KOMPAS, Sabtu, 11 Mei 2002
Menko Polkam: Keluarkan Laskar Jihad, Bubarkan FKM/RMS
Jakarta, Kompas - Penguasa Darurat Sipil Pusat (PDSP) meminta Penguasa Darurat
Sipil Daerah (PDSD) Maluku melakukan langkah-langkah hukum yang mengarah
pada dikeluarkannya Laskar Jihad dari Maluku. Selain itu, PDSD Maluku juga diminta
untuk melaksanakan langkah-langkah hukum yang menuju pelarangan dan
pembubaran Fron Kedaulatan Maluku (FKM)/Republik Maluku Selatan (RMS).
Permintaan itu dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
(Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Jumat (10/5). Menurut
Yudhoyono, PDSP dan PDSD Maluku menilai, sumber konflik dan kekerasan baru di
Maluku adalah eksistensi dan kegiatan FKM/RMS serta keberadaan dan kegiatan
Laskar Jihad di Maluku.
Menanggapi sikap pemerintah itu, Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Ahlu
Sunnah Wal Jamaah dalam pernyataan sikapnya yang diterima Kompas, Jumat
malam, menyebut, rencana pemerintah untuk membubarkan FKM dan menarik
Laskar Jihad dari Maluku untuk mengatasi keadaan di Maluku tidak akan
menuntaskan permasalahan.
"Rencana penarikan Laskar Jihad dan pembubaran FKM sebagai satu paket juga
menunjukkan bahwa pemerintah hendak menyamakan antara Laskar Jihad dengan
kelompok separatis," begitu bunyi pernyataan DPP Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Yudhoyono mengemukakan, ada lima sasaran dan prioritas untuk menyelesaikan
konflik di Maluku. Dua di antaranya adalah pelarangan atau pembubaran FKM/RMS
dan langkah pengeluaran Laskar Jihad dari Maluku.
Adapun tiga hal lain, terdiri dari pertama, penuntasan kasus-kasus yang terjadi pada
tanggal 3 April 2002, yaitu peristiwa peledakan bom di Jalan Yan Pays dan peristiwa
pembakaran Kantor Gubernur Maluku di Kota Ambon, serta serangkaian peristiwa
sejak tanggal 25 April 2002, termasuk penyerangan Desa Soya. Semua pihak yang
diduga kuat terlibat, termasuk pemicunya, harus mendapatkan proses hukum secara
tegas dan adil.
Kedua, PDSD Maluku diminta untuk melaksanakan sweeping dan pelucutan senjata
secara serentak, dan kalau perlu secara paksa. Dengan masih dimilikinya senjata
oleh sebagian masyarakat Ambon, pemerintah menilai konflik dan kekerasan
bersenjata masih akan terjadi, meskipun tidak ada kaitannya dengan konflik
antar-umat beragama.
Dan, ketiga, pemerintah pusat sangat berharap agar seluruh unsur di Maluku, yakni
PDSD Maluku, Kepala Polda, Panglima Daerah, Kepala Kejaksaan Tinggi, termasuk
DPRD, para pemuka, dan tokoh kedua komunitas dapat melaksanakan kerja sama
yang lebih efektif.
Mendorong konflik
Menyangkut Laskar Jihad, meskipun organisasi ini menurut tujuan dan sifatnya tidak
melakukan kejahatan terhadap keamanan negara, seperti kegiatan makar, menurut
Yudhoyono, Laskar Jihad di Maluku dinilai telah melibatkan diri dan dalam beberapa
hal ikut mendorong terjadinya konflik dan kekerasan di Maluku. Oleh karena itu,
pemerintah berketetapan untuk mengeluarkan organisasi ini dari wilayah Maluku.
Apabila FKM/RMS telah secara hukum dibubarkan dan Laskar Jihad telah
meninggalkan Maluku, PDSD Maluku beserta jajarannya, khususnya aparat
keamanan, harus mampu memberikan perlindungan penuh kepada semua komunitas
di Maluku. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kelompok luar Maluku, seperti
Laskar Jihad, datang ke Maluku dengan tujuan untuk melindungi keselamatan dan
keamanan komunitas Islam di daerah itu.
