SUARA PEMBARUAN DAILY, 29/4/2002
Darurat Militer Bisa Diterapkan di Ambon
JAKARTA - Panglima TNI Laksamana Widodo AS menegaskan, status Kota Ambon
dapat ditingkatkan menjadi darurat militer, namun TNI mengharapkan ada payung
hukum dan politik agar darurat militer tersebut bisa dilaksanakan.
Hal itu dikatakan Panglima TNI seusai acara serah terima jabatan Kepala Staf TNI AU
dari Marsekal Hanafie Asnan kepada Marsdya Chappy Hakim di Jakarta, Senin
(29/4).
Panglima ditanya sehubungan dengan meningkatnya kekerasan di Ambon. Minggu
dini hari, 12 orang di antaranya wanita dan anak-anak tewas dibantai perusuh di Desa
Soya, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon.
Sejauh ini kata Panglima, langkah-langkah yang dilakukan penguasa darurat sipil
sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, langkah itu harus diimbangi dengan
tindakan tegas.
Panglima mengakui, selama ini salah satu potensi konflik di Ambon adalah masih
beredarnya berbagai jenis senjata di masyarakat, termasuk senjata organik. Oleh
karena itu TNI akan terus berupaya menghilangkan potensi konflik itu.
Sementara Kapolri Jenderal Pol Da'i Bachtiar mengatakan, situasi di Ambon sudah
dapat dikendalikan. Terakhir, peristiwa di Soya, selebihnya sudah tidak ada
kerusuhan lagi. Namun untuk mengantisipasi terjadinya konflik antar warga, aparat
keamanan melakukan penyekatan.
Ketika ditanya wartawan, Senin pagi, di Istana Negara, Jakarta mengenai apakah
akan ditingkatkan keadaan di Ambon, dari darurat sipil ke darurat militer, Kapolri
mengatakan, pemerintah masih akan melihat perkembangannya. Yang jelas, sampai
saat ini belum perlu ada tambahan pasukan. Dan pemerintah darurat sipil di Maluku
juga belum meminta tambahan pasukan.
Kasad Jenderal TNI Endriartono Sutarto juga mengatakan, payung itu perlu diberikan
oleh pihak-pihak yang berwenang, agar TNI dapat mengambil langkah-langkah untuk
keselamatan masyarakat.
Kondisi Kota Ambon, Senin (29/4), mulai berangsur kondusif setelah sempat
mencekam akibat penyerangan di Desa Soya, Kecamatan Sirimau, Ambon, Minggu
(28/4).
Sebagian warga kembali melakukan kegiatan dan beberapa angkutan umum mulai
beroperasi. Meskipun demikian, situasi kota Ambon tampak lengang.
Menurut seorang warga Karang Panjang, Daniel A (57), warga Ambon belum berani
melakukan kegiatan seperti hari biasa karena belum memperoleh kepastian mengenai
situasi keamanan Kota Ambon dari Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD), Saleh
Latuconsina.
Sejak Penyerbuan ke Desa Soya, lanjutnya, kegiatan di Kota Ambon kembali
lumpuh. Hingga hari ini, warga masih menunggu pernyataan PDSD mengenai situasi
keamanan Kota Ambon, karena untuk melakukan kegiatan seperti hari biasa warga
masih merasa takut.
"PDSD terkesan tutup mulut dengan peristiwa penyerangan Desa Soya. Kami
harapkan, ada kejelasan mengenai peristiwa itu, sehingga warga tidak bingung dan
takut," katanya.
Dia mengatakan, penyerangan ke Desa Soya sangat disesalkan. Hal itu disebabkan
kondisi di Kota Ambon mulai membaik setelah dicapai kesepakatan Malino II. Warga
yang bertikai mulai menjalin komunikasi, dan berupaya mematuhi butir-butir yang
tertuang dalam kesepakatan Malino II. Beberapa upacara adat Maluku yang
dilaksanakan kembali menumbuhkan rasa persaudaraan.
Namun sejak pekan lalu, lanjutnya, tepatnya ketika isu seputar pengibaran bendera
Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April lalu, warga sebenarnya sudah merasa
cemas. "Ada kekhawatiran jangan-jangan isu ini kembali menguak konflik yang kini
mulai mereda. Dan ternyata hal itu terbukti dengan penyerangan ke Desa Soya yang
selama ini aman," katanya.
Penyerangan ke Desa Soya, kata Daniel, menunjukkan bahwa PDSD tidak memiliki
tekad untuk menegakkan kesepakatan Malino II. Pemberlakuan jam malam justru
memudahkan gerak kelompok penyerang dan membatasi warga untuk membantu
warga desa yang diserang. Perbuatan kelompok penyerang juga dinilai sangat
terencana karena dilakukan pada dinihari ketika sebagian besar warga masih tidur.
Apalagi bertepatan dengan padamnya lampu.
