Media Indonesia, Selasa, 30 April 2002
EDITORIAL: Kenapa Ambon Terus Dibiarkan Berdarah?
KENAPA Ambon dibiarkan terus berdarah? Mungkinkah kobaran api dendam di pulau
itu tidak bisa dipadamkan? Atau, mungkin, ada pihak-pihak yang memang terus
menyulut api agar Ambon terus terbakar?
Jika kemungkinan terakhir itu benar, alangkah jahanamnya keinginan seperti itu.
Alangkah hitam hati orang-orang yang menghendaki pembantaian terus abadi.
Minggu (28/4) subuh, misalnya, pembantaian yang sadis itu terjadi lagi. Kali ini di
Soya, desa yang selama kerusuhan di Ambon terjadi tidak terjamah amarah. Belasan
nyawa di Minggu subuh itu dihabisi orang-orang tidak dikenal. Tetapi, para pembantai
itu, yang pasti, sesama anak bangsa ini. Orang-orang yang mungkin sakit hati.
Tiga tahun konflik yang telah membunuh ribuan manusia dan menghancurkan masa
depan rakyat Ambon ternyata tidak membuat energi mereka habis. Ini luar biasa.
Pertanyaannya, mungkinkah orang-orang biasa mempunyai cukup energi untuk terus
berkonflik selama itu? Tidakkah mereka marasakan sakit dan pahitnya destruksi
kemanusiaan? Atau, mereka memang manusia-manusia yang telah kehilangan
nurani?
Kenapa berbagai upaya damai, seperti Kesepakatan Malino II yang penuh butir-butir
bagus, mudah sekali dilanggar? Kenapa? Jawabnya mudah. Karena seluruh aparat
negara di sana membiarkan komitmen itu dinjak-injak. Orang-orang tidak menghargai
hukum, tetapi mengedepankan apa yang menurut perasaan mereka benar.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, aparat tidak punya
nyali. Kedua, aparat mungkin ikut bermain. Kemungkinan ketiga, aparat tidak punya
nyali dan juga bermain.
Misalnya, soal Republik Maluku Selatan (RMS) yang merayakan ulang tahunnya
ke-52, 25 April silam, penanganannya sungguh aneh. Negara menjadi begitu lembek
menghadapi gerakan separatis itu. Padahal, di Ambon, RMS jelas-jelas mempunyai
markas. Dan, markas itu diketahui aparat. Tetapi, aparat tidak tegas.
Bendera-bendera RMS juga seperti bebas bermunculan di wilayah itu, di sebuah
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Padahal, massa -- baik Islam maupun Kristen -- sangat gelisah dan kemudian marah
dengan simbol-simbol sebuah negara ilegal itu yang bebas ditampakkan di wilayah
kedautlatan NKRI. Sungguh ada paradoks sikap kebangsaan antara massa dan
aparat negara di Maluku. Rakyat menghendaki separatisme dibasmi, sementara
aparat seperti sebaliknya.
Jika saja dari awal aparat bertindak tegas terhadap RMS, pembantaian Minggu subuh
di Soya mungkin tidak akan terjadi. Tragedi Minggu subuh itu tidak bisa dilepaskan
dari sikap lembek aparat terhadap RMS yang merayakan hari jadinya empat hari
sebelumnya.
Ambon tetap sebuah pertanyaan besar. Sebuah konflik dengan sejuta misteri. Dan,
amat terasa buat kita, ada 'kekuatan' yang menghendaki, daerah itu tetap berdarah.
Ambon tetap saling membantai.
Apa pun apologia para pembesar kita, faktanya, Gubernur, Pangdam, Kapolda
Provinsi Maluku telah gagal menciptakan rasa aman. Oleh karena itu, kegagalan tidak
selayaknya dipertahankan. Untuk sebuah kegagalan, imbalan yang paling pas adalah
punishment, dan wujud yang paling pas adalah pemberhentian. Tidak ada yang lain!
Copyright © 1999-2001 Media Indonesia. All rights reserved.
|