopasus tetapi tidak tahu bahwa kedua oknum itu membawa granat, dan bisa
tertangkap. Tertangkapnya dua orang itu bisa jadi sejenis rahmat untuk FKM, tapi
bisa juga menjadi sejenis kutuk.
JOSHUA: Kasus penyusupan "baju hijau" di dalam demo sipil seperti ini, juga bukan
barang baru di Ambon. Demo mahasiwa Maluku di dalam menyokong gerakan
reformasi nasional, akhirnya berubah menjadi ajang unjuk kebrutalan anggota TNI,
yang disebabkan oleh penyusup "baju hijau" di antara mahasiswa dan massa
pendukung. Rustam Kastor, mantan Danrem Maluku, lalu memanipulasi keadaan ini
sebagai "test case bagi pemberontakan RMS kedua, dengan merusuhkan Maluku.
Sayangnya, sementara Sdr. DQM menampilkan diri sebagai yang berpengalaman di
dalam mengkoordinasi demo, dia tidak mengatakan ‘apa yang harus dilakukan dr.
Noke Mailoa untuk mencegah penyusupan seperti itu. Bagi saya, kutukan itu tidak
akan menimpa FKM, tetapi keseluruhan rakyat Maluku, terlebih jika Sdr. DQM tidak
menyibak sampai pada kedalaman keterlibatan TNI/POLRI di dalam hal ini, tetapi
malah mempertanyakan FKM!
DQM: Isu separatisme yang umumnya dilekatkan pada komunitas Kristen akhirnya
akan effektif berfungsi sebagai pemelihara dan pelanggeng kondisi konflik, baik konflik
internal di kalangan komunitas Kristen maupun konflik antar komunitas Islam dan
Kristen.
JOSHUA: Hampir seluruh komponen bangsa Indonesia yang sudah ditipu dan
memang lebih senang ditipu karena menguntungkan mereka (jika Maluku bisa
diislamkan), lalu ikut-ikutan menyanyikan lagu ‘separatisme’ dengan nada dasar
FKM/RMS. Saya sendiri tidak bisa meraba sampai dimana tingkat ‘intelektual dan
moral (Muslim) dari Nurcholis Madjid, yang mengaku diri ‘moderat’, ketika
cendekiawan ini ikut mengekor dengan sebutan ‘separatis’, tetapi tidak
memperlihakan kecendekiawannya di dalam ‘bukti yuridis formal’! Saya mohon
maaf, tetapi ibarat yang paling tepat untuk keadaan ini adalah "ketika seekor kambing
mengembik, maka kambing sekampung ikut mengembik pula!"
Berbagai media masa juga tidak ketinggalan di dalam hal ini, malahan ada beberapa
yang terlihat sangat bernafsu untuk mengseparatis-Kristenkan Maluku. Salah satunya
adalah Koran TEMPO, seperti di dalam tayangan tanggal 27 April 02. Di sana
dikatakan bahwa tindakan FKM ditujukan kepada kelompok Islam untuk memancing
mereka agar meneruskan konflik di bawah restu nasional dengan menyerang
kelompok Kristen. Tempo kemudian menolak pernyataan ketidak-terlibatan pihak
Gereja, karena FKM sendiri berada di antara Gereja. Bagaimana Tempo bisa
mengaku "sulit untuk mencari niat luhur di balik pengibaran bendera republik boneka
yang setelah didirikan 52 tahun silam hanya sempat berusia bulanan itu", sementara
mereka sendiri tidak tahu apa itu niat luhur dan tidak memilikinya? Kebusukan akhlak
Tempo terlihat di dalam pemutar-balikan bahwa FKM melibatkan Pemerintah NKRI ke
dalam pusaran babak baru dari konflik Maluku, padahal juteru Jakarta yang
menunggangi FKM untuk menciptakan image "separatis Kristen", agar berbagai
kejahatan Nasional atas Maluku tidak terbongkar ke permukaan! Yang paling busuk
dari Tempo adalah pemaksaan terhadap warga Kristem Maluku untuk membuktikan
ketidak-terlibatan mereka, dengan ungkapan "Kalau perlu, mereka sendiri yang
menangkap dan menyerahkan para pendukung gerakan separatisme RMS untuk
diadili menurut hukum dan perundang-undangan republik ini". Apakah media yang
katanya berkualitas seperti Tempo, memang terlalu kerdil untuk mendukung istilah
‘separatis’ yang mereka alamatkan ke warga Kristen Maluku, secara ilmiah? Tanyakan saja
pada Tempo, kira-kira UU republik yang tidak punya legitimasi (jika mampu bantah
yang ini juga) yang mana yang bisa digunakan untuk menseparatiskan RMS pada
tahun 1950? Yang mana sebenarnya yang merupakan "negara boneka" akan saya
perlihatkan kemudian! Sebelumnya, kita kembali sejenak ke Sdr. DQM.
