EVALUASI PENANGANAN HUKUM PASCAMALINO II DI MALUKU
Disusun oleh Jaringan Intelektual Maluku se Jawa – Bali dalam rangka
menyikapi dan mengkritisi seluruh perkembangan situasi keamanan di
Maluku (Ambon)
1. Pra-Malino
Kerusuhan Maluku yang terjadi sejak 19 Januari 1999 tidak pernah diselesaikan
menurut hukum positif yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Berbagai peristiwa pelanggaran hukum selama kurun waktu Darurat
Sipil, yang antara lain dalam bentuk penyerangan, aksi teror melalui penyusupan
"orang-orang" bertopeng dan terlatih, penembakan dan pengeboman speed boat dan
kapal motor yang ditumpangi warga sipil di jalur laut, dll, tidak pernah diselesaikan
menurut prosedur hukum secara transparan di hadapan masyarakat.
Tidak terungkapnya para pelaku rangkaian pelanggaran hukum itu, merupakan
kegagalan penanganan masalah kerusuhan oleh Pemerintah Darurat Sipil Daerah
Maluku (PDSDM); implisit impotensi negara dalam menegakan supremasi hukum.
Secara empiris, rakyat dibiarkan hidup dalam situasi keamanan yang tidak menentu.
Keamanan merupakan sesuatu yang semu, walaupun telah digelar ribuan personil
TNI/Polri. Sebab insiden penembakan, penyusupan, penyerangan, pengeboman,
pembantaian dan aksi-aksi teror, masih merebak di mana-mana; membuat
masyarakat merasa tidak aman di negerinya sendiri. Pada sisi yang sama, negara
tidak mampu menangkal kekuatan dan/atau kelompok-kelompok yang dianggap
potensial dalam menciptakan konflik di masyarakat. Ini terbukti dengan sengaja
dibiarkan Laskar Jihad dan penghembusan isu separatis RMS. Tanpa sadar, negara
sengaja menghadapkan dua kelompok ini hanya untuk melanggengkan konflik di
Maluku. Ketidaktegasan negara berdampak pada terbentuknya hegemoni
kelompok-kelompok itu dalam rangka memperjuangan cita-cita politik masing-masing.
Dalam konstatasi itu, negara memunculkan isu baru, sebagai suatu bentuk justifikasi
hukum untuk melakukan tindakan-tindakan represif terhadap kelompok masyarakat
tertentu. Ironinya ialah, isu itu hanya ditujukan kepada Front Kedaulatan Maluku
(FKM), yang diidentifikasi sebagai penerus ideologi Republik Maluku Selatan (RMS).
Definisi politik terhadapnya adalah gerakan separatis. Negara melupakan bahwa,
setiap kelompok yang memiliki usaha dan ideologi untuk membangun tatanan
kenegaraan di luar amanat Proklamasi 1945, dalam hal ini ideologi yang berdasar
pada nilai salah satu agama saja, itu juga separatis.
2. Malino dan Pasca Malino II: Fakta dan Analisis
Dalam ketidakpastian mengenai masalah Maluku, ada harapan baru yang muncul
melalui Pertemuan Malino II. Walaupun pertemuan tersebut merupakan sebuah
rekayasa politik negara yang terkesan terlalu dipaksakan, namun hasil-hasilnya telah
mengikat negara dan masyarakat dalam suatu kontrak baru, yaitu sinergitas tindakan
untuk menyelesaikan konflik Maluku.
Tindakan-tindakan itu terumus dalam 11 butir kesepakatan Malino yang
ditandatangan oleh komponen masyarakat Salam dan Sarane, dengan disaksikan
oleh Pemerintah (Negara). Kesebelas butir kesepakatan itu memberikan bobot peran
dan tanggung jawab yang lebih besar kepada negara (9 butir tanggung jawab negara
dan 2 butir tanggung jawab masyarakat) untuk menyelesaikan konflik Maluku sesuai
prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Beberapa item hukum itu a.l. pengusutan dan penyelesaian secara hukum terhadap
kelompok-kelompok yang diduga terlibat dalam konflik seperti FKM, Laskar Kristus,
Separatis Kristen, Laskar Jihad. Juga terhadap fenomena gerakan separatis, seperti
RMS.
