The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

MENGAPA 25 APRIL BUKAN 4 DESEMBER ?


MASARIKU NETWORK (Analisa)

MENGAPA 25 APRIL BUKAN 4 DESEMBER ?

25 April 2001

Tanggal 25 April kembali menjadi penting dalam beberapa minggu terakhir ini karena FKM kembali "merencanakan" peringatan proklamasi kemerdekaan RMS dengan cara mengibarkan bendera RMS. Mungkin saja ketika tulisan ini dibaca, aksi itu sudah berlangsung. Tulisan singkat ini dibuat untuk merenungkan fenomena simbolisasi 25 April itu bagi kita yang belum juga terbebas dari konflik dan dampak-2nya.

Ini memang bukan aksi peringatan HUT proklamasi RMS yang pertama di Ambon, dalam situasi konflik. 25 April tahun lalu, peringatan 51 tahun proklamasi RMS dilakukan oleh FKM. Kalau kita sejenak mengingat kembali aksi 25 April 2001 itu, kita catat bahwa sebelum bendera RMS dikibarkan pada kesempatan itu, surat pemberitahuan kegiatan itu telah dilayangkan FKM kepada Presiden RI. Kemudian, di pagi hari 25 April 2001 itu, dr. Alex Manuputty (AM) didatangi Kepala Detasemen Provost Polda Maluku, Kom. Pol. John Maitimu. AM diminta untuk tidak mengibarkan bendera RMS. AM memang mengakui bahwa pada tanggal 23 April 2001 dirinya telah menerima SK Gub. Maluku sebagai PDS yang berisi larangan kegiatan-2 FKM, termasuk kegiatan mengibarkan bendera RMS. Tapi saat itu ia menampik permintaan polisi. Rombongan Provost Polda Maluku kemudian meninggalkan TKP menuju ke kediaman Kapolda Maluku untuk melaporkan jawaban AM. Masa mengiringi mereka dengan teriakan "merdeka!". Setelah mereka pergi, bendera RMS yang telah dipersiapkan sebelumnya bersama bendera merah-putih dan bendera PBB, diambil dari dalam rumah lalu dikibarkan di tiang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Alex Polatu dan Abe Litamahuputty tercatat sebagai penggerek bendera 4 warna ke puncak tiang paling tinggi dari dua tiang yang ada di situ. Semmy Waileruny (SW), Ketua Yudikatif kemudian tampil membacakan naskah Proklamasi RMS yang ditandatangani oleh Manuhuttu dan Wairissal. Sesudah itu AM menyampaikan semacam sambutan.

Selain permintaan polisi untuk tidak mengibarkan bendera RMS di pagi itu, tidak ada catatan tindakan pencegahan lainnya. Malah acara yang berjalan spontan dan lancar itu terkesan "dikawal" sejumlah petugas polisi serta tidak diusik oleh satuan TNI yang bertugas di Ambon. Dalam pemeriksaan polisi, ada diantara para saksi yang menyatakan menganggap aksi pengibaran bendera itu telah direstui Pemerintah ketika melihat sejumlah aparat berada di sekitar TKP. Setelah sekitar 20 menit berada di puncak tiang, pihak Provost Polda Maluku yang kembali ke TKP, bertindak menurunkan ketiga bendera, sambil memberi penghormatan pada bendera merah-putih. Aksi pengibaran bendera itu kemudian membawa AM ke pengadilan. Jaksa menuntutnya 9 bulan penjara untuk tanggungjawabnya sebagai pimpinan eksekutif FKM atas aksinya yang melanggar SK Gubernur Maluku sebagai PDS. Tim pengacaranya menyatakan bahwa FKM – oleh tim pengacara AM – tidak bisa dijadikan subjek hukum, karena organisasi ini ternyata tidak berbadan hukum (tdk memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). AM dan SW juga menolak kecenderungan dalam tuduhan Jaksa bahwa aksi itu direncanakan. Kepada penyidik maupun pengadilan, mereka menyatakan bahwa aksi itu bersifat spontan tidak direncanakan. Bendera dibuat dan dikibarkan oleh masyarakat simpatisan FKM. Artinya, aksi itu tidak direncanakan FKM tetapi terjadi juga karena didukung masyarakat. AM juga menyatakan kepada pengadilan bahwa FKM bukanlah RMS. FKM berbeda dari RMS. FKM disebut sebagai representasi dan manifestasi pelurusan nilai-2 sejarah dan budaya bangsa Maluku serta pelurusan ketetapan internasional yang tidak dapat diganggu-gugat. Tentu yang dimaksud oleh hal terakhir ini adalah RMS.

