Sinar Harapan, Rabu, 8 Mei 2002
"Penunggang Bebas" Kerusuhan Ambon
JAKARTA – Ambon adalah misteri yang tak pernah bisa dipahami. Konflik
berkepanjangan yang terjadi di Maluku mengalami pasang surut setelah meledak
pada awal tahun 1999.
Cerita tentang Ambon tidak lagi mengimajinasikan sebagai daerah "penghasil"
penyanyi bersuara emas. Ambon berubah menjadi kekerasan, kebencian, darah, dan
air mata.
Akhir pekan bukanlah selalu waktu untuk beristirahat. Istilah itu tidak dikenal di
daerah konflik, tak terkecuali di Ambon. Buat Stefi Maicimo dan Stenly Kirkyou, akhir
pekan lalu justru saat nahas buat mereka. Keduanya meregang nyawa akibat luka
terkena muntahan senjata dan lontaran mortir.
Stefi tertembak di Tugu Trikora dan Stenly terkena ledakan mortir di Jalan Yan Pays.
Akibat peristiwa itu pula, 23 orang luka-luka dan menjalani perawatan.
Entah dari mana asal-muasal lontaran mortir dan tembakan senjata tersebut. Yang
jelas, buntutnya lima orang yang diduga pelaku ditangkap oleh aparat polisi setempat.
Pekan sebelumnya, sebuah peristiwa di akhir pekan juga membelalakkan mata dan
menyadarkan bangsa Indonesia. Ternyata Deklarasi Malino II bukanlah akhir dari
konflik Ambon.
Penyerbuan atas Desa Soya pada dini hari menewaskan 12 orang, termasuk
anak-anak dan meluluhlantakkan sebuah gereja, 30 rumah, dan 3 rumah adat. Ada
yang ingin "merobek-robek" kesepakatan damai tersebut.
Ambon kembali memanas. Situasi kembali mencekam setelah Panglima Laskar
Jihad Ja'far Umar Thalib ditangkap aparat keamanan di Surabaya, Sabtu (4/5) lalu.
Nama Ja'far Umar Thalib dikait-kaitkan dengan penyerangan di Desa Soya karena
dituduh melakukan penghasutan dan penghinaan dalam ceramah yang disampaikan
selama berada di Ambon, Maluku.
Bukan hanya itu, ceramah Ja'far Thalib pada 26 April, dua hari sebelum peristiwa
Soya, diduga ikut menghasut massa untuk melakukan tindak kekerasan, termasuk
mempersiapkan bom.
Benarkah Ja'far Umar Thalib satu-satunya yang dianggap dalang insiden di Desa
Soya? Pemrakarsa Komite Maluku Peduli Indonesia (Kompi) Lukas Sihasale
menampik hal itu.
Ia mengungkapkan ditangkapnya Panglima Laskar Jihad diduga untuk mengalihkan
perhatian pada pelaku sebenarnya.
Pendapatnya itu didasari fakta bahwa konsentrasi massa Laskar Jihad berada di
sekitar Tugu Trikora, di tengah Kota Ambon, salah satu garis demarkasi komunitas
Muslim dengan Kristen, sedangkan Desa Soya terletak paling tidak 30 km dari Tugu
Trikora.
Bukan hanya soal jarak yang membuatnya tidak mungkin. Menurut Sihasale, Desa
Soya terletak di pegunungan terpencil dan untuk menjangkau daerah itu harus melalui
desa-desa Kristen di sekelilingnya.
Pernyataan ini diperkuat oleh Abubakar Riry, anggota Forum Baku Bae yang pernah
menjadi salah seorang panglima perang pihak Muslim di Ambon.
Menurutnya, tingkat kesulitan dari pihak Muslim ke Desa Soya sangat tinggi dan
berisiko besar. Ia pun menyangsikan apabila serangan tersebut dilakukan oleh Laskar
Jihad. Singkatnya, hal itu tidak dapat dilakukan oleh pihak Muslim tanpa ketahuan
siapa pun.
"Sangat sulit juga kalau dikatakan Laskar (Jihad) pelakunya. Mereka tidak akan lolos
di desa-desa sekitar Soya yang jadi basis kaum Kristen," ujarnya dalam
perbincangan dengan SH, akhir minggu lalu.
