Warga Poso Khawatir Laskar Jihad Akan Merajalela Kalau Militer
Ditarik
Hilversum, Selasa 07 Mei 2002 07:15 WIB
Intro: Banyak orang menduga bahwa penangkapan Panglima Laskar Jihad, Ja'far
Umar Thalib, akan mempengaruhi situasi di Ambon. Namun hal ini dibantah pelbagai
pihak termasuk pihak kepolisian. Tetapi bagaimana pengaruhnya dengan Poso?
Konon tentara akan ditarik dari sana dan tidak akan diganti, sementara anggota
Laskar Jihad sudah berkeliaran. Lebih lanjut berikut laporan koresponden Syahrir dari
Jakarta.
Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil membantah bahwa penangkapan Panglima
Laskar Jihad Ja'far Umar Thalib merupakan pesanan pemerintah Amerika Serikat.
Ditegaskannya pula bahwa Amerika Serikat tak memiliki kepentingan dalam kasus
Ambon. Disamping Menteri Pertahanan, kemarin pihak kepolisian pun ikut berbicara
dan membantah pemberitaan pers ibukota yang menuduh Megawati berada di
belakang penangkapan Jafar. Mabes Polri secara kategoris, membantah bahwa
penangkapan Ja'far bernuansa politis. Ja'far ditangkap karena melanggar hukum. Polri
juga menegaskan, penangkapan Ja'far bukan atas perintah presiden Megawati. Polisi
juga melihat bahwa penangkapan Ja'far tidak mempengaruhi situasi di Ambon.
Tetapi bagaimana dengan kota Poso dimana Laskar Jihad juga punya pendukungnya?
Polisi tidak memberi keterangan apa-apa mengenai Poso yang diisyukan mulai
memanas. Namun, dari Poso ,Sulawesi Tengah diperoleh informasi bahwa isyu
kedatangan 3000 pasukan Jihad ke Poso tidaklah benar. Memang sejak
penangkapan Panglima Jihad Jafar Umar Thalib ada suara-suara di kalangan
masyarakat Kristen yang menyatakan bahwa pasukan merah harus bersiap-siap
menghadapi serangan Laskar Jihad pekan ini. Pendeta Deddy Gononggo, mengakui
bahwa ada isyu anggota-anggota Laskar Jihad dikumpulkan dari daerah pesisir pantai
yang merupakan basis Islam.
Laskar Jihad di Poso pada masa menjelang konperensi Malino I banyak membuat
posko-posko lengkap dengan foto-foto Usamah Bin Laden. Peninjau-peninjau luar
negeri yang melakukan perjalanan secara incognito sempat melaporkan hal ini ke luar
negeri yang telah memancing kerisauan pemerintahan-pemerintahan Barat. Baik di
Eropa maupun Amerika Utara, gereja-gereja tiba-tiba mendesak pemerintah
masing-masing untuk menekan pemerintahan Megawati agar mengirim pasukan ke
Poso.
Tetapi sekarang ini ada kekuatiran di masyarakat Poso bahwa jika militer ditarik dari
wilayah itu, maka Laskar Jihad dan pasukan Merah bisa bergerak kembali dan
menakut-nakuti rakyat. Untuk itu kalangan intelektual dari kedua belah pihak
mengimbau pemerintahan Megawati agar tidak menarik pasukan dari sana.
Setidak-tidaknya untuk 6 bulan kedepan. Kepada masyarakat setempat akhir-akhir ini
ada penjelasan dari pihak aparat bahwa militer akan ditarik dari Poso. Hal itu
mengingat sementara pasukan TNI dan Polri itu sudah berada di wilayah tersebut
selama 6 bulan. Masyarakat kuatir bahwa militer yang ditarik ini tidak diqanti dengan
yang baru. Bahkan ada pengamat politik yang mencurigai tentara sengaja menarik
pasukannya agar pihak milisi sipil yang dibiayai jenderal-jenderal tertentu bisa
memunculkan kerusuhan baru di Poso. Semua ini memang tergantung pada elit
politik di Jakarta.
Selama ini kerusuhan di daerah merupakan pekerjaan para elit politik di Jakarta yang
menggunakan pertikaian di daerah sebagai bahan tawar menawar politik dengan pihak
penguasa. Ini sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Habibie, Gus Dur dan
sekarang Megawati. Ketika Mega sedang "berbulan madu" dengan militer, maka
amanlah Maluku dan Poso. Sebegitu Mega mengulur-ngulur pelantikan Panglima TNI,
maka Ambon kembali rusuh. Tampaknya kini, jika Megawati masih tetap tidak
memperhatikan isyarat-isyarat para perwira tertentu, maka keamanan Maluku dan
Poso lagi-lagi bisa diganggu. Diganggu oleh mereka yang punya pasukan Sandi
Yudha atau pasukan siluman. Bukan rahasia lagi bahwa milisi di Poso dilatih
kalangan militer aktif. Utamanya di lembah Korontowu, Kabupaten Morowali Sulawesi
tengah. Alangkah bodohnya intel Indonesia jika tidak mengetahui hal itu karena ini
sudah merupakan rahasia umum di kalangan masyarakat Sulawesi tengah, kata
seorang tokoh masyarakat di Poso.
Tetapi seorang aktivis di Sulawesi Tengah melihat peristiwa konflik agama di Poso
menunjukkan sekali lagi bahwa rakyat yang disebut beragama itu ternyata kurang
menghayati ajaran agama mereka. Baik yang Kristen maupun Muslim ternyata lebih
banyak mengandalkan pada ilmu hitam atau okultisme. Pada awal konflik misalnya
orang-orang Kristen menyewa orang-orang kebal dari suku Da'a Palu. Ternyata
kampung-kampung yang dijaga oleh orang-orang Da'a itu habis terbakar, seperti desa
Tangkura, Pantango, Pinadapa, Dewuwa, Sangginora dan lain lain.
Hal yang sama pun terjadi di Maluku. Misalnya penyerangan terhadap desa Soya,
Ambon oleh sementara ummat Kristen di Maluku dinilai sebagai penghancuran
terhadap pusat okultisme atau pusat penyembah berhala. Ini diceriterakan oleh
seorang pendeta di Ambon. Bagi dia kejadian-kejadian di Ambon, Maluku Utara dan
Poso selama beberapa tahun terakhir sesungguhnya merupakan cara pemurnian
iman bagi mereka yang percaya pada Tuhan.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|