Kesungguhan hati untuk menjalankan seluruh instrumen Malino II itu disambut oleh
seluruh komponen masyarakat. Hal itu terbukti melalui dilakukannya berbagai
kegiatan sosialisasi hasil-hasil Malino II di kedua komunitas. Walau dinilai prematur,
namun tindakan beberapa kelompok masyarakat Salam dan Sarane melalui Pawai
Damai dan sosialisasi Malino II di kota Ambon, patut disambut sebagai manifestasi
keinginan masyarakat akan kedamaian yang lama dirindukan. Kegiatan tersebut
merupakan indikasi bahwa komunitas Salam dan Sarane di Maluku menjunjung
perdamaian dalam kerangka persaudaraan dan keadilan.
Sayangnya, ada pihak-pihak yang tidak berketetapan hati menyelesaikan konflik
Maluku. Kelompok ini dengan sengaja merusakkan proses sosialisasi damai. Indikasi
ke arah itu terbukti dalam beberapa insiden yang terjadi pasca Malino II, a.l:
¶ Serangan terhadap komunitas Salam Sarane yang melakukan pawai damai pada tanggal
22(?) Februari 2002, di depan Mesjid Al-Fatah, Ambon. Dalam konteks itu, TNI/Polri
sebagai alat negara tidak melakukan tindakan prefentif dan/atau menghalau perusuh
yang mengacaukan pawai damai itu. Ini berarti negara dengan seluruh aparturnya
tidak bersungguh-sungguh menjalankan kesepakatan Malino II. Hal ini
mengindikasikan bahwa negara melakukan tindakan penipuan terhadap rakyatnya
sendiri.
¶ Tanggal 3 April 2002, terjadi pengeboman terhadap warga sipil beragama Kristen di Jl. Yan
Paays Ambon, yang menelan korban 9 jiwa, dan luka-luka, bahkan sampai
diamputasi. Oleh Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri, bom tersebut terdeteksi
sebagai bom dengan skala high explosive. Namun proses pembuktian tentang dari
mana bom itu, serta siapa pelakunya hanyalah kamuflasa politik TNI/Polri. Akibatnya
kasusnya diputar-putar dan bergerak dalam retorika yang kosong.
¶ Sebagai reaksi terhadap peristiwa pengeboman itu, masyarakat yang beragama Kristen
berarak menuju Kantor Gubernur Maluku, untuk menyampaikan penyesalan terhadap
insiden yang terjadi. Namun masyarakat justru dikagetkan oleh nyala api yang keluar
dari bangunan kantor BAPPEDA Maluku. Ironinya, masyarakat kristen dituduh
sebagai pelaku pembakaran tanpa bukti yang berarti. Lebih dari pada itu, kasus
pengeboman sengaja dilupakan, dan pembakaran kantor Gubernur dijadikan sebagai
perhatian pemerintah. Lagi-lagi pemerintah melakuan pengingkaran terhadap
rakyatnya sendiri.
¶ Dalam setting negara, kasus pengeboman itu coba dihindari. Caranya ialah negara kembali
menghembuskan isu Separatis RMS sebagai gerakan separatis yang mengancam
integritas NKRI. Isu itu menjadi semakin gencar bersamaan dengan ditangkapnya
Ketua FKM pada tanggal 22 (?) April 2002, dan antisipasi keamanan secara penuh
menjelang Ulang Tahun RMS, tanggal 25 April 2002. Padahal secara terang-terangan
isu itu merupakan bagian dari usaha pemerintah melakukan politik cuci tangan dari
pengeboman yang terjadi di Jl. Yan Paays pada tanggal 3 April 2002.
¶ Jika gerakan separatis dijadikan fokus perhatian pemerintah, maka sesuai kesepakatan
Malino II, mesti dilakukan upaya-upaya hukum untuk menindak kelompok tersebut.
Ironinya, pemerintah justru tidak menempuh upaya-upaya hukum, melainkan
melakukan aksi terorisme-militeristik terhadap rakyatnya sendiri. Indikasi itu terbukti
melalui penyerangan terhadap masyarakat Negeri Soya pada tanggal 28 April 2002.
