TAPAK AMBON, Mon, 29 Apr 2002 14:55:07 +0700
Statement penyikapan pembantaian sistematis di ambon
Pada hari Minggu, 28 April 2002, pukul 04 pagi, Desa Soya di Ambon disusupi dan
diserang oleh sekelompok orang yang sangat terlatih. Warga desa, termasuk seorang
balita menjadi korban pada aksi tersebut. Termasuk rumah-rumah yang ikut dibakar
dan gereja dimusnahkan. Sejak peristiwa hari Minggu tersebut sampai kini, lebih dari
20 orang dikabarkan terbantai, selain sejumlah orang yang luka-luka. Serangan subuh
yang didahului dengan padamnya listrik di wilayah pegunungan yang berjarak 15 KM
dari pusat Kota Ambon ini terjadi hanya tiga hari setelah penaikan bendera RMS
tanggal 25 April yang lalu.
Kami mencatat bahwa, pasca pertemuan Malino telah terjadi beberapa peristiwa
pendorong dan pelanggengan konflik seperti :
a. Aksi pengrusakan kegiatan "Pawai Perdamaian" tanggal 3 Maret 2002 yang
diprakarsai masyarakat untuk mendorong iklim rekonsiliasi.
b. Tanggal 3 April 2002 terjadi pelemparan bom berkekuatan dahsyat dan
mengakibatkan jatuhnya sejumlah korban yang berbuntut pembakaran Kantor
Gubernur Maluku.
c. Aksi teror dan gerilya pembantaian yang dimulai dari Desa Soya pada hari Minggu,
28 April 2002 yang dilakukan kelompok professional..
Ironisnya, ketiga peristiwa beruntun dalam tempo hanya satu bulan ini dengan jelas
menunjukkan bahwa:
1. Setelah Kesepakatan Malino II yang diprakarsai pemerintah dan didukung oleh
jajaran TNI/Polri tersebut ditanda-tangani, bukannya proses perdamaian yang
bergulir-berkembang tetapi justeru suatu eskalasi kekerasan yang memasuki fase
konflik terbaru.
Secara jelas-terpola terlihat bahwa konflik Ambon sebelum Malino II yang bersifat
horizontal dengan fokus pada issue SARA, sedang dirubah dan dikondisikan menjadi
konflik vertikal dengan fokus issue: separatisme RMS/FKM (Republik Maluku
Selatan/Front Kedaulatan Maluku).
2. Berbagai peristiwa kekerasan dan konflik baru tersebut terkondisi pada saat opini
rakyat semakin terbangun untuk menyambut prakarsa dan usaha sadar dan sengaja
dari pemerintah dan TNI-Polri untuk mendorong terciptanya iklim kondusif rekonsiliasi.
Menyikapi perkembangan baru konflik Maluku tersebut, kami berkesimpulan bahwa
telah terbentuk beberapa kondisi destruktif Pasca Malino II:
1. Bahwa pemerintah telah lalai dan tidak serius menindaklanjuti Pertemuan Malino II
secara tulus dan konsekuen. Sementara inisiatif dan dinamika masyarakat pasca
Malino II untuk membangun interaksi rekonsiliasi berjalan lebih cepat dari proses
pemerintah dan jajaran TNI-Polri untuk menciptakan iklim kondusif rekonsiliasi.
Artinya, telah terjadi PROSES KELALAIAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
(crime by omission) yang mendorong timbulnya konflik baru.
2. Secara kritis, kami menyikapi upaya pembentukan opini publik yang didesain
dengan sangat sistematis dan strategis untuk menempatkan persoalan SEPARATIS
SEBAGAI POROS PERSOALAN bagi seluruh konflik Maluku. Karena itu, realitas
Front Kedaulatan Maluku - FKM yang pembentukannya di tengah konflik Maluku
sebagai gerakan moral untuk menginteriupsi kegagalan penanganan konflik Maluku
oleh negara dan aparat negara telah digiring menjadi fokus konflik. Hal ini berdampak
pada pembiasan perhatian dan tuntutan masyarakat selama ini terhadap:
a) Tanggung jawab pemerintah dan TNI-Polri
b) Keberadaan kelompok garis geras (laskar dll) sebagai faktor eskalasi dan
kelanggengan konflik. Pembiasan tersebut mengindikasi betapa negara dan alat
negara dengan sengaja memberikan andil bagi terkondisinya konflik pada tahapan
sekarang ini (crime by commission).
3. Kedua kondisi tersebut mendorong terciptanya iklim kondusif secara sistematis
untuk menghadapkan rakyat Maluku secara diametral pada fase konflik baru yang
berporos pada isu SEPARATIS versus NON-SEPARATIS.
Berdasarkan realitas perkembangan konflik Maluku pasca Petemuan Malino II itu,
kami menuntut:
a. Agar pemerintah menetapkan Hasil Malino II sebagai Produk Hukum yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
b. Agar Pemerintah dan TNI-Polri dengan sungguh-sungguh dan tulus
mengimplentasikan kesepakatan Malino II yang tertunda seperti:
- pembentukan Tim Investigasi Independen
- manarik keluar dari Ambon kelompok pendatang yang menjadi faktor instrumental
pendorong timbulnya masalah dan menghambat proses perdamaian
c. Melakukan proses penegakkan hukum secara cepat, transparan dan tuntas atas
kasus-kasus baru pasca Malino II. Baik yang dilakukan oleh warga sipil maupun
aparat TNI-Polri
d. Melakukan upaya reposisi peran dan tanggungjawab TNI-Polri dan PDS
berdasarkan profesionalisme penanganan konflik, agar tidak memberikan ruang bagi
reaksi destruktif dari masyarakat. Baik dalam bentuk pernyataan-pernyataan politik
maupun aksi bagi konflik baru.
Jakarta, 29 April 2002
atas nama
Tim Advokasi untuk Penyelesaian Kasus (TAPAK) Ambon
Tamrin Amal Tomagola
Jacky Manuputty
Piet George Manoppo
Zairin Salampessy
Lies Marantika
Theopilus Bela
Gustaf Dupe
"Tapak Ambon" )
|