KORAN TEMPO, Sabtu, 27 April 2002
Opini
Bola Api RMS
Sebuah permainan berbahaya tengah disodorkan oleh Front Kedaulatan Maluku. Dua
hari silam, mereka memaksakan pengibaran bendera Republik Maluku Selatan,
kendati sebelumnya banyak pihak telah bereaksi keras terhadap rencana itu.
Agak sulit memang untuk mencari niat luhur di balik pengibaran bendera republik
boneka yang setelah didirikan 52 tahun silam hanya sempat berusia bulanan itu.
Manfaatnya pun boleh dibilang tidak ada, kecuali membuat situasi Ambon yang mulai
tenang sejak kesepakatan damai ditandatangani di Malino, menjadi kembali tegang.
Sebagai sebuah taktik, tindakan FKM untuk memaksakan pengibaran bendera RMS,
sebenarnya mudah dibaca. Cara itu seperti pedang bermata banyak. Salah satu
sisinya langsung tertuju pada kelompok Islam, terutama mereka yang juga masih
kurang sreg dengan perjanjian Malino. Pengibaran bendera yang dipaksakan itu
menjadi "bukti" pembenar keyakinan mereka bahwa konflik Ambon belum selesai.
Lebih jauh lagi, mereka pun bertambah semangatnya untuk melanjutkan perang
dengan kelompok Kristen, sebab kini tersedia alasan "baru" yang lebih direstui
secara nasional: melawan separatisme.
Dalam hal ini, posisi kelompok Kristen tentu saja sulit. Berbagai pihak, termasuk
Gereja Protestan Maluku, telah menyatakan bahwa tidak semua kelompok Kristen
terkait dengan RMS. Namun, cukup sulit menepis kenyataan bahwa selama konflik
Ambon berlangsung sejak dua tahun silam, FKM adalah salah satu organisasi yang
berada di tengah-tengah mereka. Bahkan, dalam banyak kesempatan, FKM selalu
berada di depan corong pengeras suara.
Sisi lain dari mata pedang pengibaran bendera RMS dua hari silam, tertuju pada
pemerintah pusat. FKM dengan cerdik mencoba menarik Jakarta dalam pusaran
babak baru konflik Ambon pasca perjanjian Malino. Penambahan pasukan keamanan
dan tindakan tegas dalam operasi-operasinya diharapkan akan memancing perhatian
dunia internasional. Korban-korban yang jatuh kemudian pada gilirannya akan
mendudukkan pemerintah pusat dalam peran antagonistik, yakni penindas aspirasi
sebuah kelompok etnik untuk merdeka.
Permainan berbahaya FKM ini bukan tidak ada penawarnya. Namun, tentu saja harus
melibatkan semua pihak. Ketegasan pemerintah pusat adalah salah satu kuncinya.
Para pendukung gerakan separatisme RMS musti segera ditangkap dan diadili.
Namun, tindakan represif itu haruslah tetap berada dalam pagar hukum.
Pada saat yang bersamaan, para pemuka kelompok Islam juga diharapkan mampu
menenangkan massanya untuk tidak terpancing memulai babak baru konflik Ambon.
Sementara, peran kelompok Kristen di Ambon pun perlu dipertegas. Menyatakan
tidak terkait FKM dan RMS tidak akan bermakna tanpa bukti dukungan mereka
terhadap upaya penegakan kedaulatan Republik Indonesia. Kalau perlu, mereka
sendiri yang menangkap dan menyerahkan para pendukung gerakan separatisme
RMS untuk diadili menurut hukum dan perundang-undangan republik ini.
© tempointeractive.com
|