Kecurigaan Sihasale bahwa kerusuhan Soya dilakukan pasukan terlatih juga
diperkuat dengan peralatan yang digunakan untuk melakukan penyerbuan.
"Mereka melakukan penyerbuan menggunakan mortir. Hanya pasukan terlatih yang
bisa melakukan itu," ujarnya menandaskan.
Pernyataan ini juga didukung pemrakarsa Baku Bae, Ichsan Malik. Dihubungi SH,
Ichsan Malik yang masih berada di Ternate memperkirakan bukan kaum sipil yang
melakukan penyerbuan, tetapi satu pasukan terlatih.
Dari saksi peristiwa yang menyampaikan kejadian tersebut, ia mengatakan bahwa
para pelaku memakai pakaian loreng dan tutup kepala warna hitam.
Fakta itu dibantah oleh pihak Kodam setempat dengan mengatakan bahwa bisa saja
kostum seperti itu diperoleh di pasar bebas. Akan tetapi, katanya, cara mereka
melakukan penyerbuan mengindikasikan bahwa mereka adalah orang-orang yang
sudah terlatih.
Curigai Militer
Abubakar bahkan menyebutkan kronologis yang dikumpulkan menjelang terjadinya
serangan bisa melandasi kecurigaan terlibatnya militer. Setidaknya, beberapa kali
patroli tentara menggunakan truk dan jip masuk ke Soya. Bahkan satu buah jip dan
satu truk sempat terbalik di desa tersebut, meski tanpa korban jiwa.
Satu hal yang jadi perhitungan adalah akses ke kedua wilayah konflik yang hanya
dimiliki oleh aparat keamanan sebagai pihak netral dan punya kewenangan hukum
masuk di semua wilayah. Buce (panggilan akrab Abubakar-Red) juga menilai bahwa
alasan kepemilikan senjata oleh sipil dikarenakan beberapa kali gudang senjata
aparat kebobolan tidaklah logis.
Sebaliknya, itu menunjukkan kegagalan militer dalam melakukan tugasnya.
Bagaimanapun, kepemilikan senjata di kalangan sipil saat ini sangat sulit. Aparat,
seperti dikatakan juga oleh Anthoni Hatane dari Komite Kebenaran, Keadilan, dan
Penghentian Kekerasan Maluku (KONDPAS), setiap hari melakukan sweeping ke
kantong-kantong kedua pihak dan lingkungan perumahan hingga ke kamar- kamar
rumah rakyat.
Penunggang Bebas
Pernyataan ada keterlibatan pasukan terlatih dalam kembali memanaskan suasana di
Ambon, Maluku, ini sebenarnya bukan kabar baru. Ichsan melihat sangat tampak
sekali para "penunggang bebas" dalam konflik di Ambon. Untuk itu, ujarnya, Baku
Bae akan membuat tim investigasi untuk mengungkap keterlibatan semua pihak
dalam konflik di Ambon.
Ia mengungkapkan ketahanan rakyat di Ambon khususnya, dan Maluku pada
umumnya, sebenarnya sudah cukup kuat. Rakyat Ambon tidak mudah terprovokasi.
Rakyat sudah memahami bahwa konflik yang terjadi di Ambon bukan konflik antara
mereka. Rakyat menyadari bahwa apa yang terjadi tersebut hanya mengorbankan
rakyat untuk bertarung demi kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Melihat perkembangan di Ambon, Maluku, apa yang diungkapkan Ichsan Malik,
Thamrin Amal, maupun Lukas Sihasale, sebenarnya tidak berlebihan. Dalam
beberapa kali peristiwa, selain Peristiwa Soya dan pembakaran Kantor Gubernur
Maluku, dapat diindikasikan bahwa rakyat tidak lagi mudah diprovokasi. Kerusuhan
berhasil dilokalisasi sekalipun pada dua peristiwa tersebut juga diembuskan konflik
bernuansa SARA.
Keberadaan Republik Maluku Selatan (RMS) sebagai faktor pemicu kerusuhan juga
ditampik banyak kalangan. Peristiwa pengibaran bendera RMS pada hari lahir
gerakan itu, 25 April lalu, justru memperkuat kecurigaan terlibatnya pasukan terlatih
di Ambon.
