Sinar Harapan, Selasa, 7 Mei 2002
Tajuk Rencana
Mengapa Ambon?
MARAH, kesal, frustrasi dan entah kata apa lagi yang akan dipakai untuk
mengungkapkan perasaan delegasi DPRD dan Wali Kota Ambon, dan para pemuka
agama di kota pusat konflik itu, ketika mereka mengadukan berbagai hal yang terkait
dengan pertumpahan darah di kampung halaman mereka kepada Komisi I DPR,
Senin (6/5).
Kedatangan delegasi dari Kota Ambon ini adalah yang kedua dalam tahun ini setelah
Januari lalu, juga ke Komisi I DPR. Ketika itu mereka mengancam akan kembali
dengan delegasi yang lebih besar bila tidak ada tanda-tanda konflik akan mereda.
Mereka penuhi janji itu kini.
Kali ini, mereka tidak lagi marah-marah atau berbicara dengan suara keras, tetapi
sudah menangis dan putus asa atas berbagai perkembangan yang terjadi di wilayah
mereka. Mereka kecewa karena apa yang terjadi di Ambon makin memperlihatkan
ada upaya-upaya untuk terus mengadu dan membenturkan dua kelompok umat
beragama di sana. Mereka melihat setelah gagal memakai isu agama, kini isu itu
dialihkan ke masalah separatisme.
Kepada Komisi I DPR para wakil dari Kota Ambon itu mengungkapkan betapa rakyat
Ambon kini hanya bisa menangis menyaksikan rakyat jelata dibantai oleh
orang-orang yang gagah perkasa, khususnya dalam insiden di Desa Soya. Mereka
heran hal itu dapat berlangsung dengan lancar, padahal di Ambon terdapat 9 batalyon
TNI ditambah dengan ribuan personel Polri.
Dalam hitungan mereka, Ambon hanya terdiri dari tiga kecamatan dengan 30 desa.
Bila di tiap desa itu ditempatkan 200 personel keamanan (1 SSK) saja, maka masih
tersisa ribuan personel lainnya. Namun sampai saat ini jejak para pelaku
penyerangan di Desa Soya itu seperti hilang ditelan bumi. Aparat yang ribuan
jumlahnya itu tidak terlihat berupaya memburu mereka.
Belum lagi situasi mereda, kini berbagai instansi pemerintah di sana mulai sibuk
menyusun proyek-proyek untuk “menghabiskan” anggaran Rp 300 miliar yang
dialokasikan untuk rehabilitasi pasca konflik di Maluku. Kembali mereka
mempertanyakan, kalau dana itu habis dipakai lalu situasi Ambon/Maluku akan
membaik?
Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang akhirnya membuat rakyat Ambon menjadi
frustrasi dan semakin tipis kepercayaan mereka terhadap pemerintah pusat. Banyak
hal yang serba tidak jelas. Mengapa penegakan hukum yang tertuang dalam
Perjanjian Malino II tidak dilaksanakan? Mengapa Tim Investigasi Nasional
Independen tidak juga terbentuk? Mengapa pula kini di Jakarta muncul wacana untuk
menerapkan darurat militer di Ambon, setelah darurat sipil pun terbukti
menyengsarakan dan tidak membawa kebaikan bagi rakyat Ambon? Dan masih
banyak mengapa, mengapa dan mengapa yang lainnya.
Kita prihatin dengan apa yang dialami rakyat di Maluku. Para petinggi di Jakarta tidak
merasakan rasa terancam dan pilu yang tak terkatakan bila akhirnya darah
tertumpah, nyawa terenggut. Masyarakat tidak lagi bisa bekerja dengan tenang,
karena siang malam harus bersiaga jangan sampai lengah bila kampung mereka tak
mau diserang.
Seharusnya tangis rakyat di Ambon/Maluku adalah tangis kita semua sebagai
sesama saudara bangsa Indonesia. Ataukah pemerintah kita memang sudah begitu
tidak berdaya sehingga tidak mampu menuntaskan konflik yang sudah berlangsung
tiga tahun ini?
Kemarin, tercetus ungkapan dari para wakil masyarakat di Ambon itu, kalau memang
pemerintah RI sudah tidak mampu melindungi rakyat di Ambon/Maluku, lebih baik
meminta perlindungan kepada PBB, masyarakat internasional atau bahkan Amerika
Serikat. Apakah memang itu yang diharapkan ataukah memang rakyat di Ambon
didorong untuk melakukan hal itu?
Sekali lagi terlalu banyak mengapa! ***
Copyright © Sinar Harapan 2001
|