The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

12 Tewas,12 Luka Berat


KOMPAS, Senin, 29 April 2002

Penyerangan di Desa Soya, Ambon
12 Tewas,12 Luka Berat

Ambon, Kompas - Kota Ambon kembali menjadi kota mati. Pada Minggu (28/4) dini hari, sekitar pukul 04.30, masyarakat dikagetkan dengan penyerangan yang terjadi di Desa Soya, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon. Nyala api yang berkobar di perbukitan itu tampak dari kejauhan. Serangan itu menewaskan 12 warga akibat terkena ledakan mortir, luka tembak, dan terbakar, sementara 12 orang mengalami luka-luka. Sebuah gereja tua di Soya luluh lantak.

Desa Soya terletak di perbukitan dan berada di arah timur Kota Ambon. Saat Kompas tiba di lokasi, sejumlah warga tampak mengevakuasi sejumlah korban. Korban meninggal dunia langsung dikumpulkan di salah satu rumah warga, sedangkan korban luka-luka langsung dilarikan ke Rumah Sakit Bakti Rahayu dan RSUD Haulussy.

Isak tangis terdengar di mana-mana. Sementara itu, bau hangus terbakar tercium di setiap penjuru. Sekitar 30 rumah hangus terbakar dalam penyerangan itu. Sejumlah warga yang merasa kecewa dengan pengamanan yang dilakukan aparat tampak emosional. Mereka mengeluarkan senjata yang mereka miliki masing-masing untuk melakukan pertahanan.

 Belum bisa diperoleh komentar atas penyerangan tersebut. Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) Maluku Saleh Latuconsina, Minggu antara pukul 14.00 hingga 16.00, melakukan rapat tertutup dengan Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Brigjen (Pol) Soenarko dan Panglima Kodam Pattimura Brigjen Mustopo. Kemudian, Latuconsina menerima tokoh-tokoh agama Kristen. Saat ditanya pers, Latuconsina belum mau memberikan komentar. Pada pukul 20.00, pers mencoba mendatangi kediaman Gubernur, namun menurut ajudannya, Gubernur belum akan memberikan keterangan.

 Darurat militer

Memburuknya keadaan di Kota Ambon membuat Wakil Ketua Komisi I DPR Astrid Susanto kembali mengusulkan agar status Kota Ambon ditingkatkan dari darurat sipil menjadi darurat militer. Anggota Komisi II DPR Akil Mochtar mendukung usulan Astrid.

 "Dulu selalu dibilang bahwa konflik yang terjadi di Ambon adalah konflik horizontal, bukan vertikal sehingga untuk menyelesaikannya diberlakukan darurat sipil. Tetapi sekarang keadaannya semakin parah, terjadinya pengibaran bendera RMS (Republik Maluku Selatan-Red) dan pengeboman kantor gubernur itu menunjukkan konflik vertikal, Jadi, saya kira sudah waktunya diberlakukan darurat militer," ujar Astrid ketika dihubungi, Minggu.

 Menurut Astrid, ternyata pemerintah daerah sudah tidak mampu. Kesepakatan Malino II disalahgunakan oleh pihak yang mendukung separatisme dan kekerasan. Sudah waktunya darurat militer diberlakukan.

Ia menambahkan, pada tanggal 8-9 Mei, Komisi I, II, dan VII DPR yang dipimpin Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno akan berkunjung ke Ambon.

 Secara terpisah, anggota Komisi II DPR Akil Mochtar menyatakan, ia menilai konflik yang terjadi di Ambon saat ini menunjukkan bahwa pertemuan formal yang dilakukan selama ini hanya bermakna pada tingkat pimpinan, tetapi tidak sampai ke rakyat paling bawah.

 Oleh karena itu, Akil setuju jika saat ini diberlakukan keadaan darurat militer. "Kalau darurat sipil sudah tidak maksimal, ya pemerintah pusat mempunyai kewajiban untuk melindungi penduduk, mempertahankan kedaulatan negara. Itu pilihan terbaik. Yang penting bagaimana menyelamatkan rakyat dan negara," ujarnya.

 Berpakaian Loreng

 Menurut warga setempat, penyerangan terjadi sekitar pukul 04.30 sekitar 10 menit setelah listrik di desa padam. "Tiba-tiba, bom terdengar di mana-mana. Banyaknya tidak terhitung. Serentetan tembakan juga terdengar di mana-mana," kata Pendeta J Hutubessy yang juga warga setempat.

 "Yang menyerang juga berpakaian loreng. Jumlahnya sangat banyak," tambah seorang warga lainnya dengan pedang panjang di tangan.

 Hal senada disampaikan Demianus Hitijaubessy (50-an) warga setempat, yang istri dan cucunya tewas tertembak peluru dalam insiden itu. Ia ditemui pers di rumah sakit.

"Perusuh itu datang di rumah saya sekitar pukul 04.30. Mereka langsung memberondong dari jendela. Cucu saya dan istri saya langsung meninggal diberondong senjata api dan saya sempat melihat mereka berpakaian loreng, menutup muka," ujarnya dengan emosional.

 Meski demikian, Hitijaubessy juga menegaskan bahwa dirinya tidak bermaksud menyudutkan TNI. Dirinya hanya melihat penyerang berpakaian loreng dan mengenakan penutup kepala. "Beta ini tidak bicara politik," ujarnya.

