KOMPAS, Selasa, 14 Mei 2002
"Utang" kepada Maluku yang Belum Terbayar
ZONA baku bae di depan Hotel Ambon Manise (Amans) di Jalan Pantai Mardika
yang semula menjadi pusat pembauran dua komunitas di Maluku, kembali senyap.
Para pedagang yang semula memadati pasar "kaget" tersebut dengan beragam
dagangan, benar-benar mati total seiring dengan menguatnya isu kerusuhan,
terutama semenjak penyerangan Desa Soya 27 April lalu. Belum lagi pembakaran
kantor Gubernur Maluku yang sekaligus memusnahkan ruang pertemuan antardua
komunitas dalam satu atap. Kepindahan kantor sementara Pemerintah Provinsi
Maluku ke kantor Dinas Pekerjaan Umum yang berada di "kantung" komunitas
Nasrani dengan sendirinya menyurutkan semangat para pegawai yang semula relatif
bebas bertemu di zona netral.
Zona baku bae "raksasa" di seluruh Ambon kehilangan pionirnya. MM MBarikade
yang semula sempat tersapu menyisih di beberapa tempat mulai terpasang. Jalur
darat dari Bandara Pattimura menuju pusat Kota Ambon praktis tertutup total.
Meski Gubernur sekaligus Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) Maluku M Saleh
Latuconsina menyatakan bahwa barikade tersebut akan dihilangkan, proses tersebut
tidak akan semudah membalik telapak tangan.
Komandan Sektor I Kota Ambon Kolonel Erwin Hudawi Lubis menyebutkan bahwa
selama barikade itu dianggap bisa memberi "kenyamanan" sementara kepada
masyarakat Ambon, keberadaannya masih akan ditolerir. Meski demikian, cepat atau
lambat, aparat keamanan tidak akan membiarkan keberadaannya.
Kini, untuk mencapai pusat kota, speedboat yang melintasi Teluk Ambon kembali
kebanjiran penumpang karena pertimbangan waktu tempuh yang relatif singkat.
Masing-masing komunitas memiliki pangkalan dan perlintasan sendiri. Untuk warga
Muslim, misalnya, dari pangkalan di Laha, speedboat akan melintasi Teluk Ambon
selama sekitar setengah jam untuk kemudian merapat di Pasar Lama. Lantas, di saat
tumbuh kekhawatiran jika terjadi percikan konflik di laut-merujuk sejumlah
pengalaman di masa lalu-aparat keamanan sudah diminta untuk mengawasi lalu
lintas laut ini. Apalagi, kekhawatiran adanya "pancingan-pancingan" dari darat
ditengarai sudah mulai terjadi.
Awalnya adalah peledakan bom di Jalan Yan Paays dan pembakaran kantor Gubernur
Maluku, awal April lalu. Rentetannya adalah mengudaranya balon-balon dengan
bendera RMS tergantung di bawahnya pada tanggal 25 April 2002 serta penyerangan
Desa Soya. Kekhawatiran kembali memuncak. Semua individu akhirnya
terkonsentrasi kembali ke komunitas masing-masing. Mereka hanya berani
beraktivitas secara "bebas, namun cemas" dalam kotak-kotak demarkasi yang terasa
semakin sempit.
Betapa susahnya menciptakan Ambon manise. Alangkah mundurnya harapan damai
yang sempat ditiupkan dari pegunungan berhawa sejuk di Malino. Padahal,
Pertemuan Malino untuk Maluku pada pertengahan Februari lalu sudah lama lewat.
Udara sejuk Malino yang semula diharapkan menghentikan konflik horizontal sudah
berlalu. Sempat menawarkan dan sekaligus meyakinkan bahwa kesepakatan
penghentian konflik tersebut akan perlahan bisa mendorong terciptanya perdamaian
hakiki di Maluku. Perjanjian Maluku di Malino menimbulkan pertanyaan: Siapakah
yang "berutang" dalam kesepakatan tersebut?
Namun, merujuk pernyataan Hengky Hattu yang mewakili delegasi Nasrani dalam
Malino II kepada rombongan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
(Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono saat mengunjungi Ambon awal April
lalu, secara tegas menyebutkan sejumlah kekurangan pemerintah dan aparat
keamanan selepas Kesepakatan Malino II. Kekurangan tersebut bahkan sudah
dimulai semenjak kedatangan delegasi dari Makassar yang langsung disambut
dengan penghadangan dan teror terhadap para anggota delegasi.
Demo penolakan terhadap Perjanjian Maluku di Malino yang dilakukan oleh kelompok
radikal juga telah memperlihatkan bahwa aparat keamanan tidak cukup tanggap
mengamankan realisasi kesepakatan tersebut. Rentetan kasus itu, termasuk juga
"meletusnya" insiden pengibaran bendera RMS dengan balon udara yang terasa terus
memanas-manaskan situasi. Pencederaan terhadap isi kesepakatan yang tidak
ditindaklanjuti dengan proses penegakan hukum yang tuntas dinilai menjadi indikasi
bahwa pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban yang sebenarnya
merupakan tanggung jawabnya.