Lukas Sihasale mengungkapkan bagaimana mungkin bendera RMS bisa berkibar di
sekitar SMA Xaverius yang terletak hanya 100 meter dari depan Markas Kepolisian
Daerah Maluku. Bendera RMS juga ditemukan di Batu Gajah, sekitar 700 meter di
antara Polda Maluku dan kantor Kodam.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Ambon Lucky Wattimury juga
mengungkapkan keheranannya. Ia menyatakan sudah ada 9 batalyon TNI di Ambon,
belum termasuk aparat kepolisian.
Padahal, Kota Ambon hanya terdiri dari 3 kecamatan dengan 20 kelurahan dan 30
desa. Ia memberi contoh, kalau satu desa ditempatkan 100 orang, maka masih
kelebihan 5.000 aparat yang berjaga-jaga di Ambon. "Mengapa dengan aparat yang
berjumlah banyak, dibanding kota Ambon yang begitu kecil, justru keamanan tidak
terjamin," katanya.
Sosiolog UI, Thamrin Amal Tomagola, selain menyatakan keheranan senada, juga
menengarai ada hidden agenda di balik isu RMS. Dengan antisipasi yang besar
sekaligus ketidakmampuan TNI mengatasi kekuatan separatis tersebut, justru
menunjukkan adanya kampanye gratis untuk RMS.
Selama ini, Thamrin mengatakan kekuatan RMS bisa diukur dan tidak mempunyai
kekuatan senjata ataupun kaitan ideologis di antara pendukungnya, seperti halnya
perjuangan separatis GAM.
"Penggelembungan isu RMS sama saja memberikan kampanaye gratis," tukasnya,
dalam perbincangan dengan SH, belum lama ini. Bisa jadi memang ada agenda atau
skenario di balik melanggengkan konflik tersebut untuk interes ekonomi ataupun
politik. Uniknya, semua kecurigaan malah mengarah ke keterlibatan oknum militer.
Salah satunya adalah ketidaknyamanan militer akan upaya sipil mendamaikan konflik
lewat deklarasi Malino II.
Prakarsa yang diambil Jusuf Kalla dari kalangan sipil menurut Thamrin Amal justru
menohok rasa ego militer yang biasa dianggap sebagai "pelindung". Ini adalah upaya
untuk mengembalikan peran militer sebagai pengendali konflik, apalagi jika jadi
dilaksanakan Darurat Militer.
Desakan darurat militer ditengarai beberapa pihak juga bernuansa ekonomi. Dana
yang selama ini mengalir ke pasukan di Ambon sebanyak 14 batalyon, menurut
sumber SH, sangatlah besar. Namun, sayangnya dana tersebut tidak sampai ke
prajurit di sana sebagaimana tertulis. Nah, sebagian besar dari dana tersebut, sekitar
sepertiga hingga setengah dana tersebut malah masuk ke kantong-kantong
prajurit-prajurit tertentu di Jakarta.
Bayangkan, jika konflik berakhir, tentunya "penghasilan" tambahan itu selama 3
tahun belakangan ini akan hilang. "Kalau terjadi Darurat Militer dan pengiriman
pasukan besar-besaran, berarti tambah pula penghasilan," paparnya.
Paling Salah
Wacana menerapkan darurat militer untuk mengatasi masalah di Ambon, menurut
Ichsan, sama sekali tidak tepat. "Menjadikan Maluku sebagai daerah berstatus
darurat militer merupakan solusi yang paling salah karena militer adalah bagian yang
paling salah dari kerusuhan di Maluku," katanya.
Penolakan terhadap darurat militer bukan hanya disampaikan kelompok-kelompok
masyarakat, tetapi juga secara resmi disampaikan DPRD Kota Ambon. Pendapat
Ichsan ini didasari kenyataan bahwa Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (TNI/Polri) sudah melanggar prinsip netralitas dan berdiri di
atas semua golongan. TNI/Polri yang bertugas di Maluku, menurutnya, sudah tidak
netral lagi.
Sebagian berpihak ke komunitas Kristen, sebagian lainnya mendukung komunitas
Muslim, ujarnya menjelaskan. Tiga hal yang harus dilakukan dalam waktu dekat guna
menangani masalah Ambon, menurutnya, adalah revisionari TNI/ Polri, meningkatkan
efektivitas Penguasa Darurat Sipil, dan Pembentukan Tim Nasional guna memberi
bimbingan teknis dan konkret dalam mengatasi masalah di Maluku.