DQM: Hal ini sesungguhnya bisa dicegah, jika diingat bahwa Gereja Protestan
Maluku telah berulang-ulang mempertegas sikapnya menolak separatisme dalam
bentuk apapun.
JOSHUA: Saya tahu persis bahwa Gereja, khusunya GPM tidak terlibat, baik dengan
RMS ataupun FKM. Inilah akibat dari sikap GPM yang pengecut dan penjilat,
semenjak tahun 1950. Akibatnya GPM sendiri meludahi kebenaran dengan "menolak
separatis" tanpa memberikan penjelasan siapa yang separatis dan apa buktinya
legalnya (hukum)! Bukankah jika GPM tidak pengecut dan menjilat Jakarta, GPM
bisa menyatakan "Kami menolak separatisme, dan karena itu akan menolak RMS,
jika Jakarta bisa memberikan dasar hukum yang membuktikan bahwa RMS memang
memberontak terhadap RI!" Jangan lupa, kalian juga PGI, bahwa Israel dihantam
hukuman wabah penyakit, karena dosa Daud! Apa kalian bisa mencuci tangan seperti
Pilatus sambil berkata, aku bersih terhadap darah dan nyawa warga separatis
Maluku? Mengapa GPM tidak sekalipun berani mangatakan bahwa RMS adalah milik
Salam-Sarani Maluku?
Jika FKM dan RMS bertumpu pada warga Kristen Maluku saja, mengapa Pangdam
Pattimura, Brigjen TNI Mustopo mengatakan bahwa (Kompas, 26 April 02) "setiap
pelaku yang kedapatan telah mengibarkan bendera benang raja RMS baik di
komunitas Kristen maupun MUSLIM seperti yang terjadi Kamis (25/4) itu tetap
ditindak tegas"?
Sementara itu, laskar Jihad mencoba mengandalkan ‘pakar sejarah mereka, DRS.
M. NOUR TAWAINELLA (Ambon, LaskarJihad.or.id, 23 April 02) bahwa "pihak Islam
Maluku di dalam RMS adalah dusta besar"! Dia kemudian mengakategorikan
keterlibatan Muslim Maluku di dalam RMS sebagai suatu jebakan: "Pada tahun 1949,
RMS berhasil menjebak raja-raja Islam seperti Raja Tulehu, Raja Pelaw, dan Raja
Asilulu serta tokoh gereja dan pemuda Kristen yang tergabung dalam Sembilan
Serangkai" Pertama, jika Gereja dan pemuda Kristen juga ikut terjebak, mengapa
RMS harus "dikristenkan"? Kedua, apakah istilah ‘terjebak’ itu cocok untuk Raja
Tulehu, Ibrahim Ohorella, yang kemudian melaksanakan tugasnya sebagai "Menteri
Sosial RMS", dengan mengirimkan bahan makanan dari Tulehu untuk menyokong
pelaksanaan Proklamasi 25 April 1950, ataukah istilah "persaudaran Pela-Gandong"
lebih masuk akal? Inilah kalau yang hanya memiliki kemampuan merusuh dan
menjarah, berlagak jadi ilmuan untuk menipu umat Islam dan mendiskreditkan umat
Kristen!
Baptisan paksa atas FKM dan RMS belum seru, jika REPUBLIKA tidak dilibatkan.
Mari kita analisa kontribusi Republika di dalam hal ini. Pada tanggal 28 April 02,
Republika menyatakan bahwa "Prajurit KNIL dan baret hijau yang terlibat
pemberontakan Andi Azis di Makassar, lantas dipindahkan Soumokil ke Ambon,
untuk mendukung proklamasi RMS" Apakah para seluruh prajurid KNIL pendukung
Andi Aziz di Makassar ‘beragama Kristen’? Dari sini, kita mendengar tentang
seorang komandan pasukan RMS yang cukup terkenal dengan sebutan "Sersan
Ohorella" (Muslim asal Tulehu)!
Dalam tayangan ini 28 April 02 dengan judul "Jejak Politik Pecah Belah", Republika
menyatakan bahwa "Republik Maluku Selatan (RMS) adalah sebutan bagi negara
yang diproklamirkan ‘bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur (NIT)’, Mr Dr Ch R
Soumokil", tetapi pada tanggal yang sama, Republika menyatakan di bawah judul
"Dua Bendera di Bumi Maluku", bahwa "Dibawah kepemimpinan Soumokil, ‘anggota
KNIL Belanda’, RMS melancarakan…." Dapatkah dibayangkan, bagaimana
rendahnya mutu inteligensia dan akhlak dari sebuah media massa andalan ICMI dan
yang katanya dibanggakan umat Islam ini?
