Sinar Harapan, Rabu, 1 Mei 2002
Penahanan Tokoh FKM Dipindah ke Pom TNI Ambon
Jakarta, Sinar Harapan - Pemimpin Eksekutif Front Kedaulatan Maluku (FKM) Dr.
Alexander Hermanus Manuputty, Ketua Yudikatif Semmy Waeleruny dan 15 aktivis
FKM dipindahkan dari rumah tahanan Polda Maluku ke tempat penahanan Polisi
Militer (Pom) TNI di Ambon, Selasa (30/4) sekitar pukul 22.30—24.00 WIT.
Pengacara Alex (panggilan Alexander Manuputty) Rabu (1/5) pagi menanyakan
kepada Pom TNI di Ambon tentang pemindahan itu, sebab sebelumnya ia tidak
diberitahu.
"Alasannya tidak jelas. Alex itu orang sipil yang seharusnya diperiksa polisi, tapi
mengapa harus dibawa ke Pom TNI?" kata Louis Risakotta, Pimpinan FKM
Perwakilan Jakarta, kepada SH, Rabu (1/5) pagi.
Menurutnya, pemindahan itu juga tidak disertai alasan yang jelas. Hanya diketahui
dari dua anggota FKM yang bertugas jaga di luar rutan Polda Maluku. Hal ini dinilai
Louis sebagai upaya politik ketimbang hukum.
"Walaupun ada perbedaan pandangan politik, tapi seharusnya proses hukum tetap
diberlakukan bagi setiap orang. Jadi di sini pemerintah lebih mementingkan
kekuasaan daripada keseriusan dalam masalah hukum."
Alex ditahan di Polda Maluku sejak Rabu (17/4) setelah dijemput paksa dari
rumahnya di kawasan Kudamati, Kel. Benteng, Kota Ambon, sehubungan dengan
rencana penaikan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April. Ia dituduh
melanggar pasal 106 KUHP tentang makar. Padahal makar berarti ada perlawanan
dengan senjata, tetapi ini tidak terbukti, tegas Louis.
Ia juga berharap agar pemerintah menjelaskan siapa pelaku pengemboman kantor
gubernur Maluku pada Rabu (3/4) dan penyerangan Soya hari Minggu (28/4).
"Aparat keamanan pasti bisa mengidentifikasi siapa pelakunya dan mengapa mereka
melakukannya. Begitu pula dengan penyerangan Soya, Desa Soya terletak di daerah
pegunungan, untuk mencapainya harus melewati 8—10 wilayah Kristen, dan saat itu
masih diberlakukan jam malam."
Maka Louis meminta supaya kesaksian korban diperhatikan, seperti mengenai ciri-ciri
pelaku penyerangan yang mengenakan seragam loreng, muka dicat dan membawa
senapan F-16. Ia pun tidak setuju jika status darurat militer diberlakukan di Ambon,
sebab sangat berbahaya bagi sipil. Dicontohkan pemberlakuan Daerah Operasi Militer
(DOM) di Aceh telah membuat banyak korban jiwa rakyat dan pemerkosaan tapi tidak
proses hukum.
Pergantian Gubernur
Sebelumnya, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono mengakui ada campur
tangan pihak ketiga yang menyebabkan kerusuhan di Ambon. Spekulasi yang masuk
kepada Menko Polkam itu ialah aspek politik yang berkaitan dengan suksesi
gubernur Maluku bulan Oktober mendatang.
Hal itu disampaikan Yudhoyono menjawab pertanyaan wartawan di kantor Menko
Polkam, Selasa (30/4) usai pertemuan terbatas dengan Presiden Megawati, Wapres
Hamzah Haz dan tiga Menko (Polkam, Kesra, Perekonomian) di kediaman Presiden.
"Memang ada spekulasi dan rumor. Saya sangat kecewa kalau itu terjadi, karena
berarti ambisi orang per orang bisa menghancurkan negara dan bangsanya," ujarnya.
Kalau muncul pikiran seperti itu alangkah nistanya, hanya untuk sebuah kekuasaan
lalu diciptakan sesuatu agar pemimpin yang sekarang dianggap tidak mampu
menjalankan tugas dengan baik.
Menurut Menko Polkam, ada spekulasi lain, yaitu dengan membaiknya situasi karena
pertemuan Malino II dan langkah-langkah pemerintah memperbaiki keadaan, ternyata
menimbulkan ketidaknyamanan pada pemimpin-pemimpin tertentu dari kedua
komunitas karena kehilangan otoritas, popularitas dan lain-lain sehingga seolah-olah
mereka kehilangan posisi. "Saya juga mengatakan alangkah nistanya hal itu,"
tegasnya.
Ada juga spekulasi yang tidak senang bahwa prakarsa pemerintah selama ini
membuahkan hasil yang baik untuk penyelesaian konflik komunal di Maluku sehingga
ada indikasi untuk mengganggu dan menggagalkan. "Konon ada elemen-elemen pada
tingkat nasional," tegas Meko Polkam.
Ditanya apakah Penguasa Darurat Sipil (PDS) Pusat perlu mengganti Penguasa
Darurat Sipil Derah (PDSD) Maluku, Yudhoyono menjelaskan bahwa semua itu
sedang dianalisis. Ia menyadari sulitnya permasalahan di Maluku.
"Tetapi kami juga menuntut determinasi, ketegasan dan langkah-langkah aktif dari
mereka yang ada di lapangan. Dengan demikian saya tidak ingin memberikan kesan
bahwa ini adalah ketidakmampuan penguasa yang ada di daerah. Tidak adil kalau
mereka sedang bekerja keras langsung kita vonis seperti itu."
Kerusuhan Diciptakan
Sementara itu pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Afan
Gaffar menilai kerusuhan yang terkonsentrasi di Soya diciptakan oleh kelompok
tertentu yang ingin memelihara konflik. Maka ia heran mengapa aparat keamanan
tidak bisa menyelesaikan konflik itu. Sebab statusnya darurat sipil dan wilayah
Ambon kecil.
"Masak aparat keamanan yang punya kekuatan begitu besar tidak bisa memantau
seluruh wilayah?" kata Afan, Selasa (30/4) di sela-sela seminar "Recalling
DPR/DPRD", di Hotel Santika Yogyakarta. Sebenarnya aparat bisa tahu dengan pasti
siapa yang memiliki senjata api dan siapa saja yang memakai.
Ia juga berpendapat jika aparat tidak tegas, justru RMS akan mendapat dukungan
internasional. "Kita lihat di Aceh, orang begitu gampang dibunuh karena dituduh
sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sementara di Ambon orang dengan
mudah membawa senjata tanpa ada penyelesaian yang jelas," ujarnya.
Ia curiga ada keadaan yang sengaja dibiarkan agar berlangsung terus di Maluku.
Maka Afan setuju jika aparat keamanan bertindak tegas. "Pertama kali mungkin
orang akan menuduh tindakan militer anti Hak Asasi Manusia (HAM). Itu tidak
masalah bagi saya, sebab daripada banyak nyawa yang akan menjadi korban?"
(edl/djo/sur/ayu)
Copyright © Sinar Harapan 2001
|