Salah seorang mediator Perjanjian Maluku di Malino, Dr Hamid Awaluddin,
mengungkapkan, menjelang penandatanganan Perjanjian Maluku di Malino,
pertengahan Februari 2002, pembahasan yang alot memang soal isu Laskar Jihad
dan RMS. Kelompok Kristen tidak menghendaki adanya isu Laskar Jihad, sementara
isu RMS sangat menguat disuarakan kelompok Islam.
"Solusinya waktu itu adalah ketika berbicara RMS, jangan berasosiasi dengan
Kristen, karena sejarahnya RMS ketika didirikan ada menteri Omar Ohorillah dari
kalangan Islam. Pasukan yang paling banyak berkorban ketika menggempur RMS
adalah Slamet Riyadi. Dia itu Katolik dan pasukannya sebagian Kristen. Mohon
teman-teman Islam berbicara RMS jangan berasosiasi sama dengan Kristen," tutur
Hamid dalam "Diskusi Solusi Konflik Ambon" di DPR, Jumat.
"Sebaliknya, kita katakan bahwa teman-teman dari kelompok Kristen, ketika Anda
berbicara Laskar Jihad, jangan berpikir bahwa Laskar Jihad adalah pemicu awal
konflik. Itu adalah turunan, dia datang belakangan. Satu setengah tahun setelah
konflik baru muncul," tambah Hamid.
Langkah lain yang telah dikeluarkan PDSD Maluku kini adalah memperpanjang aturan
pembatasan kunjungan warga negara asing (WNA) ke Provinsi Maluku yang
sebelumnya hanya berlaku sepanjang tenggang 10-30 April 2002. Dalam surat
bernomor 1059/PDSDM/ V/2002 tertanggal 1 Mei 2002 yang diperoleh Kompas,
Jumat siang, disebutkan bahwa untuk sampai batas waktu yang tidak ditentukan,
Maluku dinyatakan tertutup bagi warga negara asing. Karena itu, PDSD Maluku
meminta Menteri Luar Negeri dan Menteri Kehakiman dan HAM untuk menolak setiap
penerbitan rekomendasi atau visa bagi warga asing untuk masuk ke Maluku.
Terkesan emosional
Wakil Presiden Hamzah Haz hari Jumat di Batam kembali menegaskan bahwa
kedatangannya menjenguk Panglima Laskar Jihad Ja'far Umar Thalib ke tahanan
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia sama sekali tidak dimaksudkan untuk
mempersulit atau mengintervensi proses hukum yang sedang dijalani Ja'far.
Apa yang dilakukannya, kata Hamzah, semata-mata sebagai sikap seorang Muslim
yang merasa berkewajiban melakukan silaturahmi kepada sesama Muslim yang
mengalami musibah. "Adalah kewajiban bagi seorang Muslim untuk menghilangkan
beban saudaranya," tambahnya.
Namun, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Prof Dr Ichlasul Amal menilai
kunjungan Hamzah Haz itu terkesan emosional. Menurut Amal, kasus Ja'far itu
merupakan kasus politik sehingga masyarakat dalam menanggapi kasus itu harus
dengan sikap rasional.
"Tidak perlu dengan emosional. Ja'far itu memang tokoh agama, tetapi kiprahnya di
Ambon dengan Laskar Jihad-nya adalah kiprah politik. Karena itu, kalau kita bicara
solidaritas Islam, bukan berarti harus sepaham dengan Ja'far. Saya pikir soal
solidaritas Islam sudah merupakan hal otomatis bagi umat Islam," tandasnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Presidium Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir menilai, penerapan Pasal 134 yang
dituduhkan kepada Ja'far Umar Thalib telah membuat langkah mundur hukum negara
ini. Ternyata pemerintah tidak pernah melupakan pasal peninggalan kolonial haatzaai
artikelen untuk memasung kebebasan politik warganya. (lok/bur/dik/smn/sah/top/nar)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|