Yang juga cukup menarik dari pernyataan ‘bekas jaksa agung Negara Indonesia
Timur (NIT)’ adalah bahwa pada masa itu, bisa terjadi bahwa NIT masih ada tetapi Mr
Dr Ch R Soumokil sudah tidak menduduki jabatannya lagi, atau Mr Dr Ch R Soumokil
tidak bisa menduduki jabatannya lagi karena NIT sudah tidak ada. Mana yang benar
tidak terlalu penting. Yang pasti, pada saat itu TIDAK ADA NKRI seperti sekarang ini!
Kuncinya ada pada pernyataan Republika (Jejak Politik Pecah Belah), bahwa
"Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) saat itu, mengutus tokoh Maluku, Dr
Leimena yang didampingi Ir Putuhena, Pelupessy, dan Rehata, 28 April 1950
melakukan pembicaraan dengan tokoh RMS. Tapi RMS menolak". Ini berarti pada
tanggal 25 April 1950, ketika RMS memproklamirkan diri sebagai Negara Merdeka,
RIS (Republik Indonesia Serikat) MASIH ADA! Terlepas dari keberadaan Republika,
apakah saya salah mengatakan bahwa TEMPO juga GOBLOK dan busuk? Apakah
RIS menggunakan UUD 1945? Lalu dengan hukum apa Pemerintah NKRI harus
mengadili pendukung FKM dan RMS, seperti yang kalian paksakan? Inilah sebabnya,
mengapa Pemerintah NKRI tidak punya nyali untuk menyatakan persoalan FKM
sebagai persoalan separatisme, di dalam bentuk pernyataan politis formal! Hal lain
yang perlu dicatat bahwa kebusukan Republika cs.di dalam menyebarkan isu
RMS-Kristen, terungkap dengan adanya "utusan RIS yang datang ke RMS" di atas?
Atau kalian masih mau bertebal muka untuk menipu umat dengan mengaku bahwa
"Leimena dan Rehatta adalah Muslim Maluku"? Mungkin pula kalian ingin
memberikan penjelasan bahwa "perubahan dari RIS menjadi NKRI, tidak bertentangan
dengan dasar hukum nasional dan internasional yang berlaku saat itu"? Pertanyaan
untuk TEMPO: "mana layak disebut negara boneka (tidak legitimit), RMS atau NKRI?
Tolong sampaikan jawabanya kepada Amin Rais dan Hamzah Haz, dll, dan jangan
lupa, Hasyim Muzadi juga!
DQM: Hal ini juga bisa dicegah seandainya Tim Investigasi Nasional segera dibentuk
sesuai keinginan perundingan Malino.
JOSHUA: Permainan Jakarta di dalam hal ini seharusnya tidak perlu dipertanyakan
lagi! Sementara Wapres, Hamzah Haz diberikan wewenang oleh Presiden untuk
menangani masalah Maluku, pembentukan Tim Investigasi Independen Nasional (TIIN)
dengan bumbu tambahan ‘non-Maluku’, ditunda dengan alasan Presiden sedang ke
luar negeri! Setelah sang Presiden bolak-balik luar dan dalam negeri, ternyata TIIN itu
tak kunjung dibentuk. Tim yang seharusnya menindaklanjuti Kesepakatan Maluku
(Malino II) dengan temuan-temuan tentang akar permasalahan Maluku, ternyata
"menakutkan Pemerintah NKRI". Pemerintah NKRI sepertinya tidak ingin agar akar
permasalahan Maluku diungkit ke atas sebab nantinya bukan RMS yang akan masuk
kedalam lobang hukuman tetapi Pemerintah NKRI sendiri. Ketakutan Pemerintah
NKRI sebenarnya sudah diperlihatkan sebelumnya, ketika "Wiranto" membentuk Tim
mandul-11 pimpinan Suaidi Marasabessy, yang tidak kunjung melahirkan hasil
investigasi tentang akar kerusuhan Maluku.
Setelah PDSD-Maluku dipanggil mendadak ke Jakarta, Mohammad Saleh
Latucoinsina disuruh untuk membentuk Tim Investigasi Khusus untuk menyelidiki
kelompok-kelompok penentang Malino II, dan menunda sweeping senjata. Padahal,
yang dibutuhkan dan direkomendasikan oleh Malino II bukan Tim buatan
PDSD-Maluku, tetapi TIIN non-Maluku! Tak lama setelah itu, warga Kristen Ambon
dipancing dengan ‘bom berkekuatan peledak tinggi’ untuk kecewa dan mengamuk,
sementara "tim penyulut api" dipersiapkan untuk menunggangi aksi massa dengan
membakar Kantor Gubernur Maluku. Anggota KOPASUS yang lancing dan bocor
mulut, tidak dapat menahan diri untuk tidak menyatakan ‘tujuan’ dari skenario
Jakarta ini, dengan menendang kerumunan warga Kristen Ambon sambil
mengumpatkan isitilah "Kristen RMS"! Pemerintah NKRI kemudian membantu
mempropagandakan rencana pengibaran Bendera RMS ke seluruh pelosok negara,
tanpa berusaha mencegahnya, supaya kerusuhan baru mendapatkan pengesahannya
sebagai "perlawanan rakyat terhadap separatisme Kristen", dan pertunjukan wayang
Tim Invesigasi pimpinan Johny Tangkudung dapat digelarkan di Maluku! Tindakan
"biadab" di Desa Soya, Ambon, adalah sebagian dari "tujuan Skenario Jakarta pasca
Malono II"!