Hal senada juga disampaikan dalam pernyataan Gereja Katolik Keuskupan Ambonia
dan Gereja-Gereja Kristen Se-Maluku. Dalam pernyataan itu antara lain disebutkan
bahwa aparatur penegak keamanan dan hukum agar tetap bertindak profesional,
proporsional, dan netral, serta konsisten dalam menyelesaikan secara utuh,
menyeluruh, dan transparan berbagai pelanggaran hukum yang terjadi.
Gereja Katolik dan Kristen di Maluku juga menyesalkan belum terbentuknya Pokja
Keamanan dan Hukum, padahal nama-nama dari kedua kelompok masyarakat (Islam
dan Kristen) telah disampaikan kepada Penguasa Darurat Sipil Maluku.
Selain itu juga disesalkan belum terbentuk dan berfungsinya Tim Investigasi
Independen Nasional sehingga proses penanganan berbagai masalah isu krusial
dalam rangka penegakan hukum dan keamanan belum berjalan sebagaimana
mestinya.
Atas Nama Perdamaian
Menjelaskan akar permasalahan di Ambon memang bukan pekerjaan mudah. Simpati
yang diarahkan pada korban konflik berkepanjangan di Ambon tidak jarang justru
membuat masalah semakin rumit. Sebut saja misalnya kehadiran Laskar Jihad yang
di kemudian hari ternyata memperkuat sentimen Muslim-Kristen.
Republik Maluku Selatan (RMS), yang hanya hidup setiap tanggal 25 April adalah
kambing hitam yang paling mudah dipersalahkan. Berbagai kalangan menanggap
bahwa RMS tinggal nostalgia, yang tidak ada lagi aktivitasnya setelah diberantas
pada tahun 1950.
Front Kedaulatan Maluku (FKM) adalah kelompok berikutnya yang memperjuangkan
agar Maluku memiliki kedaulatan sendiri. Kelompok ini dimotori Alex Manuputty.
Kehadiran kelompok ini di Maluku, sebenarnya tidak terlalu dikehendaki masyarakat
setempat. Sekalipun kurang mendapat dukungan dari masyarakat setempat,
herannya, kelompok ini masih saja bisa eksis.
Selain kelompok-kelompok tersebut, masih terdapat Pokja Maluku, atau yang juga
dikenal Pokja 19. Pokja ini pada awalnya dimotori Letjen Suaidy Marasabessy.
Aliansi Rekonsiliasi untuk Perdamaian di Maluku, Komite Maluku Peduli Indonesia
(Kompi), dan Baku Bae. Apa saja yang dilakukan kelompok-kelompok ini dalam
menciptakan perdamaian di Maluku, hanya bisa diperoleh dengan mencermati kiprah
mereka selama Ambon bergejolak.
Tidak perlu puluhan kelompok untuk menyelesaikan konflik di Ambon. Hanya satu
yang diperlukan, yaitu aktor-aktor politik untuk menciptakan perdamaian. Ambon
bukan panggung politik yang hanya dimanfaatkan untuk membuktikan siapa yang
paling berkuasa di negeri ini. Ambon juga bukan "lonceng kematian" yang berfungsi
mengingatkan lawan politik tentang eksistensi sebuah kelompok yang memiliki
kekuatan yang minta untuk tetap diperhitungkan.
Ambon adalah satu wilayah sah Republik Indonesia yang berpenduduk manusia,
seperti halnya Jawa, Sumatera, Bali, dan sebagainya. Penyelesaian konflik di Ambon
harus diletakkan dalam skema rekonsiliasi nasional antara aktor politik di tingkat
nasional.
Apa yang terjadi di Ambon tidak bisa dilihat hanya dalam konteks Ambon itu sendiri
tetapi dalam kerangka politik nasional.Untuk itu, manusia yang tinggal di Ambon,
Maluku, harus dilihat sama dengan manusia di tempat lain, yang ingin hidup tenang
dan dihargai hak-hak kemanusiaannya. (SH/kristin samah/rikando somba)
Copyright © Sinar Harapan 2001
|