Sinar Harapan, Selasa, 30 April 2002
[Tajuk Rencana] Darurat Militer dan Falsafah Joko Tingkir
KITA tahu bahwa pejabat teras Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih
mempertimbangkan pemberlakuan Darurat Militer sebagai solusi atas kekhaosan
sosial di Ambon menyusul tewasnya belasan orang dan sejumlah lainnya cidera
akibat serangan sekelompok pria bersenjata berseragam hitam-hitam, Minggu (28/4)
dini hari di Desa Soya, Ambon.
Atas dasar itu, apa pun bentuk argumentasinya, ini merupakan bukti bahwa terorisme
masih hidup subur di negeri ini. Padahal, sebagaimana kita tahu, status pemerintahan
di Ambon adalah Pemerintahan Darurat Sipil Daerah (PDSD). Dengan sendirinya,
kejadian berdarah di Soya adalah proyeksi dari ketidakmampuan PDSD mengontrol
dinamika kehidupan masyarakat Ambon, tertutama ketika pemimpin mereka
mencapai kesepakatan damai di Malino, Sulawesi Selatan, beberapa waktu
berselang. TNI memang masih berada dalam posisi menimbang-nimbang karena
sejumlah politikus keberatan terhadap penerapan Darurat Militer.
Mencari solusi dari persoalan di Ambon pada dasarnya bisa sangat sulit, bisa juga
sangat gampang. Menjadi sulit apabila kelompok berkepentingan di Jakarta masih
juga menggunakan Ambon sebagai lapangan bermain demi memenangkan
kepentingan mereka. Bisa sangat gampang, apabila pemerintah berkemampuan
untuk menangkap, menahan, mengadili dan menghukum orang yang mempermainkan
masyarakat Ambon sebagai mainan politik orang Jakarta.
Orang Ambon sudah dengan sangat gamblang mempertontonkan kepada masyarakat
di seantero Nusantara keinginan mereka untuk hidup damai. Kehendak hidup damai
ini bukan hanya terjadi pada sejarah kontemporer masyarakat Ambon, tetapi sudah
berlangsung beberapa abad sebelumnya. Kita tahu, masyarakat Ambon memiliki
istem kekerabatan dan hukum antropologi yang sangat ditaati masyarakat di sana,
yakni Pela Gandong. Jadi, pada saat kita mempelajari Antropologi, orang Ambon
sudah menjalankan teori-teori dan prinsip-prinsip antropologi dalam keseharian hidup
mereka dengan sebuah tujuan mulia: hidup berdampingan di antara masyarakat yang
berbeda agama: Kristen dan Islam.
Alangkah beratnya penerapan Darurat Militer terhadap masyarakat Ambon apabila
persoalan sesungguhnya adalah ketegaan oknum-oknum untuk menggunakan
masalah masyarakat Ambon sebagai ring tinju politik demi jabatan dan harta. Ini
semua bermuara pada sifat ingat diri, rakus, dan mentalitas menghalalkan segala
cara.
Persoalan ini tidak mudah bagi Presiden Megawati Soekarnoputri karena selain harus
mendapat dukungan politik dari militer demi karier kepresidenannya, Megawati pun
harus sanggup mencegah penggunaan cara-cara militer dalam menumpas persoalan
yang causa prima-nya justru militer sendiri. Itulah nuansa dan pesan politis yang kita
tangkap dari Ambon dalam beberapa hari terakhir ini.
TNI dan Jakarta sebaiknya menunjukkan sikap politik yang dewasa dan
berkemampuan untuk melihat persoalan secara tembus pandang. TNI jangan dengan
cepat menilai bahwa gejolak politik di sana bersifat separatis karena Republik Maluku
Selatan hanyalah suatu obsesi. RMS tak punya apa-apa. Gerakan ini sanggupnya
cuma menaikkan bendera RMS dengan balon gas. Mereka tak punya angkatan
bersenjata seperti Gerakan Aceh Merdeka. RMS tak punya pemerintahan di
pengasingan. RMS tak punya panglima perang.
Jadi, apabila Darurat Militer diterapkan, benarlah kata orang bijak bahwa kita
sanggupnya hanya bikin persoalan untuk kemudian menawarkan solusi menurut
interpretasi dan cara-cara kita sendiri. Ini penerapan prinsip Joko Tingkir, hulubalang
perang yang pernah hidup di zaman Kerajaan Demak. Dia sendiri bikin soal, lalu dia
sendiri tawarkan jalan keluar menurut definisinya sendiri.
Solusi di Ambon bukan Darurat Perang tetapi kesediaan kita semua untuk
menghukum orang bersalah dan memberi hadiah kepada orang berbuat terpuji. Ingat,
orang Indonesia tak rela menyamakan TNI dengan Joko Tingkir. ***
Copyright © Sinar Harapan 2001
|