Otak dibalik "skenario Jakarta" ini adalah Menkopolkam, Susilo Bambang
Yudhoyono, yang saat ini memperoleh inspirasi dari "Sudi Sialalahi", sekretaris
Mekopolkam yang bekas Pangdam Brawijaya, Jawa Timur, yang juga adalah
pelindung dan pelancar gerakan infiltrasi Laskar Jihad dengan ‘perlengkapan perang
standar TNI, dari Surabaya ke Maluku. Susilo Bambang Yudhoyono lalu meminjam
mulut Presiden NKRI (Sinar Harapan, 26 April 02) untuk menyibukkan dirinya dan
PDSD-Maluku dengan urussn pelaku kerusuhan (baru) di Maluku, supaya
pembentukan TIIN non-Maluku kembali tertunda, dan kalau bisa, terlupakan. Kasus
peledakan di depan Rumah Makan Nelayan dan Pembakaran Kantor Gubernur mulai
raib di udara secara perlahan, sementara istilah "Kristen separatis" memenuhi
halaman-halaman surat kabar dan mengantung di bibir durjana dari pejabat
Pemerintah NKRI dan Perwira TNI/POLRI.
Permainan Jakarta melalui Susilo Bambang Yudhoyono dapat dibaca dari
pernyataanya (Sinar Harapan, 26 April 02), "Selain itu, perlu dilakukan investigasi
untuk menegaskan tekad pemerintah agar tidak ada lagi tindakan-tindakan seperti
itu." Investigasi demi investigasi, masalah peledakan dan pembakaran Kantor
Gubernur Maluku tetap menguap, sementara Tim Invesigasi Independan Nasional
non-Maluku manjadi semacam ‘janji tinggal janji’! Suslil Bambang Yudhoyono
memang mencoba berlagak memperlihatkan sisa-sisa keprajuridannya dengan
berkata, " kejadian ini merupakan ujian bagi PDS Maluku dan semua unsur pimpinan
di Ambon menyangkut ketegasan, keberanian dan langkah-langkah yang tepat",
padahal Jakarta sendiri ketakutan terhadap TIIN yang direkomendasikan Malino II.
Untuk menambah keruwetan di Maluku, Susilo bambang Yudhoyono lalu merelatifkan
lagi masalah kerusuhan baru dengan membuka kemungkinan di kedua belah pihak.
Padahal, FKM sudah ada ditangannya dan mengaku bertanggung jawab, sehingga
proses peradilan sudah bisa dilakukan! Tetapi Susilo Bambang Yudhoyono tidak
yakin akan mampu mengsepratis-Kristenkan FKM lewat proses formal, dan untuk
menghindarinya, dia berkilah untuk menyelidiki dan menangkap para perusuh di pihak
Muslim. Apakah setelah pembom dan pembakar kantor Gubernur Maluku tidak
diketahui rimbanya, PDSD-Maluku dengan boneka Tangkudungnya alan mampu
menyelidiki dan menangkap pelaku tindakan "biadab" di Desa Kristen Soya? Untuk
sementara, Jakarta bisa bernapas lega dan memikirkan skenario berikutnya bagi
Maluku, mumpung Laskar Jihad masih ada di Maluku!
DQM: Lebih lanjut, hal ini bisa dicegah jika Jusuf Kalla tidak over-confidence dengan
perundingan Malino dan langkah-2 implementasinya. Saya pribadi merasa
berkepentingan dengan perundingan Malino, karena ia adalah prakarsa penghentian
kekerasan pertama yang dilakukan oleh Pemerintah RI. Dia juga bisa menjadi salah
satu tolok ukur untuk menilai apakah Pemerintah serius menangani konflik
masyarakat demi kemaslahatan masyarakat sendiri atau karena Pemerintah
berkepentingan membangun suatu penilaian politik yang menguntungkan dirinya,
sebagaimana telah dikemukakan dalam berbagai komentar oleh banyak orang di milis
ini.
JOSHUA: Saya sudah mengatakannya, "Malino II adalah pupur murahan Pemerintah
RI untuk mempertontonkan wajah cantik kepada dunia internasional"! Bahwa rakyat
Maluku Salam-Sarani sudah lelah berkelahi dan siap untuk baku-bae, adalah sebuah
kenyataan yang mengharukan bagi Maluku, tetapi merupakan momok besar bagi
Pemerintah NKRI!