 "Sementara itu, Bapak Gubernur hanya bicara. Bapak Panglima hanya bicara. Kepala Polda juga bicara. Tapi yang sengsara malah rakyat kecil. Rakyat kecil mati terus sia-sia," ujarnya dengan terisak-isak.

 Sore harinya, seluruh korban langsung dimakamkan oleh warga setempat dalam upacara pemakaman massal di kawasan Kayu Putih.

 Kepala Penerangan Kodam XVI/Pattimura Mayor Herry Suhardi seperti dikutip Antara mengemukakan, kelompok yang menyerang Desa Soya yang mengakibatkan 12 orang tewas bukan anggota TNI. "Masyarakat hendaknya memahami bahwa kelompok perusuh pun bisa menggunakan atribut TNI. Jadi, pemakaian atribut TNI oleh kelompok penyerang Desa Soya tersebut adalah untuk mendiskreditkan TNI," ujar Herry.

 Apriori masyarakat ini mengakibatkan personel TNI yang dikerahkan untuk mengejar kelompok perusuh sempat ditolak. "Personel TNI kini sedang melakukan penyisiran," kata Herry.

 Mencekam

 Sementara itu, suasana di Kota Ambon hingga sore hari, pascapenyerangan di Soya, terasa lebih mencekam. Jalan-jalan di seisi kota menjadi lengang. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang. Pusat-pusat pertokoan di penjuru kota pun tutup.

 Pada pagi hari, sekitar pukul 08.30, pengumpulan massa dalam jumlah besar kembali terjadi di Kota Ambon. Aksi itu terjadi menyusul terlihatnya kembali bendera RMS di udara yang diterbangkan balon gas. Serangan mortir juga terjadi di kawasan Mardika, Kota Ambon, tidak jauh dari tempat berkumpulnya massa. Mortir mengenai sebuah rumah kosong.

 Sekitar pukul 13.00, api juga kembali berkobar di Gereja Silo yang masih dalam proses pembangunan. Beberapa hari lalu, tepatnya 25 April 2002, gereja ini juga sempat terbakar.

 Sementara itu, pihak keamanan berjaga-jaga di setiap sudut kota. Mereka membuat barikade di setiap perbatasan permukiman untuk menghindari benturan dua komunitas. Aparat keamanan juga melakukan sweeping pada setiap kendaraan yang melintasi batas permukiman antara dua komunitas.

Namun, sekitar pukul 18.00, kondisi Kota Ambon kembali mulai kondusif. Jalan-jalan yang semula ditutup dengan barikade sudah kembali dibuka. (sut/son/bdm)


Rasa Aman Pun Sirna di Soya

KETIKA terdengar berita bahwa Desa Soya di Kota Ambon hari Minggu pagi diserbu oleh sekelompok orang bersenjata, keprihatinan sepertinya tidak bakal pupus dari konflik Ambon. Bukan saja kejadian itu telah merenggut korban jiwa yang tidak sedikit, tapi simbol rasa aman di desa perbukitan yang "terpencil" itu pun ikut sirna. Apalagi nama Soya seolah tidak bisa lepas dari keberadaan Kota Ambon.

 Bagi mereka yang kini atau pernah tinggal di Ambon, nama Desa Soya mengingatkan pada sesuatu yang tidak bisa lepas dari Kota Ambon. Masyarakat adat yang homogen di desa yang terpencil itu masih mendapat peran dalam berbagai kegiatan di Kota Ambon.

 Setiap kali ada kegiatan yang dilaksanakan Kodam Pattimura atau Pemerintah Kota Ambon yang menyangkut upacara adat, masyarakat Desa Soya pasti dilibatkan.

 Tidak heran, karena sebagian wilayah pusat Kota Ambon yang berbatasan dengan wilayah Batumerah merupakan wilayah Petuanan Soya di masa lalu. Bahkan, Desa Soya merupakan basis komunitas Kristen Protestan yang dapat dilihat dari Gereja Tau Soya yang merupakan gereja nomor dua tertua di Maluku yang dibangun tahun 1896.

 Karena letaknya di perbukitan, meski masih berada dalam wilayah Kota Ambon, Soya boleh disebut "terpencil". Jarak dari pusat kota sekitar 15 km dengan harus melalui jalan yang terus menanjak hingga ke pusat desa.

 Itu pula yang menyebabkan Desa Soya justru dijadikan tempat pengungsian ketika terjadi konflik yang dimulai tiga tahun lalu di Ambon. Semua warga Nasrani yang jadi korban dalam konflik di Ambon merasa aman mengungsi di Soya yang terpencil dan homogen.

 Namun, keterpencilan dan ketenangan itu akhirnya tersentuh juga oleh situasi konflik yang hingga kini belum juga usai. Warga Soya tidak pernah menyangka akan terjadi penyerangan besar-besaran seperti itu. Bukan saja lokasinya yang sulit dijangkau, meski tidak sulit dijangkau kendaraan umum, tapi yakin di jalur menuju desa mereka terdapat pos penjagaan keamanan yang akan melindungi mereka. Tapi sekarang, semuanya telah terjadi dan rasa aman pun sirna dari Soya. (sut/dth)

© C o p y r i g h t   1 9 9 8   Harian Kompas
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kariu67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044