Beberapa pertanyaan lalu muncul. Kalau FKM bukan RMS, lalu apa? Apakah benar FKM merupakan representasi dan pelurusan nilai-2 sejarah? Dari manakah diperoleh legitimasi itu? Kemudian, siapakah yang menjadikan FKM instrumen internasional untuk meluruskan apa yang disebut sebagai ketetapan internasional? Mengapa FKM menolak diidentikan dengan RMS?

Yang buruk dari pengadilan AM tempohari adalah saksi ahli yang diminta AM untuk memberi kesaksian yang meringankannya, ditolak pengadilan. Pengadilan itu sendiri nampaknya tidak ingin membuka sejumlah tabir yang bisa memperjelas sejumlah petunjuk tentang politik penaklukan Negara terhadap masyarakat Maluku. Di pihak lain, FKM sendiri menggunakan kesempatan lemahnya tuntutan jaksa dipengadilan AM itu untuk bersikap ambivalen. FKM ingin merayakan HUT proklamasi RMS dengan jalan mengibarkan bendera RMS, tetapi tidak bersedia tampil mempertanggungjawabkan "patriotisme" mereka. Masyarakat justru mereka tampilkan mereka sebagai bumper politik dan hukum bagi mereka. Akhirnya, FKM nampak senang menampilkan diri sebagai penjara masa lampau, sekaligus tawanan masa depan bagi masyarakat. Setidaknya hal ini dikesankan oleh dokumen-2 pengadilan AM.

Menyongsong 25 April 2002

Mari kita renungkan sejumlah perkembangan menuju 25 April 2002. Laporan Crisis Center Keuskupan Amboina menyatakan bahwa dalam beberapa hari terakhir ini terasa adanya peningkatan ketegangan dalam masyarakat. Ada satu-dua truk bermuatan anak-2 muda melintas di jalan-2 dalam kawasan Kristen sambil menyanyikan lagu "Laskar Kristen". Sebelumnya, sepasukan TNI/AD hendak membuka pos di wilayah Kudamati, di sekitar depan RSU, dekat markas Coker. Niat ini kemudian ditolak masyarakat sehingga pasukan itu akhirnya berpos di wilayah lereng Gunung Nona, sekitar 3 km dari lokasi yang direncanakan semula.. Minggu lalu, Semmy Waileruny, SH yang menjabat Pimpinan Yudikatif FKM, dijemput di rumahnya oleh Tim Penyelidik Gabungan bentukan PDS, dengan cara-2 yang dibikin dramatis. Semmy lalu ditahan 2 hari di Pomdam, bukan Mapolres/Mapolda. Bagi saya, bukanlah soal apakah hal itu sesuai dengan aturan-2 darurat sipil atau tidak, tapi pada opini masyarakat luas, Semmy sedang mengalami perlakuan tidak adil di satu pihak dan di pihak lain rencana-2 aksi FKM menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Terhadap hal ini, FKM Jakarta diketahui mengirim berita penahanannya ke berbagai pihak sambil minta perhatian atas indikasi pelanggaran HAM. Meskipun ini bukan kasus pelanggaran HAM Berat, perhatian untuk kasus ini dimintakan juga dari lembaga-2 internasional. Setelah Semmy dilepas, opini terus dibangun dengan penahanan Alex Manuputty, lengkap dengan tiang bendera yang katanya akan digunakan tgl. 25 April nanti. Kabarnya sebelum ditangkap (terlepas dari harus-tidaknya penangkapan itu), AM masih minta ijin menelepon seseorang di Nederland untuk memberitahu situasi ini. Menjadi lengkaplah peran pembentukan opini tadi ketika pihak penangkap dan yang ditangkap sama-2 memainkan peran pembentuk kondisi konflik. Stasiun-2 TV nasional turut melibatkan diri dalam proses ini. Dari segi peran, baik negara maupun FKM sama-2 diuntungkan oleh kondisi ini. Tapi apa yang bisa diraih masyarakat Maluku dari situasi ini?

