Media Indonesia, Rabu, 15 Mei 2002
[EDITORIAL] Dari Menara Gading Pindah ke Maluku
MALUKU kembali berdarah-darah. Kali ini, terjadi baku tembak antara Brimob dan
Kopassus--aparat yang seharusnya menegakkan ketertiban dan memulihkan
keamanan. Maka, lengkap sudah keruwetan di Maluku. Di Republik ini!
Semua itu, jelas memperlihatkan betapa buruknya slagorde keamanan bekerja dan
berkoordinasi. Lagi-lagi, aparat keamanan bukan bagian solusi, tetapi justru menjadi
persoalan itu sendiri.
Dengan aparat keamanan semacam itu, betapapun hebatnya butir-butir perjanjian
Malino II, semua itu hanya sampah belaka. Sampah, karena hanya omong kosong,
hanya bagus di mulut dan di atas kertas. Di lapangan, kenyataannya, aparat
keamanan bukan saja tidak mampu mengatasi masalah keamanan, malah menjadi
faktor yang harus ditindak dan dibersihkan dahulu.
Itulah paradoks yang terjadi. Untuk menjadi aman, amankan dulu aparat keamanan.
Setelah itu, barulah keamanan di sana dapat ditegakkan.
Konflik di Maluku telah berlangsung tiga tahun lebih. Hari-hari terakhir ini, konflik
bukan semakin reda, malah menjadi-jadi. Apa pasal? Salah satu kemungkinan,
karena Menko Polkam dan jajarannya tidak cakap bekerja. Yaitu, tidak mampu
melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Bahkan, lebih dari itu, justru
aparatnya sendiri yang saling bunuh, saling menghabisi.
Kemungkinan lain karena jauhnya jarak Jakarta-Ambon. Di lain pihak, perkembangan
keadaan di sana, dari detik ke detik, terlalu cepat berubah. Akibatnya, Menko Polkam
mendapat laporan yang basi, atau salah, atau asal bapak senang. Dan, salah atau
terlambat mengambil keputusan.
Demikianlah, sementara Menko Polkam dan jajarannya asyik membahas konflik
Maluku di Jakarta, nun jauh di lapangan, di Maluku sana, keadaan telah berkembang
berbeda dengan ihwal yang asyik dibahas di Jakarta. Bagaikan membahas judi togel,
ramai tapi tidak pernah kena. Bandar tetap yang lihai, bandar tetap yang menang.
Menko Polkam dan jajarannya, di Jakarta, bagaikan melihat persoalan dari menara
gading. Dari ketinggian, dari kejauhan. Akibatnya, kehilangan presisi, kehilangan
kemampuan membumi, kehilangan efektivitas. Itulah sebabnya, konflik Maluku tidak
kunjung selesai. Bahkan semakin menjadi-jadi.
Karena itu, agar keputusan yang diambil tidak salah, agar laporan yang diterima
benar dan faktual, agar cepat mengambil tindakan, kita anjurkan agar Menko Polkam
dan jajarannya sebaiknya pindah saja ke Maluku. Maka, semua persoalan berada di
depan mata, di depan hidung. Semakin dekat para penguasa polkam itu dengan
persoalan, kita harap, semakin benar pula tindakan yang diambil.
Menko Polkam boleh mempertimbangkan untuk tidak sendirian di sana. Bawalah
serta secara bergantian, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri. Berkantorlah
di Maluku, hiduplah di tengah persoalan, di tingkat masyarakat, sehingga tahu benar
apa yang terjadi.
Setelah Maluku selesai, damai tercipta, jangan kembali ke Jakarta. Menko Polkam
pidah lagi ke daerah yang keamanannya bermasalah. Begitulah, jajaran Menko
Polkam sebaiknya berkantor berpindah-pindah. Sebab, Jakarta telah membuat
mereka mandul.
Copyright © 1999-2001 Media Indonesia. All rights reserved.
|