KOMPAS, Rabu, 8 Mei 2002
Hamzah Haz Kunjungi Ja'far Umar 1,5 Jam
Jakarta, Kompas - Wakil Presiden (Wapres) Hamzah Haz hari Selasa (7/5) selama
satu setengah jam datang mengunjungi Panglima Laskar Jihad Ja'far Umar Thalib
yang tengah ditahan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri),
Jakarta. Meskipun menegaskan kunjungan dirinya adalah kunjungan pribadi-dan
bukan sebagai Wakil Presiden-Hamzah Haz mengaku membicarakan masalah
pemulihan keamanan di Ambon dengan Ja'far Umar.
Wapres datang dengan mobil Toyota Land Cruiser hijau metalik bernomor polisi B
8200 BS sekitar pukul 14.30 dan meninggalkan Mabes Polri pukul 16.20.
Kunjungan Wapres ini tak luput dari hasil pantauan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) dalam rapat rutinnya hari Selasa. Usai rapat, fungsionaris PDI-P
Arifin Panigoro kepada wartawan mengatakan, "Kedatangan Pak Hamzah itu tentu
akan mengundang berbagai pendapat karena Pak Hamzah Haz adalah Wakil
Presiden."
"Tapi kami sebagai partai akan melihat apa yang sudah terjadi, yakni penangkapan
dan menunggu pemeriksaannya, termasuk apa yang telah dilakukan oleh Pak
Hamzah Haz menengok Pak Ja'far. Tentu pertimbangannya banyak dan mungkin
beliau kenal pribadi sehingga ada pertimbangan kemanusiaan," kata Arifin Panigoro,
sebagai juru bicara hasil rapat PDI-P. Ia didampingi Wakil Sekjen PDI-P Pramono
Anung.
Sebelum memasuki mobilnya, Wapres sempat memberi penjelasan singkat soal
alasan dan tujuannya datang menemui Ja'far Umar Thalib, yang sejak 5 Mei menjadi
tahanan Mabes Polri. Panglima Laskar Jihad itu ditahan antara lain dengan sangkaan
melanggar Pasal 154 KUHP (menyatakan di muka umum rasa permusuhan,
kebencian, atau merendahkan Pemerintah Indonesia, yang ancaman hukumannya
penjara maksimal tujuh tahun).
"Ukhuwah Islamiyah, itu yang saya lakukan. Saya tidak melakukan intervensi apa
pun terhadap Polri yang sekarang ini melakukan penyidikan terhadap Ustadz Ja'far,"
katanya.
Ia menyatakan datang menemui Ja'far sebagai seorang Muslim, yang kebetulan
menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia menolak
kedatangannya itu dikaitkan dengan jabatan sebagai Wapres. "Sebagai Muslim wajib
mengunjungi (Muslim-Red) yang terkena musibah," katanya.
Hamzah Haz menyatakan, ia tidak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan
masalah hukum yang dihadapi Ja'far Umar atau partai, atau membuat kesepakatan
lain. "Yang saya bicarakan adalah bagaimana Ambon segera aman. Tidak ada
deal-deal. Yang kita inginkan, apa pun yang terjadi, bagaimana Ambon dapat
selesai," katanya, seraya menyatakan, agar apa yang telah terjadi dapat diambil
hikmahnya.
Siang hari, sebelum berangkat ke Mabes Polri, usai sarasehan sejarah nasional di
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Jakarta, Hamzah Haz tersenyum saat
ditanya wartawan mengapa sebagai Wakil Presiden ia mengunjungi seorang
tersangka aksi penghasutan dan penghinaan presiden. Hamzah hanya menjawab,
"Mengapa? Kan sesama Muslim, tidak salah kan. Orang ada musibah, kemudian
saya datang merasakan juga ya."
Kendati begitu ia menegaskan, penangkapan Ja'far Umar Thalib tentu didasarkan
pada data-data konkret. "Pemerintah tentu tidak mungkin melakukan intervensi.