Menurut berita yang beredar di masyarakat, pengibaran bendera kali ini akan dihadiri oleh sejumlah perwakilan negara asing dan pejabat PBB. Ini mungkin target lobby yang dilakukan perwakilan FKM di USA dan Belanda. Sejumlah kawan di luar negeri menginformasikan juga bahwa beberapa minggu lalu perwakilan FKM di USA (Helmi Wattimena) dan Nederland (Umar Santi) mengedarkan sebuah proposal tentang rencana penyelenggaraan sebuah kegiatan yang disebut sebagai Kongres Rakyat Maluku di Ambon. Menurut sumber yang sama, proposal itu sekaligus merupakan sarana penggalangan dana untuk mendukung Kongres tersebut. Tidak jelas sekarang, kapan, dimana dan siapa saja yang nanti akan hadir dalam kongres itu. Sumber-2 di Ambon juga menginformasikan tentang kedatangan Umar Santi, pimpinan perwakilan FKM Nederland ke Ambon (Tulehu) beberapa waktu lalu. Selain itu, cukup banyak kaos berlogo atau berbendera atau berslogan khas RMS yang beredar dan digunakan anak-2 muda di Ambon.

Apakah rencana pengibaran bendera itu pasti dilaksanakan? Banyak teman di Ambon -- yang setuju maupun tidak -- yakin, pastii. Sejumlah keluarga – terutama perempuan dan anak-2 --yang berdomisili di sekitar Lorong PMI, Kudamati, markas FKM di Ambon dikabarkan memilih menyingkir dari sana karena kuatir ulah FKM akan menimbulkan akibat-2 kekerasan terhadap mereka. Apakah perwakilan negara asing atau PBB akan hadir? Jawabnya, tidak jelas. Tapi, berbagai media telah memberitakan adanya larangan terhadap orang asing memasuki Ambon oleh Penguasa Darurat Sipil. Karena larangan ini berdekatan dengan tgl 25 April maka spekulasi menguat tentang hubungan pelarangan tersebut dengan rencana pengibaran bendera RMS. Sementara itu, beberapa perwakilan negara asing (Eropah dan USA) yang dihubungi di Jakarta, menyatakan tidak jelas mengenai rencana FKM itu. Sekiranya perwakilan FKM Jakarta melakukan kontak kontinyu dengan mereka dan jika mereka diundang oleh FKM, maka dapat diperkirakan bahwa -- dalam situasi normal -- masalah mereka terletak pada bagaimana menyikapi rencana pengibaran bendera RMS ini dalam kaitan dengan kesantunan hubungan diplomatik mereka dengan Indonesia sebagai negara sahabat. Mereka tentu paham bahwa kasus yang secara resmi dikategorikan Pemerintah sebagai masalah separatis di dalam negeri Indonesia, barulah kasus Aceh dan Papua. Meskipun ada usaha pihak-pihak tertentu untuk mencuatkan sifat separatis pada masalah Maluku, sampai saat ini belum ada keputusan politik yang memastikan masalah Maluku sebagai masalah separatis. Apakah aksi pengibaran bendera RMS nanti akan mengarah pada tersedianya momentum bagi penyifatan separatisme, kemungkinan itu tak bisa ditampik.

Satu hal yang terasa menguntungkan FKM adalah sampai hari ini belum ada laporan bahwa masyarakat – khususnya di komunitas Kristen – menunjukan reaksi-2 menentang rencana pengibaran bendera ini kecuali satu-dua tokoh yang bersuara keras menentang niat FKM. Apakah ini berarti masyarakat mendukung? Belum tentu. Sebab trauma konflik dan komitmen konsolidasi diri yang hidup di masyarakat masih menjadi kendali yang menahan mereka untuk tidak membuka konfrontasi dengan FKM.

