TEMPO, 13 Apr 2002 1:18:26 WIB
Aparat Tak Serius Tangani Berbagai Tindak Pidana di Maluku
13 Apr 2002 1:18:26 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Aparat Keamanan dinilai lamban dan kurang serius
dalam mengantisipasi berbagai tindak pidana yang terjadi di Maluku. Termasuk dalam
menyelidiki kasus-kasus peledakan dan pembakaran di Maluku. Hingga saat ini
misalnya, aparat belum juga menangkap pelaku peledakan di dekat Hotel Amboina di
Jalan Jaan Pais dan pembakaran kantor Gubernur Maluku pada Rabu (3/4) lalu.
"Karena itulah kita datang ke Jakarta untuk mendorong proses perdamaian ini dan
mendesak pemerintah untuk benar-benar melakukan penyelidikan terhadap berbagai
kasus di Maluku," kata Anthony Hatane, Sekretaris Jenderal Komite Penegakan
Kebenaran Keadilan dan Penghentian Kekerasan Maluku (KPK2PM) di kantor YLBHI,
Jakarta, Jumat (12/4).
Lebih lanjut, lembaga yang anggotanya terdiri dari pengacara-pengacara Muslim dan
Kristen ini mendesak petugas kepolisian untuk segera menangkap pelakunya.
Padahal, kata Anthony, polisi telah mengumumkan dua nama yang diduga terlibat
dalam aksi peledakan kemarin. Yakni Onky Sangaji dan Syafruddin. "Tapi mereka
belum ada yang ditangkap. Sehingga belum bisa dipastikan kalau mereka
pelakunya," ujar Anthony.
KPK2PM khawatir, jika aparat tidak bertindak tegas maka akan berimbas negatif
terhadap proses perdamaian yang tengah dirintis melalui deklarasi perdamaian Malino
II. Karena itu KPK2PM berpandangan pembiaran ini adalah bagian dari proses teror
yang tengah dilakukan pihak tertentu yang ingin merusak perdamaian di Maluku. Ia
lantas kembali pada peristiwa peledakan bom di jalan Jaan Pais.
Dalam peristiwa tersebut, warga Maluku yang melakukan investigasi mandiri,
menemukan fakta bahwa serpihan bom, paku, dan benda-benda keras lainnya dari
bom rakitan, terdapat di lantai empat Hotel Amboina yang berjarak 500 meter dari
lokasi. "Mustahil jika aparat keamanan mengatakan bom yang punya kekuatan
dahsyat seperti itu buatan masyarakat sipil. Saya kira keyakinan itu harus
diinvestigasi lagi," katanya.
Tambahan lagi, hasil penelitian Puslabfor Mabes Polri yang menegaskan, di dalam
bom rakitan tersebut terkandung bahan TNT (Trinitro Toluena) yang memiliki daya
ledak dahsyat. "TNT ini adalah bahan peledak organik yang hanya bisa dimiliki oleh
aparat keamanan. Kalaupun yang membuat (bom) masyarakat sipil, persoalannya,
bagaimana bahan tersebut bisa sampai ke tangan masyarakat sipil?" tanyanya.
Sehingga, tegas Anthony, indikasi bahwa bom rakitan tersebut milik masyarakat sipil
jauh dari kemungkinan. Selain itu, ia mencontohkan pula peristiwa 28 maret 2002,
sewaktu ditemukan empat buah bom rakitan di depan pasar swalayan Citra, kawasan
Mardika, Ambon. Pada saat masyarakat menemukan bom tersebut, dan berniat
memindahkannya, mucul beberapa orang tentara yang dengan entengnya mengambil
bom itu, memasukkannya ke dalam keranjang dan dibawa pergi, tanpa proses lebih
lanjut.
"Dan kejadian seperti ini banyak terjadi," kata dia. Tanpa menunjuk siapa pelaku
dibalik semua itu, KPK2PM mensinyalir adanya upaya teror yang tengah dilakukan
sementara pihak terhadap masyarakat sipil Maluku. Ia beralasan, "Karena pelakunya
tidak pernah tertangkap." Berkaitan dengan itu semua, Anthony menambahkan
masyarakat sipil Maluku sudah enggan bertikai. Sebab warga sudah melihat konflik
yang berkepanjangan ini tidak menghasilkan sesuatu yang menguntungkan.
"Kondisi di Maluku sudah stabil," ujarnya. Sebagai bukti, ia kembali mengambil
contoh ledakan bom di jalan Jaan Pais. Ketika itu, masyarakat yang tengah berada di
jalan A.M. Sangaji, yang hanya berjarak 700 meter dari lokasi ledakan tidak
terpengaruh. Warga tetap beraktifitas di jalan yang terkenal sebagai tempat interaksi
utama warga Muslim dan Kristen Ambon. Selain itu, masyarakat juga bebas melintasi
daerah pemukiman yang berbeda agama.
"Ini berbeda dengan dulu. (Dulu) kalau ada ledakan secara sporadis mereka akan
berdatangan dari berbagai penjuru," ungkapnya. Saat disinggung adanya
kelompok-kelompok di Maluku yang menentang deklarasi perdamaian Malino II,
Anthony secara diplomatis mengatakan, sebenarnya kelompok tersebut tidak
menentang inti dari deklarasi Malino.
Tetapi lebih kepada poin-poin tertentu yang tidak dapat direalisasikan pemerintah.
Misalnya, lanjut Anthony, belum terbentuknya pos-pos keamanan terpadu yang
tersusun dari unsur polisi, TNI, dan masyarakat. Selain itu,menurutnya, wajar saja
jika ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan deklarasi Malino.
"Sebab justru untuk mendapatkan perdamaian yang abadi harus ada koreksi-koreksi
yang dilakukan pemerintah (terhadap pelaksanaan deklarasi Malino II)," kilahnya.
(Ucok Ritonga-Tempo News Room)
© tempointeractive.com
|