The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

[Parliament Watch] Mengapa Ambon Menggugat Jakarta


Media Indonesia, Selasa, 14 Mei 2002

[Parliament Watch] Mengapa Ambon Menggugat Jakarta

KEWAJIBAN tertinggi pemerintah dalam sebuah negara modern adalah memberikan rasa aman kepada warga negara. Rasa aman, karena warga negara dilindungi hak asasinya. Terlebih lagi rasa aman karena warga negara dihindarkan dari kemungkinan dianiaya secara kolektif atau dibunuh secara massal. Tapi, rasa aman ini sudah hilang dari Kota Ambon selama lebih dari tiga tahun.

Dalam era reformasi, Indonesia telah mempunyai tiga presiden tapi konflik berdarah di Ambon terus terjadi. Sudah 15 ribu rumah yang terbakar dan lebih dari 1.200 nyawa melayang. Berapa banyak korban lagi yang kita tunggu?

Karena itulah 35 anggota DPRD Ambon dan 43 DPRD Maluku datang ke Jakarta menggugat pemerintah pusat agar lebih serius menangani kasus Ambon. Mereka mengingatkan, bahwa warga negara di Ambon sebagaimana di wilayah lainnya juga berhak untuk menikmati rasa aman di negerinya sendiri. Mereka mengadu kepada Komisi I DPR, bahwa pascapenandatanganan Kesepakatan Malino II terjadi serentetan ketegangan dan pembunuhan, serta buruknya kinerja aparat keamanan.

Di Ambon sudah ditempatkan sembilan batalyon TNI dan 10.000 personel Polri. Padahal penduduk Ambon kurang dari 300 ribu orang. Titik rawan konflik hanya 30, jika pada satu titik rawan ditempatkan 200 personel masih tersisa 4.000 personel. Nyatanya sudah tiga tahun aparat masih tak mampu mengendalikan Kota Ambon yang lebih kecil dibandingkan sebuah kecamatan di Jakarta. Apa yang salah dengan pemerintah pusat?

Tapi, apa pun kendalanya, pemerintah pusat memiliki kekuasaan untuk memengaruhi konflik berdarah di Ambon. Pemerintah pusat harus terus ditekan agar tidak lalai menjaga warganya baik yang hidup di Jakarta, Ambon, ataupun wilayah lainnya. Akankah dalam waktu dekat Ambon kembali damai. Apa yang harus dilakukan pemerintah pusat?

Pada acara diskusi interaktif Parliament Watch akhir pekan lalu, pemandu Denny JA PhD bersama Menhan Matori Abdul Djalil, Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong, dan Wakil Ketua DPRD Maluku John Mailoa, menyoal ketidakmampuan pemerintah pusat menanggulangi kerusuhan yang tak kunjung padam di Maluku.

John Mailoa menilai pemerintah pusat tidak serius menangani masalah di Ambon. Dia meminta keseriusan pemerintah pusat terhadap masalah Maluku yang tidak pernah selesai. Untuk itu, DPRD Maluku dan Ambon melakukan pendekatan kepada pemerintah yang bertanggung jawab terhadap kerusuhan di Maluku.

Selama ini pemerintah lebih banyak mendelegasikan kepada daerah dalam penyelesaian Maluku, padahal penanganan oleh pemerintah daerah dirasakan tidak baik. Akibatnya masyarakat Ambon tidak pernah merasakan kedamaian dan selalu dalam rasa ketakutan akibat tidak berjalannya penegakan hukum. Selain itu, tidak terlihat adanya suatu tindakan yang tepat, cepat, dan tegas, yang kemungkinan karena dibayangi rasa takut pada pelanggaran HAM. Kelalaian ini yang dinilai oleh John sebagai penyebab lebih dari 1.000 warga mati percuma, juga mereka yang mengalami luka-luka dan menderita dalam pengungsian.

Kendati DPRD Maluku dan Ambon sudah memberikan sorotan kepada Penguasa Darurat Sipil (PDS) Maluku, tetapi pada dasarnya yang bertanggung jawab pemerintah Indonesia, karena bertolak dari keputusan Malino II yang dibangun pemerintah pusat. Keputusan itu 90% merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, tidak cuma mendelegasikan tugas kepada Gubernur Maluku dan pembantunya sebagai PDS daerah. Dia berharap pemerintah pusat dapat memberikan rasa aman kepada rakyat Maluku dalam jangka pendek, dengan menghentikan kerusuhan selama ini. Kemudian proses penyelesaian, pembangunan kembali, dan pengembalian pengungsi.