Isu Separatis

Tanpa diduga sebelumnya, Ketua Umum PB NU, KH Hasyim Muzadi yang beberapa hari lalu pergi ke Ambon, mengatakan kepada Pers menjelang akhir minggu lalu bahwa akar konflik Maluku adalah adanya gerakan separatis. Saya pribadi sangat terkejut membaca statement ini, setidaknya karena saya mengetahui dua hal. Pertama, beliau tidak punya kapasitas sebagai penyelidik konflik Maluku dan bukan untuk itu beliau pergi ke Ambon; Kedua, karena juga diketahui bahwa keberangkatan beliau -- yang disertai oleh pemuka agama Protestan dan Katolik -- dimaksudkan untuk bertemu dan memberikan dorongan pada umat beragama di Ambon dalam rangka penguatan/penebalan komitmen penghentian kekerasan serta perdamaian, sebagaimana yang disepakati di Malino. Secara tepat bertumpang-tindih, pernyataan Ketua Umum PB NU ini dipublikasikan ketika masyarakat di Ambon sedang mengkuatirkan reaksi-2 yang bakal muncul jika aksi pengibaran bendera RMS jadi dilakukan. Hal ini mengakibatkan pernyataan tersebut secara konotatif mengungkapkan pesan yang langsung memberi makna pada rencana pengibaran bendera 25 April 2002. Apakah hal ini tidak diketahui Muzadi ?. Selanjutnya, pernyataan ini juga – sadar atau tidak – membuka kemungkinan bagi aksi-aksi kekerasan oleh negara yang bakal terjadi sebagai reaksi atas pengibaran bendera RMS nanti. Ini yang ironis, karena sementara beliau berkeinginan memperkuat umat untuk menjauhi aksi-2 kekerasan, pernyataan beliau mengakibatkan terbukanya "pintu belakang" bagi kekerasan negara, yang pasti akan bermuara pada sebuah lingkaran setan kekerasan. Kita sudah tahu apa yang biasanya terjadi jika isu separatis diusung oleh negara. Laporan mengenai terbakarnya Kantor Gubernur Maluku telah memnggambarkan bagaimana satuan Kopasus yang bertugas saat itu mendorong gumpalan massa menjauhi areal yang terbakar dengan senjata sambil mengancam masyarakat dengan tuduhan RMS.

Seakan-akan telah dirancang, menyusul pernyataan Muzadi, Kapuspen TNI, Safrie Syamsudin menyatakan kepada pers bahwa 1800 prajurit TNI di Ambon siap memberantas separatisme. Kemudian seorang pimpinan Muhammadyah mengimbau warga Muhammadyah di Maluku supaya tidak melibatkan diri dalam gerakan separartis. Terakhir, muncul pernyataan dari Menko Kesra, Jusuf Kalla, bahwa pimpinan agama sudah menyatakan apa yang menjadi akar konflik Maluku. Pernyataan terakhir ini menjelaskan beberapa hal yang tersembunyi sebelumnya. Dengan menghormati integritas pak Ketua Umum PB NU, harus dikatakan bahwa kali ini beliau terjebak dalam skenario Jusuf Kalla yang membiayai perjalanan para pemimpin agama itu ke Ambon. Jusuf Kalla rupanya sedang mengalami kemacetan tertentu dalam mendorong implementasi kesepakatan Maluku di Malino. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa kemacetan itu terjadi karena sejumlah "dukungan" mengendur, setelah speed Jusuf Kalla dinilai terlalu cepat, melebihi speed yang mereka gunakan. Secepat-cepatnya speed Jusuf Kalla untuk mengimpelemtasi Malino, dia tampak tak mungkin melakukan semua hal yang diinginkannya, Dia tak kunjung memperoleh dukungan Presiden dalam bentuk pemberian dasar-2 yuridis bagi kesepakatan Malino yang merupakan formula moral itu. Bahkan dalam hal penggunaan 300 milyar yang digembor-gemborkannya sebagai bantuan untuk Maluku itu, belum satupun korban konflik Maluku yang merasakannya.Dia juga nampak terhambat memperoleh pengertian Menko Polkam serta Panglima TNI untuk memperlancar back-up terhadap langkah-2 Jusuf Kalla dari komponen-2 yang dikuasai mereka. Hal ini yang juga berperan dalam memperlambat pembentukan badan independen untuk meng-investigasi sejumlah hal "misterius" yang telah diidentifikasi di Malino. Yang terakhir, sumber-2 kami menyatakan bahwa saat ini ada tim kecil dari Kantor Presiden RI memasuki Ambon dengan tugas menyelidiki kesalahan-2 langkah Jusuf Kalla dan akibat-2nya sebagaimana nampak di tengah masyarakat. Semua ini setidaknya membuat Jusuf Kalla menjalankan taktik baru yang diharapkan dapat menyelamatkan diri dan ketokohannya dalam kasus perundingan Malino untuk Maluku. Ia tampak memilih cara menjawab keinginan TNI untuk tetap memperoleh legitimasi keberadaan pasukan dalam jumlah besar di Ambon, di samping peran-2 TNI lainnya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan konflik Maluku. Taktik yang agak kasar inilah yang menyata dalam wujud pernyataan Muzadi mengenai separatisme.

