The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Pertemuan Delagasi DPRD Kota Ambon Dengan Komisi DPR RI


Masariku Update, 06 Mei 2002

Pertemuan Delagasi DPRD Kota Ambon Dengan Komisi DPR RI

Dear All,

Saat laporan ini diposting, delegasi DPRD Kota Ambon bersama tokoh-tokoh agama di Maluku dan Walikota Ambon sementara melakukan pertemuan dengan Menko Kesra Yusuf Kala dan staff. Sebelumnya delegasi dimaksud melakukan pertemuan dengan komisi I DPR RI pada jam 14.00, dan dilanjutkan dengan Komnas HAM pada jam 17.00 di kantor Komnas HAM. Pertemuan siang tadi di Komisi I DPR RI diawali dengan penjelasan singkat tentang maksud kedatangan delegasi oleh Ketua DPRD Kota Ambon, Luky Wattimury. Dalam pengantarnya Luky menguarikan maksud kedatangan delegasinya berdasarkan amanat paripurna terakhir DPRD Kota Ambon yg menelorkan tiga surat keputusan. Masing-masing (1) Penolakan terhadap pelaksanaan darurat militer di Maluku umumnya, dan di Kota Ambon khususnya. (2) Gugatan class action terhadap pemerintah pusat dan pemerintah daerah Maluku atas nama rakyat kota Ambon khususnya. (3) Penetapan Malino sebagai produk hukum yg berkekuatan tetap untuk segera dilaksanakan. Menyangkut p! oint 1 menurut Luky yg harus dilakukan adalah evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan darurat sipil di Maluku, dan bukan meningkatkannya menjadi Darurat Militer. Lebih lanjut dikatakan bahwa substansi persoalan bukan pada soal sistem, melainkan pada efektifitas kinerja seluruh unsur pelaksana darurat sipil di lapangan. Untuk itu proses evaluasi yg belum pernah dilakukan pasca Malino II harus segera dijalankan, dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat, atau paling tidak perwakilannya. Adapun wacana darurat militer yg dikembangkan di luar Maluku, lebih menyiratkan ketidak-mengertian orang-orang tertentu terhadap konteks real di Maluku. Dalam percakapannya lebih lanjut dengan tajam Luky mempertanyakan kebijakan pengamanan yg dilakukan oleh kurang lebih 9 batalion terhadap 30 desa adat dan 20 kelurahan yg tersebar di kota Ambon. Bila dibagi 200 personil di setiap desa, maka menurutnya masih tersisa kurang lebih 4000 aparat yg menganggur. Sementara saat ini konflik tak lagi meny! ebar pada seluruh desa dan kelurahan. Paling banyak penyebaran konflik hanya pada 5 % wilayah di kota Ambon. Makanya mengherankan kalau mekanisme pengamanannya tak berjalan sebagaimana yg diharapkan. Selanjutnya menurut Luky apa yg terjadi didalam realitas FKM cenderung dilihat sebagai suatu proses pembiaran untuk menjaga eskalasi konflik. Hal yg sama terjadi pula pada realitas Laskar Jihad.

Walikota Ambon menyampaikan pandangannya segera setelah giliran Luky. Menurut walikota apa yg nampak disana merupakan suatu proses keliru pada manejemen sosial maupun pengamanan. Dalam kaitan dengan manejemen sosial misalnya walikota mengkritik cara pemerintah yg mengucurkan dana bantuan pasca Malino dengan pendekatan sektoral - departemental. Hal ini menurutnya akan menggiring proses untuk terjebak pada pendekatan proyek semata. Seharusnya dibentuk tim terlebih dahulu untuk menentukan apa yg harus dilakukan sebelum dana dikucurkan. Hal ini yg tak terealisasi pasca Malino II. Menurut walikota pendekatan ini tak ubahnya seperti pendekatan gaya orde baru, yg semestinya sudah ditinggalkan. Sementara itu dalam kaitannya dengan manejemen keamanan, dalam nada serupa walikota mempertanyakan proses pembiaran yg dilakukan oleh pemerintah terhadap beberapa elemen pemicu konflik baru. Misalnya terhadap realitas FKM, menurutnya justru pembiaran terjadi disaat LJ mulai kehilangan temp! at di kalangan Muslim Maluku. Hal ini mengentalkan kembali sentimen kelompok yg sangat gampang diprovokasi

Ketua MUI Maluku, Uztad M.Polpoke memperoleh kesempatan ketiga untuk menyampaikan pandangannya. Dengan lantang dan berapi-api uztad Polpoke menyerang proses penegakan hukum yg terjadi selama ini. Baginya sangat mengherankan bila dengan jumlah personil pengamanan sebanyak itu, tak satupun kasus pasca Malino II yg terungkap dalangnya. Harusnya masalah Maluku sudah selesai pasca Malino II tegasnya, tapi dibiarkan rusuh lagi. Pembiaran ini menurutnya dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan tajam ia menyoroti Megawati yg dikatakannya anak seorang terhormat di negeri ini, yg juga pernah diberi gelar Ina Latu oleh rakyat Maluku. Namun bilamana Megawati tak segera mengambil sikap yg pasti dalam penyelesaian Maluku maka "tolong dicatat saya Uztad Abdulah Polpoke yg katakan bahwa Megawati turut menghancurkan Nasrani dan Muslim Maluku".

