Sinar Harapan, Senin, 23 April 2002
FKM Tetap Akan Kibarkan Bendera RMS
Jakarta, Sinar Harapan, Selasa 23 April 2002. Sebagai sebuah gerakan, Republik
Maluku Selatan (RMS) sudah selesai dan tidak ada lagi. Maka kalau ada generasi
muda Maluku yang berusaha menghidupkan kembali gerakan RMS, pemerintah
jangan mengakuinya. Begitu pula pengibaran bendera RMS pada 25 April 2002 akan
menjadi preseden buruk bagi daerah lain untuk menuntut hal yang sama.
Demikian pendapat Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong dan Wakil Ketua Komisi I
DPR Astrid D. Susanto yang dihubungi SH secara terpisah, Senin (22/4) malam,
berkaitan dengan rencana pengibaran bendera RMS 25 April bertepatan dengan
peringatan 52 tahun RMS. Sementara itu, Front Kedaulatan Maluku (FKM)
menyatakan tetap akan mengibarkan bendera RMS bersama-sama dengan bendera
Merah Putih dan bendera PBB, meski Ketua FKM, Dr Alexander Manuputty, sedang
ditahan Polda Maluku sejak 17 April 2002 sehubungan dengan rencana tersebut.
Louis Risakotta, Pimpinan FKM Perwakilan Jakarta, kepada SH, Selasa (23/4) pagi
menjelaskan, pengerekan bendera RMS tetap dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan hanya sebagai simbol perlawanan terhadap
pemerintah yang belum mampu menegakkan hak asasi manusia (HAM) di Maluku.
Ibrahim Ambong mengimbau pemerintah dan aparat keamanan untuk melarang
kegiatan itu, walaupun dengan alasan masih tetap dalam kerangka NKRI. Sebab tidak
boleh lagi ada bendera lain yang berkibar di Tanah Air Indonesia selain bendera
kebangsaan yaitu Merah Putih.
Ia juga mengingatkan bahwa gerakan RMS sudah lama ditumpas sejak masa
Presiden Soekarno, karena tujuannya sudah jelas, ingin memisahkan diri dari NKRI.
"Tidak ada lagi hak hidup bagi RMS dan gerakan separatis lainnya di Tanah Air. Oleh
karena itu bila ada pemaksaan untuk tetap mengibarkan bendera RMS, aparat harus
tegas melarangnya." Astrid D. Susanto menambahkan, rakyat Maluku sudah
menyatakan ikrar untuk bersatu dalam NKRI dan tidak akan lagi melakukan
gerakan-gerakan yang bersifat separatis. Pernyataan ini harus dipegang pemerintah
dan aparat di lapangan. "Kalau terjadi kekerasan terhadap mereka, salah mereka
sendiri, sebab aparat sudah mengingatkan akan mengambil tindakan tegas."
Wartawan Asing Dilarang
FKM sangat terbuka untuk berdialog dengan pemerintah, sebab FKM sendiri dibentuk
(tahun 2000) sebagai bentuk protes masyarakat yang menilai pemerintah lamban dan
tidak mampu melindungi warganya dalam konflik di Maluku, kata Louis Risakotta.
Sikap pemerintah itu semakin memperkuat keinginan masyarakat untuk berpikir
kembali tentang tujuan bernegara.
"Masyarakat akan pikir, untuk apa bernegara, tetapi hak sebagai warga negara tidak
dijamin. FKM itu kumpulan orang terdidik, sehingga tidak mau menggunakan
cara-cara kekerasan. Jadi FKM sangat terbuka untuk berdialog dalam suasana
damai," tambahnya. Sebenarnya bendera RMS juga dikibarkan pada 2001 bersamaan
dengan bendera Merah putih dan bendera PBB, lanjutnya.
Ia berharap aparat keamanan tidak bertindak represif atas rencana tersebut, supaya
tidak ada korban. Tapi menurut Louis, masyarakat bukan khawatir terhadap rencana
pengibaran bendera, tapi takut dengan sikap represif aparat keamanan yang
mengabaikan HAM. FKM juga menyayangkan larangan pemerintah atas masuknya
orang asing termasuk wartawan dan aktivis ke Maluku. Sebab mereka bertugas
melakukan peliputan atau investigasi, diantaranya tentang pelanggaran HAM dan
kebrutalan yang terjadi di Maluku, tegas Louis. Menurutnya, Ketua FKM Alex
Manuputty ditahan Polda Maluku dengan tuduhan melanggar pasal 106 KUHAP
tentang rencana melakukan tindakan makar. "Itu tidak tepat, karena makar menurut
hukum itu menggunakan senjata untuk menumbangkan negara. Tapi FKM tidak
melakukan itu, yang kami punyai hanya buku-buku, bukan senjata."
Ia juga berpendapat, seharusnya aparat keamanan lebih konsentrasi untuk
menangkap pelaku perusuh di Maluku termasuk pembakaran kantor gubernur Maluku.
Pada 27 April nanti lima tokoh muslim yang tergabung dalam FKM akan bertemu di
Jakarta. (sur/ady)
Copyright © Sinar Harapan 2001
|