The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Di Maluku Terjadi Pertentangan Vertikal Bukan Horisontal


Di Maluku Terjadi Pertentangan Vertikal Bukan Horisontal

Hilversum, Minggu 12 Mei 2002 05:00 WIB

Penangkapan dua pemimpin massa di Maluku, baik dari RMS maupun Laskar Jihad seolah-olah menunjukan yang terjadi di Ambon adalah pertentangan horisontal. Sekalipun tidak disangkal oleh keduanya, akibat pertentangan tersebut yang diuntungkan adalah pihak militer Indonesia. Penangkapan ini dipandang hanya menambah maslah di Maluku seperti sebuah bab buku yang tidak beraturan. Lebih lanjut berikut laporan koresponden Syahrir dari Jakarta

Kunjungan Wapres Hamzah Has ke Mabes Polri Selasa lalu untuk mengunjungi Panglima Laskar Jihad Jafar Umar Thalib, yang sedang ditahan, hingga kemarin masih dikecam masyarakat. Ketua DPR RI Akbar Tanjung khawatir langkah ini bisa mempengaruhi penyidikan terhadap Panglima Laskar Jihad itu.

Ketua MPR RI Amien Rais juga menganggap kedatangan Wapres ke Mabes Polri itu suatu intervensi dan tekanan politik. "Seorang Wakil Presiden adalah orang nomor dua tertinggi di Republik Indonesia," ujar Amien kemarin. Amien Rais meminta agar proses hukum segera ditegakkan secara adil bagi pihak-pihak yang dianggap membuat kerusuhan di Ambon. "Yang terlibat di Maluku jelas bukan Pak Jafar Umar Thalib saja. Juga dari RMS dan FKM (Front Kedaulatan Maluku. Masyarakat perlu mendapatkan gambaran komprehensif apa yang sesungguhnya terjadi di Ambon, katanya. Bagi Amien skenario besar yang berkaitan de gan konflik yang berkepanjangan di Ambon dan Maluku, perlu dijelaskan pihak TNI dan Polri serta pemerintah. Sekarang ini "kita seperti membaca buku yang tidak beraturan babnya. Sedangkan bab-bab yang lain disembunyikan. Mata rantai itulah yang harus dijelaskan kepada publik sehingga persoalannya menjadi jelas,"ujar Amien.

Sementara itu Tim Pengacara Muslim akan mengajukan praperadilan kasus penahanan Panglima Laskar Jihad pada Jumat besok. Ketua Tim Pengacara Panglima Laskar Jihad, Mahendradattta, setelah berbicara dengan Ja'far di Rutan Mabes Polri, kemarin, menjelaskan bahwa ustadz tersebut menyetuji langkah tim pengacaranya. Praperadilan pada prinsipnya merupakan suatu pengujian tentang perlu tidaknya penahanan terhadap seseorang. Alasan penahanan adalah agar tersangka tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan tidak mengulangi perbuatannya. Penahanan Ja'far Umar Thalib nampaknya dimaksudkan agar ia tidak mengulangi perbuatannya di Maluku. Sedangkan pemerintah selain menindak Laskar Jihad, juga akan berupaya membubarkan Forum Kedaulatan Maluku (FKM) dan meminta semua pihak yang tidak berkepentingan segera meninggalkan Maluku. Artinya Laskar Jihad harus keluar dari Maluku.

Pers barat selama ini menganggap FKM maupun maupun Laskar Jihad sadar maupun tidak telah menunjang scenario besar yang menguntukan kalangan angkatan darat tertentu. Bagaimana pandangan pers dalam negeri? Aristides Katoppo dari ISAI, Institut Studi Arus Informasi, mengatakan, tentara jelas berada dibelakang pertikaian di Maluku. Ia sependapat dengan kalangan Laskar Jihad yang mengatakan yang terjadi di Maluku bukanlah pertikaian horizontal melainkan pertikaian vertical.

Aristides Katoppo: Sekarang sudah dilakukan tertib darurat sipil dan sekarang kurang lebih dari sepuluh kesatuan besar batalion berada di Maluku. Tetapi tetap saja keamanan belum bisa terjamin bahkan masyarakat desa seperti di Soe tidak dilindungi. Padahal kita ingat waktu pemberontakan RMS, waktu itu pemerintah pusat mungkin tidak punya sampai lima batalyon mungkin cuma dua atau tiga batalyon yang harus diterjunkan di sana dan itu bisa melakukan apa yang kita sebut klasifikasi-lah. Jadi pada waktu itu militer Indonesia bahkan masih dari segi persenjataan dari segi equipment masih jauh dari dibanding dengan sekarang. Tapi apa itu suatu pencerminan daripada kepemimpinan.

Pada waktu itu komandan operasi di lapangan antara lain Slamet Riyadi dan misalnya Kolonel Kawilarang, tetapi dua-duanya orang Kristen, tapi sama sekali tidak dipermasalahkan apa agama daripada panglima waktu itu. Sedangkan sekarang siapa menjadi komandan polisi, siapa menjadi komandan militer kok yang kriterianya bukan yang kecakapan profesionalnya, tetapi apakah ikut agama A atau agama B. Nah itu kan adalah politisasi yang terjadi. Nah, dan bahayanya yang terbesar adalah dengan demikian seolah-olah pimpinan sipil, memang pemegang darurat sipil itu tidak mampu. Karena itu harus diganti dengan darurat militer. Tapi sebenarnya sangat dipertanyakan apakah itu betul perlu dan harus.

Demikian Aristides Katoppo, dari Institut Studi Arus Informasi.

© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/baguala67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044