Sementara itu, Matori Abdul Djalil mengingatkan bahwa dalam suasana mencekamm orang bisa menjadi bingung kemudian mempersalahkan orang lain. Padahal, masalah Ambon sudah terjadi cukup lama (sejak 19 Januari 1999), sedangkan Megawati baru terpilih menjadi presiden pada 2001. Sementara pemerintah ketika menghadapi masalah itu sudah dalam keadaan yang sangat ruwet. Pemerintahan Presiden Megawati baru mulai tahun 2001. Ini satu persoalan yang perlu dimengerti, ditambah lagi suasana reformasi sekarang ini, kadang-kadang kehendak untuk mendemokratisasikan bangsa dalam waktu yang sekejap. Sehingga segala sesuatu ada kekhawatiran terjadinya pelanggaran hak asasi dan sebagainya. Aparat keamanan menjadi sangat berhati-hati melakukan langkah, tapi mungkin dikira jadi agak lambat. Namun, di dalam rangka menjaga ketertiban dan keamanan ini pemerintah melaksanakannya dengan serius, dapat dipertanggungjawabkan secara hukum oleh pemerintah. Tetapi, penegakan hukum tetap menjadi prioritas bagi pemerintah. Dalam suasana serbasulit seperti di Ambon, pemerintah dihadapkan pada persoalan-persoalan yang tidak gampang untuk mengambil keputusan.

Menyangkut sulitnya koordinasi antara polisi dan gubernur, menurut Matori berkaitan dengan masalah perundang-undangan. Misalnya pada Tap VII MPR, bahwa keamanan dalam negeri itu sepenuhnya menjadi wewenang kepolisian. Terhadap ancaman dalam negeri, TNI baru melakukan langkah manakala pihak kepolisian memutuskan perlu bantuan.

Sementara itu, Ibrahim Ambong mengatakan, DPR meminta Menteri Polkam beserta jajarannya, Mendagri, Menhan, serta Komisi II DPR untuk mengatasi keruwetan dan kesan lamban pihak pemerintah. Dalam perundingan Malino II, Ambong menyayangkan belum semua pihak diundang ikut dalam perundingan. Bahkan perundingan informal belum juga terjadi, sehingga pihak Komisi I DPR cukup kepayahan menghadapi masalah ini.

Menurut Ambong banyak pihak optimistis terhadap Deklarasi Malino II, akan tetapi dia menyayangkan bahwa pelaksanaan ke bawah tidak berjalan karena antara politikus dan militer tampak kurang sejalan. DPR sudah meminta agar aparat keamanan bertindak tegas terhadap gerakan separatis.

Mengenai penangkapan Ja'far Umar Thalib dan Alex Manuputy harus bisa dibuktikan secara hukum, sehingga orang benar-benar merasakan adanya penegakan hukum. Apabila nantinya ternyata salah tangkap maka akan menjadi masalah baru. Oleh karena itu, pemerintah harus bisa mengemukakan bukti-bukti terhadap kedua tokoh itu. ''Kalau RMS, tidak perlu diragukan lagi, karena sudah menaikkan bendera, serta membakar kantor gubernur. Jadi, harus ditindak tegas.

Menanggapi penyelesaian konflik dan pergantian Pangdam dan Kapolda, Matori mengatakan, untuk menghadapi suara miring dari pihak yang memperjuangkan HAM, tindakan pemerintah harus disertai payung politik dan hukum. Sebagai contoh, ketika polisi dan tentara mengambil tindakan terhadap Ja'far Umar Thalib, sekalipun jelas dasar hukumnya namun kesan yang timbul dalam masyarakat seakan polisi atau tentara melakukan langkah atas kemauan sendiri. Dalam hal ini Matori meminta agar tidak berprasangka terhadap TNI/Polri, untuk kemudian mengusulkan pergantian dan pergeseran sebelum lebih jauh melihat latar belakangnya.

Soal kepemimpinan Kapolda dan Pangdam di Maluku menurut John pada masalah koordinasi, karena Gubernur/PDS di Maluku mempunyai pemahaman yang berbeda dengan pembantunya Pangdam dan Kapolda. Sementara untuk melaksanakan tugasnya sebagai PDS, Gubernur tidak mendapat petunjuk operasional, sehingga penanganan masalah Maluku dalam kerusuhan dan konflik tidak sistematis.

Sebagai solusi terhadap konflik di Maluku, John mengajukan hanya satu, bahwa pemerintah harus bertindak tegas. Sedangkan kepada aparat yang di-BKO-kan ke Ambon harus benar-benar bertindak netral.

John mengakui, konflik yang pelik di Ambon saat ini sudah berbasis pada pemeluk Kristen dan Islam. Permusuhan yang demikian amburadulnya belum pernah terjadi sebelumnya, karena orang Maluku baik Islam maupun Kristen sangat kuat rasa persaudaraannya. Tetapi, saat ini pertahanan demikian rapuh, dan masyarakat menjadi sangat rentan terhadap hasutan-hasutan. Ironisnya lagi, bukan hanya masyarakat sipil yang bermusuhan, tetapi aparat TNI dan Polri juga sudah terpecah belah.

Pemerintah pusat mempunyai kekuatan untuk mengatasi perpecahan tersebut, sehingga tidak perlu sampai terjadi intervensi pihak-pihak asing dalam penyelesaian konflik Maluku. ''Dulu, pertengkaran dapat diselesaikan dengan mudah, secara intern. Tapi, dalam kondisi seperti sekarang, sangat sulit bila pemerintah pusat tidak turun tangan,'' ungkap John.*** (Rasyid Sulaiman/A-1)

Copyright © 1999-2001 Media Indonesia. All rights reserved.
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kariu67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044