Penyerangan yang disertai dengan tindakan pembantaian terhadap rakyat yang tidak
berdosa, yaitu anak-anak berusia 8 bulan dan 4 tahun, para wanita dan manula, di
samping korban luka dan harta benda lainnya. Hal itu merupakan cara-cara teror yang
dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar terlatih. Dari pola yang ada, tampaknya
tindakan tersebut dilakukan oleh Tentara. Ini terbukti melalui berbagai jenis senjata
organik, serta granat dan ranjau darat yang dipasang, dan mortir yang
meluluhlantakan bangunan Gereja Tua Soya. J! uga menurut masyarakat, kelompok
orang-orang bertopeng itu mengenakan seragam tentara, dan bukan orang lokal,
sebab dari dialeknya diketahui mereka adalah orang Jawa.
Secara fisik, Insiden-insiden pasca Malino II, sebagaimana terdata di atas,
merupakan bagian dari usaha genocide, dimana masyarakat Maluku perlahan-lahan
dibunuh dengan cara-cara yang tidak beradab. Pada sisi konstitusional, Malino II
dengan segala instrumen pengikatnya telah gagal. Itu berarti hukum tidak lagi
diterapkan secara lurus mengikuti fondasi-fondasi hukum, yang bersumber dan
berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Kegagalan mana justru terletak pada
ketidakseriusan pemerintah mengamankan hasil-hasil kesepakatan tersebut.
Tampaknya, pemerintah, entah dengan kepentingan politik apa, bermaksud
melanggengkan konflik. Oleh sebab itu, pengibaran bendera RMS pada tanggal 25
April 2002, maupun dengan menggunakan balon gas, dapat dikatakan sebagai
manifestasi dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan masalah
kerusuhan yang tidak jelas dari pemerintah selama ini. Mereka bukan pendukung
RMS, tetapi rakyat yang sudah kecewa terhadap peme! rintahnya sendiri.
Kekecewaan itu termanifestasi dalam sebuah refleksi politik sebagai aksi protes
terhadap pemerintah.
Pemerintah memberikan reaksi negatif terhadap rencana pengibaran bendera RMS
oleh kelompok FKM, dan menuduhnya sebagai gerakan separatis, yang mengancam
integritas NKRI. Tafsiran pemerintah itu dikenakan secara general kepada semua
masyarakat Maluku yang beragama kristen. Artinya pemerintah tidak melihat
munculnya suatu tindakan dari sebabnya, malahan lebih menaruh perhatian pada apa
yang menjadi akibat dari sebab itu. Ironinya, generalisasi RMS itu berakibat pada
tindakan terorisme dan pembantaian, sebagai bentuk pelanggaran HAM terberat oleh
negara terhadap rakyatnya sendiri, yang tidak berdosa.
Rupanya target dari semua tindakan terorisme negara itu adalah penerapan status
Darurat Militer di Maluku (Ambon). Dengan demikian terbaca sudah bahwa tujuan dari
usaha melanggengkan konflik Maluku adalah menambah wilayah Darurat Militer di
Indonesia (di samping Aceh dan Papua). Untuk kepentingan siapa semua ini
diciptakan? Apakah tentara hendak mencari payung hukum untuk melanjutkan aksi
pembunuhan terhadap warga negara yang mesti dilindunginya? Ataukah para elite
belum puas "membagi dan merebut" kekuasaan politiknya?
Sayangnya, diskursus mengenai penanganan Darurat Militer di Maluku tidak dilihat
dari faktor-faktor penyebab yang signifikan. Diskursus seputar Darurat Militer terkesan
didekatkan pada stereotype-stereotype yang adalah akibat dari sebuah sebab yang
besar. Para politisi (DPR dan Partai-partai Politik) dan militer berpegang pada fakta
yang subyektif, dengan terus memanas-manasi isu RMS sebagai biang dari semua
insiden yang terjadi pasca Malino II.