Dengan demikian, jika aksi pengibaran bendera RMS berlangsung, aksi itu telah diberi tempat yang layak dalam skenario separatisme yang secara sistematis dibangun sekarang. Rencana sistematis ini telah memperlihatkan buahnya berupa pembentukan opini nasional. Selain aksi-2 pembentukan opini ini akan terus berlangsung, gerakan FKM yang diniatkan berlangsung tanpa kekerasan fisik itu hendak diarahkan menjadi aksi dengan kekerasan, baik kekerasan politik maupun kekerasan fisik. Aparat keamanan yang dikoordinasi Penguasa Darurat Sipil kali ini tidak hanya meminta AM dan FKM mengurungkan niat mengibarkan bendera seperti yang terjadi tahun lalu. Mereka melakukan tindakan pencegahan dengan menangkap AM sekaligus tiang bendera dan bendera yang akan digunakan. Kalau tindakan ini dilawan dengan tetap mengibarkan bendera maka menurut hemat saya indikasi kekerasan politik FKM dalam kasus ini – dan dilihat dengan kacamata keamanan -- menjadi kentara secara perlahan-lahan. Selain itu, ada dua orang yang tertangkap membawa granat ketika kelompok orang (sekitar 100 orang) berdemo ke Mapolda memperotes penahanan AM. Mereka ternyata adalah anggota Kopassus (yang pasti disebut sebagai desertir). Sayangnya mereka dilepas setelah diserahkan ke tangan Panglima Kodam. Untung saja, granat itu tidak diledakan. Tapi pertanyaan kritisnya adalah apakah kelompok yang berdemo mendukung AM itu tidak tahu bahwa mereka sedang disusupi ? Banyak diantara kita yang berpengalaman mengorganisasikan demonstrasi pasti tahu bahwa dalam pengorganisasian sebuah demo tanpa kekerasan, keharusan mencegah penyusupan anasir-2 asing ke dalam massa yang melakukan demonstrasi adalah hal mendasar. Hal ini tampak dilalaikan oleh dr Noke Mailoa yang diinformasikan memimpin demo pro AM ke Mapolda minggu lalu. Atau, jangan-2 mereka tahu sedang "dikawal" oleh oknum Kopasus tetapi tidak tahu bahwa kedua oknum itu membawa granat, dan bisa tertangkap. Tertangkapnya dua orang itu bisa jadi sejenis rahmat untuk FKM, tapi bisa juga menjadi sejenis kutuk.

Isu separatisme yang umumnya dilekatkan pada komunitas Kristen akhirnya akan effektif berfungsi sebagai pemelihara dan pelanggeng kondisi konflik, baik konflik internal di kalangan komunitas Kristen maupun konflik antar komunitas Islam dan Kristen. Hal ini sesungguhnya bisa dicegah, jika diingat bahwa Gereja Protestan Maluku telah berulang-ulang mempertegas sikapnya menolak separatisme dalam bentuk apapun. Hal ini juga bisa dicegah seandainya Tim Investigasi Nasional segera dibentuk sesuai keinginan perundingan Malino. Lebih lanjut, hal ini bisa dicegah jika Jusuf Kalla tidak over-confidence dengan perundingan Malino dan langkah-2 implementasinya. Saya pribadi merasa berkepentingan dengan perundingan Malino, karena ia adalah prakarsa penghentian kekerasan pertama yang dilakukan oleh Pemerintah RI. Dia juga bisa menjadi salah satu tolok ukur untuk menilai apakah Pemerintah serius menangani konflik masyarakat demi kemaslahatan masyarakat sendiri atau karena Pemerintah berkepentingan membangun suatu penilaian politik yang menguntungkan dirinya, sebagaimana telah dikemukakan dalam berbagai komentar oleh banyak orang di milis ini. Saya pribadi juga berharap, proses dan hasil Malino bisa memperkuat berbagai prakarsa yang sebelumnya dilakukan oleh kelompok-2 masyarakat untuk menghentikan kekerasan. Sementara indikasi implementasi Malino tidak kunjung menyata -- kecuali sosialisasi penghentian kekerasan yang sesungguhnya merupakan suatu kelanjutan tindakan kooptasi negara terhadap masyarakat Maluku – kita diperhadapkan kini dengan kecenderungan tuduhan separatisme.