Dengan menyadari bahwa Kesepakatan Malino II merupakan perjanjian antara dua
komunitas di Maluku bersama pemerintah, semestinya seluruh pihak memberikan
kontribusi sepadan dalam proses rekonsiliasi di Maluku. Selama ini, masyarakat
Maluku telah menunjukkan komitmennya untuk tidak kembali memercikkan pertikaian
spontan ketika terjadi peledakan bom dan pembakaran kantor Gubernur Maluku Rabu
awal April lalu. Kenyataannya, dari dua kasus awal itu saja, polisi baru sebatas
mengumumkan adanya dua tersangka peledakan bom. Sebulan lewat sudah dan
belum ada lagi perkembangan signifikan yang dilemparkan kepada publik. Belum
selesai dengan urusan tersebut, aksi Fron Kedaulatan Maluku (FKM) yang
mengusung isu RMS sudah harus ditangani. Penahanan dan penetapan 17
tersangka, termasuk pimpinan eksekutif FKM Alexander H Manuputty, oleh Tim
Penyidik Gabungan (TPG) memang sudah dilakukan. Meski demikian, tetap saja
anggapan terlambat itu terus mengemuka karena isu tersebut sudah beredar
jauh-jauh hari.
Wajarlah jika kemudian, sejumlah kekurangan menunjukkan bahwa pemerintah belum
sepenuhnya melaksanakan komitmen pemulihan keamanan dan juga penegakan
hukum di Maluku. Selama ini, ketidakmampuan pemerintah dalam menuntaskan
kewajibannya dinilai telah menjadikan tumpukan persoalan rekonsiliasi Maluku lebih
banyak berada di tangan deklarator Kesepakatan Malino II dari dua komunitas.
Padahal, mencermati setiap butir dalam kesepakatan tersebut, pemerintah pun
memiliki kewajiban mutlak yang harus disegerakan.
***
MENCERMATI sebelas butir Perjanjian Maluku di Malino, satu pertanyaan langsung
mengapung: di manakah pemerintah (pusat dan daerah) mendudukkan diri dalam
status Maluku yang darurat sipil itu?
Sesuai butir keenam Perjanjian Maluku yang ditandatangani di Malino 12 Februari
2002, tim investigasi independen nasional tersebut diserahi tugas untuk mengusut
tuntas antara lain peristiwa 19 Januari 1999, FKM, RMS, dan Laskar Jihad. Merujuk
surat Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono tertanggal 27 Maret 2002, tim
investigasi independen tersebut akan dibentuk secepat-cepatnya dengan Kepala
Kepolisian RI sebagai penjurunya.
Meskipun disadari bahwa tim tersebut bukanlah satu-satunya jawaban penyelesaian
konflik di Maluku, menyandarkan kembali seluruh rangkaian konflik pada proses
hukum akan mengembalikan tatanan masyarakat kembali kepada hukum. Proses
penegakan hukum tidak boleh seolah-olah hanya diberlakukan kepada masyarakat
yang hanya terkena imbas konflik.
Padahal, jika hendak benar-benar menyelesaikan persoalan mendasar tersebut, tim
ini ditantang untuk mengungkap keberadaan aktor-aktor intelektual yang berada di
balik terjadinya konflik horizontal berbau suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) yang merusak tatanan normal di Maluku. Dalam hal tersebut, mengutip
keterangan Gubernur Maluku M Saleh Latuconsina, pemerintah daerah tidak
mempunyai kewenangan untuk mendesakkan tuntutan pembentukan tim investigasi
tersebut.
Thamrin Elly yang ketua delegasi Muslim dalam pertemuan di Malino menyebut
bahwa kondisi di Maluku dengan status darurat sipilnya (yang kemudian berembus
wacana peningkatan status menjadi darurat militer) bahkan semakin menunjukkan
bahwa pemerintah pusat belum memberikan perhatian serius kepada Maluku.
Penetapan status darurat sipil pada tanggal 26 Juni 2000 dengan diterbitkan
Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2000 tentang Darurat Sipil yang didasarkan
pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959
tentang Pemberlakuan Keadaan Bahaya, sebenarnya belumlah cerminan utuh
menciptakan kedamaian hakiki di Maluku. Akibatnya, kinerja PDSD Maluku dinilai
lemah, tidak tegas, dan menimbulkan kesan bahwa M Saleh Latuconsina telah gagal
mengoordinasikan penanganan penyelesaian konflik di Maluku.
Padahal, Thamrin menyebut bahwa terjadi dualisme dalam pelaksanaan operasional
darurat sipil. Kewenangan pengambilan keputusan di tangan Gubernur tidak diimbangi
dengan pelaksanaannya di lapangan. Kewenangan kontrol di lapangan sesungguhnya
masih berada pada pemerintah pusat, terutama dalam bidang pertahanan dan
keamanan, supremasi hukum, agama, dan lain-lain. Karenanya, DPRD Provinsi
Maluku berani menyebut bahwa sense itu tidak pernah dimiliki oleh pemerintah pusat.
Apa pun, masih ada tugas besar yang harus dilaksanakan untuk menciptakan Ambon
yang manise. Untuk Kota Ambon, 12.203 rumah rusak terbakar selama kerusuhan.
Merujuk data sampai Oktober 2001, masih terdapat 329.918 pengungsi atau 57.571
keluarga yang tersebar di empat kabupaten dan satu kota di Maluku. Merekalah yang
kini mengungsi dalam barak-barak darurat di seluruh penjuru kota, mencari ruang
aman dalam kantung komunitasnya sendiri-sendiri. Tengoklah suasana di bekas
taman hiburan rakyat (THR) di komunitas Muslim atau di Stadion Ambon di kawasan
Karangpanjang. Padahal, sesuai dengan amanat Perjanjian Maluku di Malino,
bukankah setiap pengungsi semestinya kembali ke tempat semula tanpa paksaan
dengan segala hak keperdataannya?
Kini, sangat ditunggu, siapa yang mau segera membayar "utang" kepada masyarakat
Maluku? Sudah sekian lama mereka menunggu.... (Sidik Pramono)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
|