DQM: Proklamasi dan Pembubaran RMS. Isu separatisme yang kembali mengemuka
saat ini adalah isu yang juga dimunculkan pada tiga bulan pertama kerusuhan
(Januari-Maret 1999). Saat itu Rustam Kastor menjadi tokoh terkemuka yang
melancarkan tuduhan bahwa RMS dan gerakan separatis berada di balik konflik
Maluku. Lalu sejumlah media cetak yang terbit di Jakarta bergotong-royong
mengusung isu ini ke permukaan, sebagai salah satu masalah pokok konflik Maluku.
JOSHUA: Hal ini ternyata membawa hikmah tersendiri bagi saya, di dalam
memperlihatkan Konspirasi Politik Penguasaan Maluku, dengan sisipan "pengislaman
Maluku". Walaupun isu-isu RMS sudah digelar si Rustam Kastor sejak awal konflik
(1999), infiltrasi Laskar Jihad yang dihalalkan Amin Rais dan Hamzah Haz pada tahun
2000, masih menggunakan alasan "solidaritas Islam"! Baru pada penghujung
kerusuhan, menjelang Malino II, isu-isu separatis Kristen RMS kembali dimunculkan
untuk melanggengkan konflik. Berbicara tentang penyebaran isu-isu RMS di dalam
kerusuhan Maluku, kita tidak boleh mengabaikan kontribusi Suaidi Marasabessy
(masih Pangdam Wirabuana waktu itu)! Kita lanjutkan di bawah nanti!
DQM: Jika isu ini sejak awal dikehendaki sebagai pelanggeng konflik Maluku dan
telah ditolak oleh berbagai komponen masyarakat Maluku, di dalam dan di luar
Maluku, mengapa FKM harus "membiarkan dirinya" menjadi sarana pemunculan
kembali isu ini? Mengapa seakan-akan FKM hanya berkepentingan dengan
eksistensi dirinya dan perannya sehingga nampak melalaikan pertimbangan tentang
implikasi-2 politik yang bakal ditanggung masyarakat Maluku akibat perbuatannya?
Jangan disalahkan jika ada orang yang sangat kesal terhadap ulah FKM sehingga
mengkategorikan FKM sebagai sebuah avonturisme politik.
JOSHUA: Pertanyaan lagi buat Sdr. DQM! Menurut Sdr. DQM, tuntutan FKM tentang
keabsahan RMS itu benar atau tidak? Jika tidak benar, silahkan buktikan
(hitung-hitung anda nanti akan akrab dengan Susilo Bambang Yudhoyono). Jika
benar, tolong Bantu FKM dengan usulan "tindakan apa yang harus diambil oleh
FKM", supaya rakyat Maluku tidak kena dampak politiknya! Sudah saya jelaskan di
atas, bahwa Jakarta akan berpesta-pora, jika rakyat Maluku dapat digiring untuk
menyalahkan FKM. Bukankah Laskar Jihad dan Tempo, antara lain, sudah menuntut
agar warga Kristen Maluku melakukan hal itu sebagai bukti penolakan terhadap
RMS? Jika hal itu sampai terjadi, justeru Sdr. DQM dan saya adalah orang pertama
yang harus disalahkan karena bukannya memberikan penjelasan dan membangkitkan
kewaspadaan warga Kristen terhadap akal bulus adu domba tersebut, tetapi sibuk
mempertanyakan tindakan FKM!
DQM: Kajian mengenai konflik Maluku berdasarkan data-data konflik dan analisis
teori konflik mampu menunjukan bahwa yang berkepentingan dengan konflik Maluku
antara lain adalah TNI. Ada kelompok-2 TNI yang bekerja secara sangat tertutup.
Kelompok-2 inilah yang berkepentingan atau turut berkepentingan dengan
perundingan Malino, dengan penolakan hasil atau delegasi Malino, dengan kehadiran
dan peran Laskar Jihad dalam konflik Maluku, dengan FKM dan dengan reaksi-2
anarkhis masyarakat sebagaimana hendak dikesankan oleh terbakarnya kantor
Gubernur Maluku.