Proklamasi dan Pembubaran RMS

Jika kini kita bisa dengan mudah menduga alasan-2 di balik munculnya isu separatisme (bukan hal baru di Maluku) yang dihubung-hubungkan dengan FKM, kita dapat pula bertanya, mengapa FKM tidak memperhatikan hal ini ? Isu separatisme yang kembali mengemuka saat ini adalah isu yang juga dimunculkan pada tiga bulan pertama kerusuhan (Januari-Maret 1999). Saat itu Rustam Kastor menjadi tokoh terkemuka yang melancarkan tuduhan bahwa RMS dan gerakan separatis berada di balik konflik Maluku. Lalu sejumlah media cetak yang terbit di Jakarta bergotong-royong mengusung isu ini ke permukaan, sebagai salah satu masalah pokok konflik Maluku. Jika isu ini sejak awal dikehendaki sebagai pelanggeng konflik Maluku dan telah ditolak oleh berbagai komponen masyarakat Maluku, di dalam dan di luar Maluku, mengapa FKM harus "membiarkan dirinya" menjadi sarana pemunculan kembali isu ini? Mengapa seakan-akan FKM hanya berkepentingan dengan eksistensi dirinya dan perannya sehingga nampak melalaikan pertimbangan tentang implikasi-2 politik yang bakal ditanggung masyarakat Maluku akibat perbuatannya? Jangan disalahkan jika ada orang yang sangat kesal terhadap ulah FKM sehingga mengkategorikan FKM sebagai sebuah avonturisme politik.

Kajian mengenai konflik Maluku berdasarkan data-data konflik dan analisis teori konflik mampu menunjukan bahwa yang berkepentingan dengan konflik Maluku antara lain adalah TNI. Ada kelompok-2 TNI yang bekerja secara sangat tertutup. Kelompok-2 inilah yang berkepentingan atau turut berkepentingan dengan perundingan Malino, dengan penolakan hasil atau delegasi Malino, dengan kehadiran dan peran Laskar Jihad dalam konflik Maluku, dengan FKM dan dengan reaksi-2 anarkhis masyarakat sebagaimana hendak dikesankan oleh terbakarnya kantor Gubernur Maluku. Sumber kami yang dapat dipercaya menyatakan, sedikitnya terdapat 1 batalyon Kopassus dari grup Sandi Yudha (teror - anti teror) yang merembes masuk dari pulau-2 di luar p. Ambon, sedikitnya dalam kurun waktu 6 bulan terakhir ini. Kekuatan ini terpisah dari jumlah Kopasus yang masuk secara resmi dan bertugas Ambon. Kekuatan ini hanya memperoleh komando dari Jakarta dan tidak bertanggungjawab kepada siapapun di Ambon. Kemudian, ada NR, perwira TNI/AD dari Kantor Wapres yang hadir di Malino kemudian masuk ke Ambon sebelum demo damai tanggal 3 Maret 2002 berakhir dengan kekacauan. Ada Jenderal Suaedi Marasabessy yang selalu meyakinkan orang bahwa ditangannya atau dia mengetahui adanya dokumen-2 tentang RMS, tapi tidak pernah membeberkannya untuk ditangani secara hukum dan politik. Padahal dia pernah memimpin Tim 19 bentukan Panglima TNI, Wiranto, yang konon hendak menyelesaikan konflik Maluku. Ada juga Murad, seorang perwira polisi yang membongkar rumah sebuah keluarga di Silale/Waihaong dan menyatakan menemukan dokumen tentang RMS. Sampai kini tidaklah jelas apakah itu dokumen politik atau dokumen sejarah.

Sukar dibantah bahwa 25 April telah menjadi "hari penting" baik demi keuntungan Pemerintah, keuntungan para avonturir politik di tengah konflik Maluku maupun keuntungan FKM. Apa yang tersisa bagi rakyat Maluku. Sebagai rakyat, yang tertinggal hanyalah sebuah kisah yang jarang dikemukakan orang di tengah situasi seperti sekaang ini.

Seorang saksi pelaku yang masih hidup bertutur tentang saat-2 terakhir Soumokil, pemimpin tertinggi RMS hingga tahun 1963. Setelah Pemerintah Jakarta dan TNI mengalami kesulitan menangkap Soumokil yang berada di Gunung Sembilan, Seram, Gubernur M. Padang lalu meminta Ketua Sinode GPM, Pdt. Th. Pattiasina untuk menyurati Soumokil agar beliau menyerah. Surat itu lalu dibuat Pdt. Thom Pattiasina dan disampaikan kepada Soumokil di persembunyiannya. Sejak itu, Soumokil lalu memberi isyarat akan menyerah. 3 Desember 1963, Soumokil kemudian "dijemput" turun ke Masohi. Tanggal 4 Desember 1963, setelah Soumokil tiba di Ambon, beliau lalu menandatangani pernyataan tentang pembubaran RMS. Lalu mengapa 25 April menjadi lebih penting ketimbang 4 Desember 1963??

Salam,

dqm

MASARIKU NETWORK


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kariu67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044