The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

[Opini] Untuk Apa Dia Ditangkap?


Majalah TEMPO, No. 11/XXXI/13 - 19 Mei 2002

[Opini] Untuk Apa Dia Ditangkap?

SEANDAINYA Thomas Hobbes masih hidup, ia akan menulis perihal Ja'far Umar Thalib dan Laskar Jihad. Soalnya, kontroversi kehadiran tokoh dan organisasi itu di Maluku menopang teori yang dikembangkannya tentang perilaku masyarakat dalam berpolitik. Pakar Inggris yang dikenal sebagai salah satu bapak teori demokrasi itu bahkan mungkin akan memutakhirkan buku klasiknya, The Leviathan, dengan tambahan bab tentang masyarakat Maluku masa kini.

Kondisi masyarakat Maluku masa kini memang tak beda jauh dengan keadaan di Inggris saat Thomas Hobbes hidup pada awal abad ke-17. Kekacauan akibat berbagai perang antaragama saat kekuasaan tradisional terkikis oleh modernisasi menyebabkan filsuf Inggris ini mengembangkan teori kontrak sosialnya. Ia berkesimpulan bahwa perdamaian, ketertiban, dan kesejahteraan hanya akan hadir jika setiap individu bersedia menyerahkan sebagian haknya kepada sebuah entitas yang cukup berwibawa.

Tapi ternyata tak semua entitas mampu memberikan per-damaian, ketertiban, dan kesejahteraan bagi anggota masyarakatnya. Bahkan entitas tersebut dapat berbalik menjadi penindas masyarakat dengan memanfaatkan kekuasaan absolut yang terkumpul padanya. Hobbes lantas menyebut penguasa itu telah menjadi leviathan alias monster. Karena itu, belakangan Thomas Hobbes juga berpendapat bahwa setiap anggota masyarakat berhak mengganti entitas penguasanya itu bila sang leviathan gagal menghasilkan perdamaian, ketertiban, dan kesejahteraan seperti yang dijanjikan.

Di Maluku, perdamaian, ketertiban, dan kesejahteraan ini ternyata sudah lama minggat. Pemerintah daerah dan pemerintah pusat telah bertahun-tahun gagal menegakkan hukum di wilayah yang penduduknya separuh muslim dan separuh Nasrani itu. Bahkan boleh dikata pertikaian di antara aparat pemerintahlah yang menjadi pemicu hancurnya kerukunan masyarakat di kepulauan rempah-rempah itu. Maka jangan heran jika kesetiaan sebagian masyarakatnya pun telah bergerak menjauhi pemerintah Republik Indonesia. Yang Nasrani melompat ke Republik Maluku Selatan atau Forum Kedaulatan Maluku, dan yang muslim memeluk Ja'far Umar Thalib dengan Laskar Jihadnya. Bagi para pelompat itu, Jakarta dianggap telah melanggar kontrak sosial dengan mereka.

Pekan ini pemerintah Republik Indonesia bereaksi terhadap pembelotan tersebut dengan menangkap pemimpin Forum Kedaulatan Maluku (FKM) dan pemimpin Laskar Jihad. Tuduhan pada keduanya serupa tapi tak sama. Pemimpin FKM, Alex Manuputty, dicokok dengan tuduhan memimpin gerakan makar, sedangkan Ja'far Umar Thalib dituduh menghasut dan menghina pejabat negara. Dalam kacamata Hobbes, pemerintah pusat menangkap mereka karena dianggap sebagai leviathan saingan di Maluku.

Sah atau tidaknya gebrakan menangkap saingan itu tentu akan diputus dalam sidang pengadilan yang formal, tapi efektif atau tidaknya tindakan ini akan lebih ditentukan di sidang pendapat publik. Maklum, bagi penduduk di Maluku, bukan soal kehadiran FKM atau Laskar Jihad yang menjadi inti persoalan, melainkan apakah dengan ditangkapnya Alex Manuputty dan Ja'far Umar Thalib berarti perdamaian, ketertiban, dan kesejahteraan akan kembali hadir di kampung mereka.

Presiden Megawati dan seluruh jajaran pemerintahannya harus mampu menjawab pertanyaan ini dengan tegas dan positif. Sebab, kekacauan di Maluku bukanlah diakibatkan oleh FKM ataupun Laskar Jihad. Kedua organisasi itu muncul dan diterima masyarakat pendukungnya justru sebagai akibat dari kegagalan pemerintah menjaga perdamaian, ketertiban, dan kesejahteraan di bumi Maluku. Karena itu, yang lebih penting dari soal menangani FKM ataupun Laskar Jihad adalah memberikan jaminan keamanan yang kredibel kepada masyarakat Maluku.

Upaya seperti ini tak dapat diselesaikan hanya dengan mengirimkan tambahan polisi atau tentara ke Kepulauan Maluku. Kualitas pasukan, terutama dalam hal disiplin dan dukungan pembiayaan yang memadai, lebih penting ketimbang jumlah petugas yang dikirim. Polisi dan tentara yang berdisiplin rendah dan tidak didukung logistik yang cukup dapat dipastikan hanya akan menambah persoalan, bukan membantu menyelesaikannya.

Apa yang harus dilakukan pemerintah adalah melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan kontrak sosial yang disepakati saat Republik Indonesia didirikan, yaitu negara berkewajiban menjaga suasana perdamaian dan ketertiban di masyarakat sehingga upaya menyejahterakan bangsa dapat terlaksana sebaik mungkin. Barangkali itu terlihat seperti bukan soal mudah bila dikaitkan dengan kondisi di Kepulauan Maluku saat ini. Namun, suka atau tidak, itulah tugas paling mendasar dari sebuah pemerintahan yang berdaulat, di mana pun dan sampai kapan pun.

Maka dalam kerangka berpikir seperti inilah persoalan penangkapan Ja'far Umar Thalib dan Alex Manuputty harus disimak. Sebab, soal perlu-tidaknya tindakan hukum ini di-lakukan sekarang boleh saja diperdebatkan, tapi bukanlah hal itu yang menjadi pokoknya. Yang lebih penting dipersoalkan adalah untuk apa penangkapan itu dilakukan.

Jika kegiatan represif ini dilakukan sebagai bagian dari upaya menyeluruh untuk meningkatkan kualitas perdamaian, ketertiban, dan kesejahteraan rakyat Maluku, jelas hal itu wajib didukung. Tapi, jika tindakan pemerintah ini dilakukan hanya sebagai reaksi terhadap munculnya ancaman kekuatan tandingan, hal itu jelas perlu dikaji ulang.

Lantas bagaimana caranya mengetahui di mana posisi pemerintah dalam persoalan ini? Itu bukanlah soal sulit. Silakan tanya kepada penduduk Maluku apakah dengan upaya pemerintah pusat ini mereka merasa semakin aman atau sebaliknya.

© tempointeractive.com
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kariu67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044