Menyangkut wacana darurat militer Polpoke menegaskan bahwa rakyat dengan tegas menolaknya. Darurat sipil saja sudah bencana, dan kalau ditingkatkan menjadi darurat militer maka sesungguhnya pemerintah pusat menginginkan hancurnya rakyat Maluku. Supaya setelah itu orang Jawa, orang Sumatera, dll datang dan tinggal di Maluku.

Adapun para pendatang yg mengacaukan Maluku juga tak lepas dari kecaman Polpoke. Menurutnya ada yg datang dengan dalil-dalil agama untuk bilang "perang....perang...perang". "Apa itu orang datang dan komando pertempuran?. Pimpinan macam apa yg terus menyuruh umat berperang?". Dalam lima hukum Islam tak ada perang menurutnya. Perang hanya bisa dilakukan kalau terpaksa. Lebih lanjut ditegaskannya bahwa yang berteriak untuk terus perang, sebenarnya mereka yg kerjanya mengumpulkan uang dari luar negeri. Baik dari Amerika, Eropa, maupun Timur Tengah. Kita orang beragama berasal dari turunan Adam dan Hawa, dan bukan turunan monyet seperti kata Darwin, timpalnya. Karena itu rakyat Maluku bukan monyet. Kalau kami dianggap monyet maka pemerintah juga monyet. Untuk itu perang harus dihentikan, dan tanggung jawab untuk itu ada pada presiden. Kalau masih ada yg mau perang menurutnya baiknya mereka dikirim ke timur tengah untuk membantu Palestina atau Israel saja.

Percakapan selanjutnya dilakukan oleh Uskup Mandagi. Dalam hal ini Uskup tak banyak berbicara. Ia hanya menekankan pentingnya proses penegakan hukum berdasarkan keadilan, kebenaran, dan transparansi.

Pembicara berikutnya adalah Ketua Sinode GPM. Mengawali percakapannya ia mengatakan bahwa setelah Malino sebenarnya telah muncul semacam kesadaran baru bagi masyarakat i Maluku. Sokap untuk melakukan generalisasi semakin hari semakin berkurang. Pada komunitas Kristen misalnya, umat Islam tak seluruhnya lagi dianggap identik dengan Laskar Jihad. Demikian pula pada komunitas Muslim, tak semua umat Kristen dianggap identik dengan FKM ataupun RMS. Jelasnya ada kesadaran untuk membangun kehidupan sosial yg lebih bermartabat. Karena itu apa yg terjadi saat ini membawa kita pada kenyataan bahwa perjanjian Malino cenderung menjadi permainan politik, yg kapan saja bisa dihancurkan bilamana kepentingan seseorang tak terpenuhi. Ironisnya menurut Hendriks, ketika masyarakat mulai sadar justru pemerintah yg tidak serius. Misalnya dalam mengimplementasikan beberapa point penting berdasarkan amanat Malino II. Secara pribadi Hendriks sendiri meragukan penangkapan tokoh FKM maupun Laskar ! Jihad yg dikwatirkan hanya untuk memenuhi sesaat tuntutan masyarakat dan pihak-pihak lainnya. Setelah masyarakat tenang mereka dilepas lagi. Baginya proses hukum harus berjalan sebagaimana mestinya, dan bukan berdasarkan selera masyarakat.

Setelah Ketua Umum Sinode GPM, giliran Sekretaris BIMM, Ir. Nasir Rahawarin MSi menyampaikan sikapnya. Menurut Nasir pada awal konflik semuanya gelap gulita. Saat ini realitas konflik menjadi terbuka dan sangat jelas elemen-elemen pemicunya. Pertanyaannya dihadapan kejelasan demikian justru tak ada suatu solusi yg jelas dari pemerintah, berkaitan dengan penegakan hukum. Kontrol keamanan adalah prasyarat bagi penegakan hukum jelasnya. Karena itu sangat mengherankan bahwa aparat tak sanggup mengendalikan 5 % wilayah konflik di kota Ambon. Ia meminta selanjutnya untuk tidak dengan gampang menyalahkan PDSDM, sementara mekanisme pengamanan harus terus dikoordinasikan oleh Jakarta. Tentang penangkapan Jafar Umar Thalib, menurut Nasir hal itu sesuatu yg wajar-wajar saja. Bila dipahami ketentuan darurat sipil, maka penangkapan Jafar tak perlu dibesar-besarkan. Tinggal bagaimana ia diuji berdasarkan hukum. Bila terbukti bersalah maka ada sangsi hukum. Sebaliknya bila tidak ma! ka harus ada klarifikasi.

Percakapan selanjutnya menjadi memanas dan diwarnai oleh interupsi anggota delegasi. Kondisi ini dipicu oleh argumentasi yg diberikan oleh wakil ketua komisi I DPR RI, ibu Astrid Susanto yg mencoba menekankan pertimbangannya untuk mengusulkan darurat militer. Suasana semakin panas karena salah seorang anggota komisi satu lainnya (pertemuan hanya dihadiri oleh 4 orang anggota komisi I dengan alasan DPR RI sedang reses) menekankan bahwa perundingan Malino dibuat oleh kedua komunitas yg bertikai. Sementara pemerintah hanya hadir sebagai mediator. Hal ini dengan sangat tegas dibantah oleh anggota delegasi, yg menegaskan bahwa pemerintah harus memikul kurang lebih 90 % tanggung jawab dalam proses implementasi Malino II. Oleh karena itu ditekankan tegas fungsi pengawasan yg harus dilakukan oleh DPR RI, untuk setiap saat melakukan evaluasi dan monitoring kinerja pemerintah pasca Malino II.

(bersambung)

MASARIKU NETWORK AMBON


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kariu67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044