Hanya tentu kita berharap, polisi melakukan penyidikan dengan profesional sehingga
tidak ada tafsiran-tafsiran di kalangan masyarakat, (penangkapan-Red) itu ada dalam
rekayasa pemerintah."
Kemarin, Hamzah Haz juga menerima pernyataan sikap politik DPRD Maluku, yang
dibacakan dan disampaikan Ketua Fraksi TNI/Polri DPRD Maluku Kolonel Andi
Syarifudin. Pernyataan sikap itu merupakan hasil dua kali sidang paripurna khusus di
Hotel Wisata dan Gedung MPR/DPR Jakarta, Minggu dan Senin, yang meminta agar
pemerintah bertanggung jawab memberikan keamanan dan kenyamanan bagi rakyat
Maluku. "... karena Maluku merupakan bagian integral dari negara kesatuan Republik
Indonesia. Itu merupakan harga mati, yang tidak bisa ditawar-tawar oleh siapa pun,
ujar Z Sahuburua, Ketua DPRD Maluku.
Sementara itu dari Ambon, Maluku, kemarin, Ketua Tim Penyidik Gabungan (TPG)
Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) Maluku Komisaris Besar (Pol) Johnny
Tangkudung kepada Kompas, Metro-TV, dan Trans-TV di Markas Polda Maluku,
Selasa siang, menyebutkan bahwa berkas pemeriksaan Manuputty telah rampung
sekitar 70 persen. Untuk melengkapinya, TPG sudah mengajukan perpanjangan
penahanan selama 30 hari lagi. Tangkudung menegaskan bahwa kepada Manuputty
akan dikenai pelanggaran aturan mengenai kegiatan makar yang ancaman
maksimalnya sampai seumur hidup.
Pimpinan Eksekutif Fron Kedaulatan Maluku (FKM) Alexander Hermanus Manuputty
saat ini masih ditahan di Polisi Militer Kodam XVI/Pattimura bersama 16 orang
lainnya yang menjadi tersangka berkaitan dengan aksi pelepasan balon udara yang
bergantungkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25 April silam.
Manuputty ditangkap pada tanggal 17 April dan kemudian resmi ditahan oleh TPG
sehari kemudian.
Soal penangkapan
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wal Jamaah, Ayip Syafruddin
dalam pertemuan dengan wartawan di kantor Pusat Advokasi Hukum dan HAM
(PAHAM) Indonesia, Jakarta, Selasa, masih mempersoalkan penangkapan Ja'far
Umar Thalib. Penangkapan Ja'far, katanya, dilakukan dengan cara preman, tidak
beretika, dan tidak memakai prosedur.
Namun, di Surabaya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH
Hasyim Muzadi menilai penangkapan itu adalah konsekuensi atas tuntutan
penegakan hukum dalam kasus Ambon. Penangkapan tokoh yang diduga sebagai
provokator kerusuhan Ambon tersebut merupakan bagian dari proses pemeriksaan
untuk mencari pihak yang benar-benar bersalah dalam konflik yang tak kunjung
selesai itu.
Senada dengan Ketua Umum PBNU, mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono
menilai, penangkapan itu murni dilatari pelanggaran hukum pidana, dan bukan bagian
dari skenario internasional. Penangkapan itu, kata Juwono, dilakukan setelah ada
bukti-bukti awal yang cukup berupa pita rekaman dan transkripnya. "Sekarang
prosesnya bergantung pada proses hukum. Dan, kita pun harus menghormati upaya
pengacara Ja'far yang mencoba mengajukan gugatan-gugatan untuk masalah
tersebut," katanya.
Sedangkan mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Bambang Widjoyanto menilai, penangkapan Ja'far dan Alex masih terkesan reaktif.
"Sekadar untuk meredam konflik di Ambon yang tidak selesai-selesai. Yang penting
dilakukan adalah bagaimana aturan-aturan ditegakkan secara konsisten, status
darurat sipil didorong agar berfungsi, dan mengintegrasikan aparat militer dan
kepolisian dalam pemberlakukan tindakan darurat," katanya.
(rts/mba/dik/lam/osd/rma/sah/vin/wis)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|