3. Kebulatan Sikap Jaringan Intelektual Maluku se Jawa – Bali
Berdasarkan realitas sebagaimana dipaparkan di atas, Jaringan Intelektual Maluku se
Jawa – Bali, satu hati dan menyatakan sikap :
1. MENUNTUT PERTANGGUNGJAWABAN PEMERINTAH SECARA HUKUM
TERHADAP SELURUH KEGAGALAN MENGAMANKAN HASIL KESEPAKATAN
MALINO II. PERTANGGUNGJAWABAN MANA HARUS DILAKUKAN SECARA
TRANSPARAN DI HADAPAN PUBLIK.
2. MENYATAKAN BAHWA AKSI PENGEBOMAN TERHADAP WARGA SIPIL DI
JALAN YAN PAAYS PADA TANGGAL 3 APRIL 2002, DAN INSIDEN DI NEGERI
SOYA, PADA TANGGAL 28 APRIL 2002, ADALAH BENTUK TERORISME NEGARA
TERHADAP RAKYATNYA SENDIRI.
3. MENUNTUT AGAR PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA MENGUSUT DAN
MENGADILI SECARA TUNTAS DAN TRANSPARAN PARA PELAKU DAN/ATAU
AKTOR INTELEKTUAL (BAIK SIPIL MAUPUN TNI/POLRI) DI BALIK
INSIDEN-INSIDEN PASCA MALINO II SEBAGAIMANA DIMAKSUD DI ATAS.
4. MENOLAK DENGAN TEGAS PEMBERLAKUAN DARURAT MILITER DI MALUKU.
5. APABILA PEMERINTAH TIDAK MELAKUKAN TINDAKAN-TINDAKAN TERSEBUT
DI ATAS, MAKA KAMI MENYATAKAN:
S a t u : BAHWA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TELAH GAGAL DALAM
MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DI MALUKU;
D u a : BAHWA UNTUK MENGHINDARI JATUHNYA KORBAN YANG SEMAKIN
BERTAMBAH, MAKA KAMI MENDESAK PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
UNTUK MENERIMA INTERVENSI DAN BANTUAN PIHAK INTERNASIONAL
(PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA) DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN
MENEGAKKAN HAK-HAK AZASI MANUSIA DI MALUKU.
6. MENYERUKAN KEPADA SELURUH WARGA MAUPUN TOKOH MASYARAKAT
DI MALUKU AGAR TIDAK MUDAH TERPANCING OLEH PROVOKASI DAN
TINDAKAN TERORISME DARI PIHAK MANAPUN YANG DAPAT MEMICU KONFLIK
BARU SEHINGGA MENGAKIBATKAN BERTAMBAHNYA JUMLAH KORBAN
ANAK-ANAK NEGERI MALUKU YANG TIDAK BERDOSA, DAN SEMAKIN
MENYULITKAN UPAYA PERDAMAIAN DI ANTARA SESAMA ORANG BASUDARA.
Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami sampaikan kepada pelbagai pihak yang
berkompeten – baik Pemerintah maupun Non-Pemerintah - sebagai wujud
keprihatinan dan kegelisahan intelektual kami yang sangat mendalam terhadap
realitas penderitaan saudara-saudara kami di Maluku, yang sesungguhnya
merupakan bagian yang utuh dari Anak-Anak Bangsa yang harus memiliki nilai
kesetaraan dalam kedaulatan dan martabat kemanusiaan di Republik ini.
Di Tanah Perantauan Jawa – Bali, 30 April 2002
Kami Yang Bertanda Tangan,
(1) DR. AGUS KASTANYA
(2) DRS. DONALD PETTA
(3) DRS. J. LALAUN
(4) FERRY NAHUSONA, S.Th
(5) MATHEOS SAPTHU, SH
(6) DRS. EDUARD LUTURMAS
(7) DANIEL WATTIMANELA, S.Si
(8) DRS. W. SIHASALE
(9) JACK PURBA, SH, M.Si
(10) RIO LITAAY, S.Si
(11) RUDY RAHABEAT, S.Si
(12) ELIFAS T. MASPAITELLA, M.Si
(13) IZAAK Y.M. LATTU, S.Si
Recieved from TL via MASARIKU NETWORK |