JOSHUA: Kepentingan TNI (dan Polri) sudah dijelaskan secara panjang lebar oleh
GJA. Aditjondro PhD dan Dr. Th.A. Tomagola. Mereka menggunakan Laskar Jihad
sebagai pembuat dan atau pemeriah kerusuhan, supaya mereka bisa tetap berfungsi,
memperluas kembali cengkeraman teritorialnya, melanjutkan usaha-usaha yang
berbau korupsi dan manipulasi kekayaan negara di bawah kedok yayasan, dan
mempertahankan dwifungsi mereka, walau secara samar dengan masuknya mantan
jenderal di berbagai bidang pemerintahan. Permainan kotor TNI sudah kelihatan sejak
awal kerusuhan dengan pelanggaran teritorial Kodam Trikora oleh Suaidi
Marasabessy dan pasukan Kostrad Wirabuana, Makassar, (sebagian diterbangkan
dari Jakarta pada tanggal 7 Januari 1999), atas perintah Wiranto! Suaidi Marasabessy
yang Pangdam Wirabuana, akhirnya bercokol di Maluku di dalam struktur Komando
Bantuan Pemulihan Keamanan dan fungsi yang tidak jelas, sementara Pangdam
Trikora, Jayapura, Amir Sembiring, hanya dijadikan pengiring Wiranto dan penonton
setia. Bukan hanya sampai di situ, sebagian satuan TNI/Polri yang ditugaskan di
Maluku, malah tidak mengikuti instruksi Komando di lapangan, tetapi menjalankan
instruksi dari komandan dari asal satuan masing-masing.
DQM: Sumber kami yang dapat dipercaya menyatakan, sedikitnya terdapat 1
batalyon Kopassus dari grup Sandi Yudha (teror-anti teror) yang merembes masuk
dari pulau-2 di luar p. Ambon, sedikitnya dalam kurun waktu 6 bulan terakhir ini.
Kekuatan ini terpisah dari jumlah Kopasus yang masuk secara resmi dan bertugas
Ambon. Kekuatan ini hanya memperoleh komando dari Jakarta dan tidak
bertanggungjawab kepada siapapun di Ambon.
JOSHUA: Kehadiran KOPASUS secara diam-diam dan diluar struktur Komando
Bantuan Pemulihan Keamanan, sudah tercatat sejak awal dan selama kerusuhan.
Menurut informasi, sebagian dari mereka adalah mantan algojo pembantai rakyat
Timor Lorosae dan ada yang sudah dipecat. Keterlibatan KOPASUS di dalam
berbagai penyerangan Laskar Jihad ke desa-desa Kristen, juga bukan bahan cerita di
seputar Malino II. Mereka terlihat ketika memberondong Mapolsek Perigi Lima dan
sekitarnya, dengan mengincar Mery Rikumahu, salah seorang saksi yang menangkap
basah Kol. Rusdi Hasanussi, Ketua MUI-Maluku, ketika memasok Laskar
Muhammadiyah Makassar ke Maluku. Mereka juga terlihat memberikan kontribusi di
dalam penghancuran markas Brimob Tantui yang berbuntut penjarahan gudang
senjata dan perlengkapan Brimob. KOPASUS hanya tampil sebagai prajurid Sapta
Marga sejati, ketika bergabung bersama pasukan elit TNI yang lain, Marinir dan
Paskhas, di dalam Batalyon Gabungan (YonGab).
DQM: Kemudian, ada NR, perwira TNI/AD dari Kantor Wapres yang hadir di Malino
kemudian masuk ke Ambon sebelum demo damai tanggal 3 Maret 2002 berakhir
dengan kekacauan. Ada Jenderal Suaedi Marasabessy yang selalu meyakinkan
orang bahwa ditangannya atau dia mengetahui adanya dokumen-2 tentang RMS, tapi
tidak pernah membeberkannya untuk ditangani secara hukum dan politik. Padahal dia
pernah memimpin Tim 19 bentukan Panglima TNI, Wiranto, yang konon hendak
menyelesaikan konflik Maluku. Ada juga Murad, seorang perwira polisi yang
membongkar rumah sebuah keluarga di Silale/Waihaong dan menyatakan
menemukan dokumen tentang RMS. Sampai kini tidaklah jelas apakah itu dokumen
politik atau dokumen sejarah.
JOSHUA: Suaidi Marasabessy dan Wiranto memang sudah ‘berduet’ untuk
melagukan kidung separatis RMS sebagai akar konflik Maluku. Tetapi mereka bedua
jadi sumbang dan akhirnya menghentikan konser murahan itu, setelah Danrem 147
Pattimura, Kol, KA. Ralahallu, yang merasa paling berwewenang terhadap pemulihan
keamanan Maluku, berhasil menyita sekitar 40 lembar bendera RMS di Al Fatah dan
sekitar 220 lembar di daerah Muslim Galunggung! Jika "proyek Suaidi-Wiranto" ini
berhasil, sudah lama konflik Maluku bermandikan isu separatis Kristen RMS melalui
penemuan bendera RMS di berbagai wilayah Kristen. Tidak terbatas di Maluku,
Laskar Jihad melalui Ayip Syafruddin malah membawa RMS ke Poso, dengan
mengklaim warga Kristen Poso sebagai turunan Alf’uru, sehingga perlu mendapat
komentar Susilo Bambang Yudhoyono untuk menolaknya!