"Perbuatan mereka sangat tidak manusiawi. Kami rasa ada kelompok yang sengaja
memanasi situasi di Kota Ambon dengan menggunakan momen RMS. Perlu kami
tekankan tidak semua warga Kristen Maluku adalah pengikut RMS. Lagipula dilihat
dari sejarah ada juga pendukung RMS dari warga Muslim Maluku. Jadi jangan
mengadu domba kami," katanya.
Tidak Serius
Menjawab pertanyaan Pembaruan di Jakarta, Senin (29/4) pagi, Koordinator Tim
Advokasi Penyelesaian Kasus (Tapak) Ambon, Zairin Salampessy menilai, penguasa
darurat sipil di Maluku terkesan tidak sungguh-sungguh mengantisipasi pengibaran
bendera Republik Maluku Selatan (RMS). Dikatakan, sudah ada tanda-tanda akan
ada pengibaran, tetap saja pengibaran bendera itu dapat dilakukan oleh gerakan
separatis RMS.
Dampak dari ketidakseriusan penguasa darurat sipil mengantisipasi segala
kemungkinan yang bakal terjadi bersamaan dengan pengibaran bendera RMS ini, di
sejumlah tempat di Ambon terjadi peledakan bom dan pembakaran sehingga
mengakibatkan jatuh korban manusia, kata Zairin.
''Kami melihat penguasa darurat sipil tidak serius dan lamban menangani kasus di
Ambon. Kondisi di Ambon sekarang semakin tegang pascaperingatan HUT RMS,''
kata Zairin.
Aksi penyerangan di desa Soya dilakukan dengan menggunakan senjata berat, bom
rakitan, granat serta longser sehingga membumihanguskan sekitar 23 rumah
penduduk, gereja Soya yang berumur ratusan tahun serta satu uni mobil pick-up
sedangkan Balai Pertemuan Desa Soya rusak berat.
Selain korban tewas, tercatat 10 korban lainnya mengalami luka berat dan ringan.
Mereka dirawat di RSUD dr Haulussy serta RS Bhakti Rahayu. Laporan yang
dihimpun Pembaruan menyebutkan, korban tewas terkena serpihan bom, tertembak,
ditusuk dan terpanggang.
Dengan terbakarnya gedung gereja tua Soya, praktis ibadah Minggu kemarin
terganggu. Namun dengan besar hati warga Desa Soya menilai musibah ini tidak
akan memupus kerinduan mereka untuk tetap beribadah walaupun gereja tua itu
sudah menjadi puing.
Para pelaku yang memakai baju hitam-hitam itu sejak sore sudah merapat di Desa
Soya bahkan sejumlah ranjau telah dipasang di sekitar desa tersebut. Mereka masuk
perkampungan melakukan pembantaian dan pembakaran dari rumah ke rumah.
Hingga kini tidak ada pelaku yang diamankan pihak TNI/Polri terkait dengan
penyerangan tersebut. Warga Desa Soya secara tegas menyatakan menyesalkan
kelambanan bantuan pasukan TNI/Polri yang baru tiba di desa tersebut pada pukul
07.30 WIT setelah dilakukan penyerangan dua jam sebelumnya.
Kapolda Maluku yang mendatangi lokasi kejadian enggan berkomentar kepada
wartawan, sedangkan pada sore harinya Pangdam, Kapolda dan Gubernur melakukan
pertemuan tertutup di Mangga Dua Ambon. Praktis sejak tanggal 25 April lalu hingga
Minggu (28/4) ketiga pejabat daerah tersebut menolak berkomentar kepada wartawan.
Sementara itu Minggu (28/4) sekitar pukul 09.00 WIT masyarakat sekitar Tanah
Lapang Kecil, Batu Gantung dan Wainitu kota Ambon dikejutkan oleh tembakan tiga
buah longser. Satu dari ketiga longser tersebut meledak namun tidak menimbulkan
korban jiwa. Sedangkan dua buah lainnya tidak meledak jatuh di Kali Wainitu dan
diamankan masyarakat dan aparat Yonif 143 Kodam II Sriwijaya.
Selain itu Minggu siang sekitar pukul 12.30 WIT di pusat Kota Ambon tepatnya di
lokasi pembangunan Gereja Silo sebuah bom diledakkan mengakibatkan terbakarnya
kerangka kayu penahan cor bangunan tersebut. Api baru padam sekitar pukul 14.00
waktu setempat.
Aparat keamanan di sekitar pasar zona baku bae juga memperketat pengamanan di
sekitar lokasi tersebut.
Nama Korban Tewas di Desa Soya
Roy Souhoka, Gilbert Rahata, Ebert Tehelatu, Michael Huwaa, Heni Patty, Ny Idi
Patty, Ny. Souhoka, Ny Mustamu, Nike Mustamu, Ny Ani Hitijahubessy, Irene
Hitijahubessy, Agnesia Deborah (bayi). (VL/O-1/JA/M-11/W-8)
Last modified: 29/4/2002
|