KOMPAS, Jumat, 5 April 2002
Selembar "Booklet" dan Zona "Netral" yang Hilang
JANGAN dulu. Kami akan perbanyak karena ini tinggal satu-satunya," sergah Kepala
Dinas Pariwisata Maluku Ny PA Titaley Pupella saat menolak untuk memberikan
booklet pariwisata Maluku bersampul kuning yang dicetak dalam edisi bahasa Inggris.
Selasa (2/4) siang, dalam perbincangan dengan Kompas, secara panjang lebar
Titaley menerangkan prospek industri pariwisata Maluku. Dengan meminta maaf
karena ruangan yang sempit, sembari tersenyum Titaley menyebutkan, "Namanya
numpang. Tapi, kalau sudah aman, kantor kami pasti lebih bagus."
Saat itu dengan optimisme penuh, di ruangan 3 x 3 meter yang harus ditempati
bersama enam orang di lantai dua sudut kanan belakang Kantor Gubernur Maluku,
Titaley menyebutkan keyakinannya bahwa industri pariwisata akan segera pulih
seiring dengan semakin membaiknya kondisi keamanan di Maluku pasca-Perjanjian
Malino. Sebagai pengobat kecewa atas booklet yang tidak akan pernah diberikannya
itu, Titaley mengangsurkan buku 189 halaman yang dicetak dalam edisi luks berjudul
Maluku, Sea-lands of Bounty.
Adakah keindahan Maluku masih bisa diceritakan?
Pasalnya, Titaley tidak akan pernah mendapati booklet itu diperbanyak lagi.
Keesokan harinya, Rabu siang mulai pukul 12.00, bunga api perlahan merayap
membakar seisi kantor. Dipicu oleh ledakan bom di Jalan Yan Paays yang terletak
sekitar 500 meter dari Kantor Gubernur Maluku, massa yang kecewa bereaksi
kebablasan dengan kemudian menghancurleburkan seluruh kompleks kantor berlantai
tiga yang ditempati hampir seluruh dinas dan instansi teknis yang ada di Provinsi
Maluku.
Aparat keamanan menyebutkan, sumber api belum diketahui. Apa pun, yang pasti
bunga api yang menjilat-jilat merayap menghanguskan kayu kusen serta daun pintu
dan jendela, atau atap sirap gedung terkait, telah membuat panik para pegawai.
Mereka pun berhamburan menyelamatkan diri, melupakan hal-hal lainnya. "Begitu api
muncul, ketika para pegawai berebutan meninggalkan kantor, saya pun langsung
pulang," kata Titaley yang tidak bisa menyelamatkan sejumlah arsip, termasuk
laporan tahunan yang berisi review, yang sekaligus bisa menjadi landasan
pengembangan untuk tahun ini.
Ajudan Gubernur Maluku A Tamrin menceritakan, saat kebakaran, Gubernur Maluku
M Saleh Latuconsina sedang melakukan rapat rutin dengan staf Penguasa Darurat
Sipil Daerah (PDSD) Maluku di ruang kerjanya yang terletak di lantai dua. Laporan
pertama yang masuk, saat api mulai membakar Kantor Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Maluku, direspons Latuconsina beserta stafnya
dengan menyelamatkan seluruh arsip. Sembari memilah sendiri arsip yang harus
diselamatkan, Latuconsina juga memberi petunjuk ini-itu yang harus dibawa ke luar
ruangan.
"Pak Gubernur baru meninggalkan ruangan ketika api persis sudah ada di atas
kepala," kata Tamrin. Dibarengi staf yang membantu memberesi dokumen,
Latuconsina terlihat begitu sedih saat meninggalkan kantor. Mereka yang
menyaksikan Latuconsina meninggalkan bangunan yang hancur tersebut bahkan
sempat melihat tetes air mata di wajah gubernur yang dikenal berpembawaan halus
ini.
Api telah menghancurkan bangunan berlantai tiga itu. Prasasti peresmian Kantor
Gubernur Maluku yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri (waktu itu) Amir
Machmud tertanggal 17 Juni 1975 masih tertempel di dinding, persis di sisi kiri pintu
masuk utama. Prasasti penanda sejarah di atas batu marmer krem itu di atas bekas
bangunan megah tanpa penghuni.
***
SELEPAS kebakaran, sampai kemarin siang, beberapa pegawai masih terlihat di
bekas reruntuhan. Sebagian masih mengais-ngais di balik reruntuhan, mencari segala
sesuatu yang bisa diselamatkan. Seorang pegawai perempuan terlihat gundah saat
tangannya masih membawa segepok kunci brankas yang panas terpanggang api.
"Ada uang gaji yang beta simpan di brankas, ada yang di laci meja. Seng sempat
bawa," keluhnya.
Latuconsina menaksir, tidak kurang dari Rp 15 milyar kerugian yang harus ditanggung
akibat kebakaran tersebut. Itu pun belum terhitung alat-alat kantor dan juga seluruh
arsip yang musnah dilalap api. Namun, di luar itu, berapakah harga untuk semua
yang tidak bisa dihitung?
Kesibukan pun langsung merembet ke seluruh pegawai di lingkungan Provinsi
Maluku. Yang pasti, pegawai Dinas Pekerjaan Umum yang kini menerima ratusan
"tamu" untuk berbagi ruangan dengan pegawai lainnya langsung disibukkan untuk
membagi-bagi ruang dengan pegawai lain. Ruangan rapat langsung ditata selayaknya
ruang kerja seorang gubernur.
Ruang-ruang nyaman dan lega dipastikan sudah mulai berkurang karena "populasi"
yang meningkat dengan "habitat" yang terasa semakin sempit. Karena itu, wajar saja
jika kebanyakan pegawai langsung terlihat menjadi segan diajak berbincang. "Tulis
saja, biar seluruh Indonesia tahu betapa susahnya kami di Ambon sekarang ini," kata
seorang perempuan yang begitu sibuk mengangkat-angkat tumpukan kertas di sudut
lantai dua Kantor Dinas Pekerjaan Umum itu.
Bagi Titaley, menata kembali kerapatan antarpegawai bakal menjadi pekerjaan rumah
paling berat. Merunut ke belakang, ketika pecah kerusuhan, pegawai dari
masing-masing komunitas pun ikut-ikutan terbelah. Sebagian berkantor di wilayah
Nasrani, sebagian harus tergeser ke wilayah Muslim. Barulah ketika seluruh dinas
dikumpulkan di Kantor Gubernur Maluku, para pegawai itu bisa kembali berbaur.
Siapa pun pegawai bisa bebas melakukan aktivitas.
Mungkin, saat ini Titaley hanya kehilangan selembar booklet berbahasa Inggris yang
tinggal satu-satunya atau lembaran laporan tahunan yang semestinya jadi proyeksi
pengembangan di masa mendatang. Mungkin pula masih banyak pegawai yang harus
kehilangan berkas-berkas yang diletakkan di ruang kerja mereka.
Namun, seluruh masyarakat Ambon dan Maluku dipaksa harus merugi karena
mereka harus kembali mundur meninggalkan zona-zona pembauran yang
sebelumnya pernah terjadi. Ruang-ruang "netral" yang menjadi tempat pertautan dua
komunitas telah berkurang. Rasanya, ketika api yang membakar Kantor Gubernur
Maluku sudah padam, hanya kesedihan yang kini terus tertinggal. (Sidik Pramono)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|