Satu hal yang sering membingungkan orang banyak adalah ‘peran ganda’ dari
seseorang atau suatu badan tertentu. Jika Menkopolkam, Susilo Bambang
Yudhoyono berbicara, kita akan harus berpikir keras untuk tahu, apakah dia mewakili
kepentingan Pemerintah NKRI atau TNI. Ketika berkomentar pada peluncuran buku
munafik MUI, "Merajut Damai di Maluku", Susilo Bambang Yudhoyono lebih mirip
"pelindung Laskar Jihad" daripada wakil Pemerintah. Sama halnya ketika Susilo
Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa "Laskar Jihad harus tetap di Maluku untuk
menjaga perimbangan kekuatan"! Berbicara tentang NR, perwira TNI/AD dari Kantor
Wapres yang hadir di Malino kemudian masuk ke Ambon sebelum demo damai
tanggal 3 Maret 2002 berakhir dengan kekacauan, apakah ada yang tahu apakah
pihak Pemerintah (Wapres hamzah Haz) atau TNI/Polri yang diwakilinya? Kesulitan
yang sama terlihat juga di level bawah ketika sebuah desa Kristen seperti Soya
diserang. Apakah penyerangnya dari TNI/Polri atau dari Laskar Jihad? Pada
dasarnya, kita tidak harus terbawa hanyut di dalam arus "siapa ini dan siapa itu",
yang sengaja diciptakan untuk mengalihkan perhatian orang dari pokok masalah.
Panglima TNI, Widodo, misalnya memberikan jawaban tentang "senjata organik
curian yang masih beredar" untuk menjawab pertanyaan tentang "kemungkinan
keterlibatan TNI (KOPASUS) di dalam penyerangan ke desa Kristen Soya, Ambon".
Padahal sebagai seorang Panglima TNI, Widodo seharusnya melihat kemungkinan
keterlibatan tersebut dari segi kesigapan, penguasaan taktis medan, dan "kebiasaan
selama ini" (penyusupan di beberapa daerah di Ambon, penyerangan desa Kristen
Alang Asude di pulau Seram dan Waiselang di pulau Buru), yang ditandai oleh
banyaknya "desertir TNI/Polri" yang terlibat tetapi bebas dari hukum.
DQM: Sukar dibantah bahwa 25 April telah menjadi "hari penting" baik demi
keuntungan Pemerintah, keuntungan para avonturir politik di tengah konflik Maluku
maupun keuntungan FKM. Apa yang tersisa bagi rakyat Maluku. Sebagai rakyat,
yang tertinggal hanyalah sebuah kisah yang jarang dikemukakan orang di tengah
situasi seperti sekaang ini.
JOSHUA: Harus saya tekankan bahwa dengan atau tanpa FKM rakyat Maluku akan
tetap dilindas oleh Jakarta berdasarkan isu-isu RMS. Di sana tidak tertutup
kemungkinan bahwa situasi Maluku malahan lebih buruk dari sekarang ini.
Pengebirian karier anak Maluku dan pengerukan kekayaan alam Maluku Selama 52
tahun, minus masa konflik, tidak lepas dari pemutarbalikan kebenaran dan
pemanfaatan isu-isu dusta tentang RMS. Saya tidak akan mengulangi komentar saya
tentang keuntungan yang dipetik Pemerintah NKRI (termasuk para politisi), sebagian
atau seluruh jajaran TNI/POLRI, tetapi saya ingin agar Sdr. DQM memberikan jabaran
rinci tentang keuntungan yang diperoleh FKM. Pernyataan-pernyataan yang tidak
lengkap dan menimbulkan kecurigaan seperti ini, akan sangat bermanfaat di
tangan-tangan jahat dari mereka-mereka yang ingin mengadu-domba FKM dengan
warga Kristen Maluku.
Salah satu pemetik keuntungan terbesar dari propaganda 25 April (Separatis
RMS-Kristen) adalah Jafar Umar Thalib dan gerombolan berimannya! Pada Tabliq
Akbar, Jumat 26 April 02, Jafar Umar Thalib menghasut Muslim untuk melakukan
perang terhadap RMS, dan menolak adanya rekonsiliasi. Dia menggunakan alasan
"cinta NKRI", sehingga dia lupa bahwa hal yang sama tidak mungkin dimiliki oleh
teroris internasional dari Malaysia (KMM), Pilipina (MNLF), dari Afganistan, Arab, dll,
yang diundangnya untuk membunuh dan merampok rakyat Maluku. Dia sendiri adalah
turunan Arab Yaman! Ketika hendak menginfiltrasi Maluku, Jafar Umar Thalib
mengaku menunggu "fatwa" dari seorang ulama di Yaman"! Apa hubungan ulama
Arab ini dengan rasa cinta NKRI? Coba perhatikan di sekeliling, sebagian besar dari
"kepala perusuh" di negara ini adalah "keturunan Arab"! Lalu Arab-Yaman yang tak
pernah belajar jujur ini mengangkat diri menjadi pembela integrasi nasional yang
berjalan di jalan Allah, sementara gerombolannya merusuh, menjarah dan merampok,
hingga kuburan orang juga dibongkar dan dijarah. Bagaimana orang munafik seperti
ini bisa dikekang nafsunya, sementara Hasyim Muzadai dari NU dan yang katanya
cendekiawan Muslim macam Nurcholis Madjid saja, terlalu pengecut untuk berkata
benar? Bagaimana belatung dungu dari Yaman ini bisa dibelenggu, jika NKRI sendiri
tidak mampu menegakkan hukum dan kemanusiaan, karena terlalu korup, munafik
dan bejad? NKRI sendiri tidak mampu membuktikan keabsahan dirinya secara formal,
dan terlihat terlalu kecil untuk FKM dalam hal ini! Pemerintah NKRI, TNI/POLRI dan
Laskar jihad memang "setali tiga uang" dalam segala hal, terutama di dalam hal
degradasi moral!
