KOMPAS, Selasa, 30 April 2002
[TAJUK RENCANA] Keadaan Darurat Militer Diperlukan untuk
Ambon?
SERANGAN orang-orang bertopeng ke Soya, desa di perbukitan, 15 kilometer dari
Kota Ambon, menewaskan 12 orang, melukai berat 12 warga, merusak
perkampungan, dan meluluhlantahkan gereja tua.
Hari ini, 12 warga tewas, kemarin, 2, kemarinnya lagi, 12, dan begitulah seterusnya,
sejak konflik komunal di Ambon berkecamuk 3 tahun lalu. Angka-angka itu bukan
sekadar angka.
Angka-angka itu penderitaan, penderitaan ayah kehilangan istri dan anaknya,
kehilangan suami atau anak-anaknya, saudara, kerabat, dan handai taulan. Hidup
adalah hidup, jiwa adalah jiwa. Penderitaan adalah penderitaan. Biar berulang-ulang.
KONFLIK Ambon yang belakangan ini dipicu balon-balon bendera RMS dan
berpuncak ganas di Desa Soya menggugat dan memperolok. Tempatnya di
perbukitan. Kebakaran oleh mortir dan bom itu masuk akal jika tampak dari Kota
Ambon.
Bukan lagi seakan-akan, tetapi tragedi Soya di atas perbukitan Ambon itu
menyampaikan gugatan: lihatlah konflik masih saja setiap kali meletus di Maluku.
Kemauan baik, hasil baik, Kesepakatan Malino II, diperolok dan diuji. Mana yang
lebih kuat, efektif, dan unggul, kemauan serta upaya konstruktif, damai, rekonsiliasi
atau kekuatan destruktif, pecah-belah, provokasi.
AMBON bukan saja Ambon atau bukan saja Maluku. Ambon adalah Indonesia. Ya,
Ambon adalah kita, Indonesia. Berkonflik dan bergejolak terus di sana, pengaruh dan
dampaknya ke kita di Indonesia.
Apalagi konflik itu konflik komunal. Berarti menyentuh dan menantang fundamen
perikehidupan Indonesia, yang majemuk, tetapi juga yang toleran, yang teruji
sepanjang masa. Yang diperbarui oleh Indonesia Merdeka. Yang pernah kita
sumbangkan kepada pergaulan hidup antarbangsa.
Apalagi konflik itu, betapapun kecilnya, bernuansa balon RMS. Kedengarannya aneh.
Bukankah seharusnya ide dan cita-cita itu telah surut dan mati karena di sumbernya,
yakni Belanda, sejak lama aus dan habis.
Ataukah barangkali lebih sebagai ungkapan protes terhadap kondisi yang belum juga
kunjung pulih secara kokoh di Ambon.
PEMERINTAH dan masyarakat agar berkonsentrasi pada usaha memasyarakatkan
Kesepakatan Malino II. Tepat langkah melibatkan semua pihak dalam musyawarah,
termasuk pihak-pihak yang katanya kemarin ini belum menyetujui Kesepakatan
Malino II.
Kata orang, to the utmost, sampai batas sebatas-batasnya. Tidak kenal menyerah
dalam mengupayakan kesepakatan damai. Dalam memasyarakatkan kesepakatan.
Dalam menindaklanjuti dengan rekonsiliasi. Kembali kepada khittah Indonesia,
kebersamaan, toleransi, persaudaraan dalam keragaman dan kemajemukan.
Langkah tidak berhenti di sana. Akan diperiksa lebih jauh, apa akar, latar belakang,
serta kasus-kasus permasalahan dan konflik komunal itu. Diupayakan bersama
solusinya. Dan tentu saja dengan cara yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Perkembangan zaman itu justru amat sangat sejalan dengan yang diperlukan untuk
menyelesaikan konflik komunal. Konflik komunal adalah konflik antarkelompok atau
komunitas penduduk oleh perbedaan sosial, ekonomi, suku, agama, keturunan.
Abad 21 memberikan obat mujarab. Yakni konsep dan resep pembangunan
masyarakat madani, masyarakat kewargaan, civil society.
BERAGAM acara kita kenal untuk menjelaskan apa civil society itu, apa masyarakat
madani itu. Ada (Benyamin Barber) yang menjelaskan sebagai "a place for us",
tempat untuk kita, ruang untuk kita.
Siapakah kita di sini? Justru masyarakat warga, warga yang beragam itu, sepakat
membangun "a place for us", tempat bersama. Untuk menegaskan maknanya,
dibedakan "a place for us" sebagai tempat ketiga. Dua tempat lainnya ialah negara
dan pasar.
Tim pemrakarsa dan penyelenggara musyawarah dan mufakat Malino II membantu
warga di Ambon membangun kembali "a place for us", tempat baru untuk semua
warga dan semua komunitas.
Letupan dan ledakan kekerasan baru di Ambon tidak boleh menyurutkan pendekatan
upaya solusi damai. Sebab itulah konsep dan resep yang sejalan dengan pembaruan
serta penyegaran perikehidupan berwarga alias pembangunan masyarakat madani.
TENTU saja, dari setiap kali, munculnya lagi konflik dan kekerasan, kita, pemerintah,
aparat, publik juga belajar. Bahwa kecuali proses Malino II belumlah selesai, konflik
dan kekerasan juga disebabkan oleh pihak-pihak yang tidak menghendaki solusi
damai.
Pengalaman menunjukkan, setiap kali ada pihak-pihak yang mengail di air keruh atau
sengaja membuat air tetap keruh. Logis, jika karenanya, harus disertai sikap
waspada, tindak preventif bahkan langkah represif.
Sikap dan langkah itu sudah dilakukan. Maka disepakati berlakunya Pemerintah
Darurat Sipil. Diperkuat hadirnya aparat ketertiban dan keamanan Polri, dibantu oleh
pasukan TNI.
Pengalaman dan perkembangan, termasuk kekerasan di Desa Soya, Ambon,
mendesakkan lagi pertanyaan. Jangan-jangan, Pemerintah Darurat Sipil tidak
memadai untuk mengamankan Kesepakatan Malino II di Ambon.
AGAR dipertimbangkan secara serius, ditempuhnya kebijakan dan langkah yang lebih
efektif. Langkah itu ialah ditingkatkannya keadaan Darurat Sipil ke keadaan Darurat
Militer.
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|