KOMPAS, Kamis, 11 April 2002
Gandeng Tangan, Ciptakan Damai di Ambon
AKSI pengeboman di Jalan Yan Paays, Kota Ambon, Maluku, yang terjadi Rabu, 3
April 2002 lalu, bukan saja hampir menghancurkan proses perdamaian yang telah
tercipta di bumi seribu pulau pascapertemuan Malino, aksi teror itu juga membuat
enam warga meregang nyawa dan 58 orang mengerang kesakitan, di mana 21 orang
di antaranya menjadi penyandang cacat karena kakinya diamputasi atau matanya
menjadi buta.
Aksi teror itu pun tidak hanya menimpa kalangan agama tertentu, tetapi semua pihak,
baik yang Nasrani maupun Muslim. Peledakan bom itu mencederai pria, wanita, tua,
muda, tanpa pandang bulu.
Betsi Manusama (45) dan Waratna (40) adalah dua di antara 64 orang yang menjadi
penyandang cacat seumur hidup akibat peristiwa itu. Betsi yang Nasrani dan Waratna
yang Muslim itu harus rela kehilangan kakinya.
Kedua kaki Betsi harus diamputasi hingga lutut, sementara Waratna harus
mengorbankan kaki kirinya-juga diamputasi selutut. Selain itu, Waratna juga harus
kehilangan empat jari kaki kanannya.
Peristiwa tragis itu terjadi saat keduanya hendak menumpang becak, usai berbelanja
di Jalan Yan Paays, Kota Ambon. Dua wanita yang sudah lama bersahabat itu
kebetulan mempunyai profesi sama. Mereka bekerja sebagai bendahara di Sekolah
Menengah Pertama Negeri (SMPN) 6 Ambon.
"Beta benar-benar tidak menyangka. Tiba-tiba saja beta jatuh dan terasa ada dalam
gumpalan asap tebal. Saat itu, beta tetap sadarkan diri. Beta lihat orang-orang
sekeliling beta ada yang mukanya terbakar. Tapi, ketika beta mau berdiri, beta tidak
bisa menggerakkan kaki lagi," ujar Betsi menjelaskan tragedi yang menimpanya itu,
saat ditemui Kompas di Rumah Sakit Umum Daerah Haulussy, Ambon.
Sampai kini Betsi dan korban lainnya masih terbaring lemah di bangsal rumah sakit.
Selang infus masih menempel di tubuhnya dan perban masih membungkus lututnya,
usai menjalani amputasi. Ia ditemani suaminya, GH Manusama, sementara Waratna
dirawat di RS TNI Ambon.
***
SIAPAKAH pelaku pengeboman ini? Sebagian kecil masyarakat Ambon masih ada
yang mengaitkannya dengan sentimen kelompok berdasarkan agama. Namun, yang
patut dipertanyakan, apakah mungkin hal itu dilakukan oleh salah satu kelompok
agama tertentu?
Pasalnya, pengeboman di Yan Paays jelas tidak hanya menimbulkan korban pada
kelompok tertentu, tetapi semua pihak, baik Nasrani maupun Muslim. Rasanya tidak
ada agama yang mengajarkan umatnya membunuh sesama manusia, terlebih lagi
umatnya sendiri.
Kepolisian Daerah Maluku pada Minggu 8 April 2000 lalu telah berhasil
mengidentifikasi dua orang yang diduga kuat sebagai tersangka peledakan bom di
Jalan Yan Paays. Kedua orang itu, menurut Kepala Polda Maluku Brigadir Jenderal
(Pol) Soenarko DA adalah Idi Amin Thabrani Pattimura (30) alias Ongen Pattimura
(OP) dan Syafruddin alias Zaza.
Khusus untuk Ongen, polisi bahkan sudah mengedarkan sketsa wajahnya ke
masyarakat luas. Kemajuan penyelidikan ini tentu patut dihargai, jika OP dan Zaza
berhasil ditangkap dan diadili.
Persoalannya kini, mungkinkah OP berhasil ditangkap? Apakah polisi juga akan
berhasil mengungkap orang-orang di balik layar yang menjadi otak perbuatan itu?
Atau, seperti umumnya terjadi, penyelidikan hanya mampu mengungkap pion, dan
bukannya sang kampiun.
***
BAGAIMANA beratnya penderitaan yang harus dialami Betsi, Waratna, dan 62
korban lainnya, rasanya penyelidikan tidak boleh terhenti sebelum berhasil
mengungkap pelaku yang menjadi otak pengeboman.
"Beta tidak dendam, kaki beta sekarang sudah tidak ada. Tapi, agar kejadian ini tidak
terulang pada yang lain, beta ingin polisi segera menangkap semua yang terlibat
sesuai hukum berlaku," ucap Betsi di pembaringannya dengan nada tersedak
menahan kepedihan hatinya. Air matanya pun menetes perlahan dan jatuh ke
pembaringannya.
Betsi berharap, perdamaian pun bisa kembali tercipta di Ambon seperti di masa lalu.
"Apalagi beta sekarang sudah tidak punya kaki. Kalau terjadi kerusuhan lagi
bagaimana beta bisa menyelamatkan diri. Siapa yang akan membantu mengangkat
beta," ujar Betsi lirih.
Agar pengorbanan Betsi dan lainnya tidak sia-sia, barangkali ada benarnya apa yang
pernah dikatakan Thamrin Eli, Ketua Delegasi Malino. Ia menyerukan agar semua
masyarakat hendaknya bergandengan tangan menciptakan perdamaian di Ambon.
(sutta dharmasaputra)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|