DQM: Seorang saksi pelaku yang masih hidup bertutur tentang saat-2 terakhir
Soumokil, pemimpin tertinggi RMS hingga tahun 1963. Setelah Pemerintah Jakarta
dan TNI mengalami kesulitan menangkap Soumokil yang berada di Gunung Sembilan,
Seram, Gubernur M. Padang lalu meminta Ketua Sinode GPM, Pdt. Th. Pattiasina
untuk menyurati Soumokil agar beliau menyerah. Surat itu lalu dibuat Pdt. Thom
Pattiasina dan disampaikan kepada Soumokil di persembunyiannya. Sejak itu,
Soumokil lalu memberi isyarat akan menyerah. 3 Desember 1963, Soumokil
kemudian "dijemput" turun ke Masohi.
JOSHUA: Artinya sudah ada "dua Thomas" yang berjasa di dalam hal menyerahnya
Dr. Ch. Soumokil, yaitu Pdt. Thomas Pattiasina dan Thomas Nussy (Kristen) yang
menjadi ‘guide’ bagi TNI ke arah markas RMS di pedalaman hutan Seram. Tapi
bagaiman Jafar Umar Thalib dan gerombolan berimannya bisa punya cukup moral
untuk memahami hal ini, sementara para hipokrit seperti Hasyim Muzadi dan
Nurcholis Madjid masih saja bergairah untuk membaptis RMS dan FKM?
Karena apa yang sudah diperoleh dari penelitian mengatakan bahwa RMS tidak
bersalah ketika memproklamirkan kemerdekaannya, berarti GPM telah salah alamat
dengan "Surat Tobat" mereka yang ditujukan kepada Dr. Ch. Soumokil. GPM
mungkin benar di dalam hal pertimbangan kesengsaraan rakyat Maluku waktu itu.
Tetapi pada akhirnya, sengsara sementara pada masa RSM diganti oleh "sengsara
berkepanjangan di tangan RI dan NKRI"! Apakah kita, rakyat Maluku, bukannya
sedang memetik buah pohon yang ditanam GPM?
DQM: Tanggal 4 Desember 1963, setelah Soumokil tiba di Ambon, beliau lalu
menandatangani pernyataan tentang pembubaran RMS. Lalu mengapa 25 April
menjadi lebih penting ketimbang 4 Desember 1963??
Salam,
dqm
JOSHUA: Coba saya tanyakan Sdr. DQM lagi! Apakah itu mungkin jika Presiden
Xanana Gusmao menandatangani ‘surat pembubaran Timor Leste’? Yang
mendirikan dan membubarkan sebuah negara itu presidennya atau rakyatnya? Jika
RMS berdiri di atas landasan hukum dan konvensi Internasional, maka RMS hanya
bisa dibatalkan di atas dasar hukum yang sama dan atas kemauan seluruh rakyatnya
atau yang merepresentasikan seluruh rakyat, tetapi bukan presiden. Apakah 4
Desember itu melambangkan "keputusan/mufakat rakyat Maluku", atau lebih
menyerupai semacam "pernyataan menyerah pada agresor, dari seorang presiden"?
Singkat kata, "25 Arpil 1950 memperlihatkan perwujudan kesesuaian keinginan dan
hak azasi manusia dengan aturan masyarakat internasional", sementara "4
Desember 1963 merepresentasikan pelanggaran dan penghianatan terhadap aturan
nasional dan internasiol, serta penindasan atas keinginan dan hak azasi manusia"!
Oleh sebab itu, Pemerintah NKRI hanya berani mengecat 25 April 1950 dengan warna
separatis secara informal, tetapi mati-matian menghindar dari 4 Desember 1963 yang
akan tetap menghantui mereka hingga saat ini! Apakah level konspirasi jahat akan
meningkat ke DOM?
Hanya Tuhan yang tahu!
Salam Sejahtera!
JL.
|