TEMPO, No. 09/XXXI/29 April - 5 Mei 2002
Nasional
RMS
Benang Raja di Langit Ambon
Front Kedaulatan Maluku dituding makar dan berada di balik kerusuhan
Ambon. Mereka membantah dan menyatakan tak ada kaitan dengan RMS.
SEPERTI benderanya, nama Front Kedaulatan Maluku berkibar di langit belakangan
ini. Salah satu faksi dalam konflik berdarah di Maluku itu menggelar perayaan besar
pekan lalu. Mereka menancapkan bendera Benang Raja—bendera empat warna milik
Republik Maluku Selatan (RMS)—di mana-mana. Tak hanya di pohon kelapa atau
durian. Lebih spektakuler, mereka bahkan menerbangkannya dengan balon gas ke
udara.
Perayaan hari jadi RMS itu, 25 April, lebih luas dibanding tahun lalu. Sementara tahun
lalu bendera hanya dikibarkan di lingkungan dekat sang Ketua Front Kedaulatan
Maluku (FKM), Alex Manuputty, pekan lalu bendera RMS itu berkibar hampir di
seluruh wilayah Ambon: di kawasan Telaga Raja, Kuda Mati, Passo, Kompleks SMA
Xaverius, Desa Aboru, dan Ulalihu.
Waktu pengibarannya pun tak hanya sehari. Sabtu siang pekan lalu, masyarakat
Ambon kembali melihat kibaran bendera RMS dan balon gas bergambar bendera
tersebut. Situasi kembali mencekam ketika aparat menembaki balon gas.
Perayaan tahun ini juga ditandai ke-rusuhan dan demonstrasi besar yang memaksa
Polda Maluku menangkap dua tokoh, Ketua FKM Alex Manuputty dan Pemimpin
Yudikatif FKM Semmy Waeleruny. Alex sudah ditahan sebelum aksi pengibaran
bendera, sementara Semmy pada 24 April lalu. Mereka didakwa melakukan
kejahatan terhadap negara atau makar, dan melanggar surat keputusan Gubernur
Maluku tentang larangan pengibaran bendera. Bersama mereka, 23 orang lain juga
ditangkap dan sedang dalam pemeriksaan intensif polisi.
Semmy membantah keras tuduhan makar. Dia mengatakan, "FKM adalah gerakan
moral memperjuangkan moral dan perdamaian." Dia juga menolak keras tuduhan
bahwa organisasinya punya hubungan dengan RMS—gerakan yang pada awal
kemerdekaan ingin memisahkan diri dari Indonesia dan sampai 1970-an, dipelopori
oleh orang-orang Maluku di Negeri Belanda, masih memperjuangkan kemerdekaan
yang sama.
"Generasi RMS sekarang sudah tidak punya kekuatan, baik di Maluku maupun di
Belanda," kata Semmy. "Mereka juga terbelah menjadi tiga, bahkan empat, kelompok
dengan perjuangan sendiri-sendiri." Perjuangan FKM, menurut Semmy, murni
mengembalikan sejarah masa lalu orang-orang Maluku, yang pernah tertindas. Tanpa
senjata, dan setiap kegiatan dilakukan terang-terangan. "Itu letak beda perjuangan
FKM dengan RMS," katanya.
Jika benar begitu, Semmy dan kawan-kawan tampaknya telah keliru meng-ambil
simbol dan bendera. Sejak FKM diproklamasikan pada akhir tahun 2000, orang tak
sulit mengidentikkannya dengan RMS. Mereka memakai bendera, lambang, dan
semboyan RMS. Ketika kerusuhan pertama meledak di Ambon pada Idul Fitri 1999,
aksi bumi hangus disertai corat-coret tulisan berjudul "Inilah RMS". Para pendukung
FKM juga meneriakkan yel-yel terkenal, "Menamuria"—salam kemerdekaan RMS
dalam bahasa Alifuru. Salam ini juga digunakan tokoh RMS lama, Soumokil, dalam
penutup suratnya ke Konferensi Jenewa pada 2 April 1954.
Kerusuhan pada 1999 itu menandai konflik berdarah Islam-Kristen hingga sekarang,
yang telah menewaskan ribuan orang dan mengirim puluhan ribu orang menjadi
pengungsi.
Ayip Syafruddin, Ketua Forum Komunikasi Ahlus-sunnah Wal Jamaah, sebuah
organisasi pembela kelompok Islam, menuding FKM terlibat dalam memicu pertikaian
di Ambon. Menurut Ayip, akar konflik di Maluku bukanlah kebencian Islam versus
Kristen seperti diyakini banyak orang selama ini, melainkan isu politik separatisme
yang dibungkus sentimen agama. Nasir Rahwarin, Sekretaris Badan Imarat Muslim
Maluku, mem-benarkan hal itu. "Sejak awal 1999, gerakan ini sudah muncul ke
permukaan," katanya.
Menurut Ayip, generasi RMS sekarang lebih cerdik. Sementara Soumokil
me-masukkan kekuatan bersenjata dalam struktur organisasinya, Alex, pegawai
Kanwil Departemen Kesehatan Maluku, menghindarinya. Mengusung organisasi
gerakan moral dan tanpa senjata—se-tidaknya menurut pengakuan mereka—membuat
aparat keamanan tak punya alasan kuat melakukan tindakan represif.
Mereka, kata Ayip, juga menyusup melalui gereja-gereja. Semmy Waeleruny,
misalnya, adalah juga ketua tim peng-acara gereja. "Gereja, sadar atau tidak,
dijadikan kuda tunggangan kelompok itu," kata Ayip. Karenanya, dia meminta pihak
gereja memberi pernyataan tegas soal apakah mereka memang terlibat atau tidak.
Pendeta John Ruhulessyn, Ketua Umum Pengurus Besar Angkatan Muda Gereja
Protestan Maluku, mengatakan bahwa kelompok FKM itu sangat kecil dan umat
Kristen tak mendukungnya. Sinode Gereja Protestan Maluku pun menolak gerakan
separatis dan tetap mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Itu harga mati
dari umat Kristen," katanya.
Pangdam XVI Pattimura, Brigjen TNI Mustopo, mengatakan masih mengumpulkan
data dan bukti apakah organisasi ini memang menjadi api penyulut ke-rusuhan
berdarah di Maluku. Toh, dia mengakui, meski kecil, "Organisasi ini sangat
berbahaya dan memiliki jaringan sistematis sampai ke luar negeri." Be-berapa
perwakilannya, terutama dari Inggris dan Jerman, sudah menyatakan akan menghadiri
upacara pengibaran bendera April ini. Mereka batal datang karena larangan
pemerintah lokal.
Keberhasilan FKM mengibarkan ratusan bendera menunjukkan bahwa organisasi ini
tak bisa dianggap remeh. Kelompok-kelompok Islam menilai, aparat terlalu lunak
menghadapi kelompok FKM dalam kasus pengibaran bendera sepanjang Jumat. Ini
pula mungkin yang menyebabkan pengibaran bendera masih terjadi Sabtu siang
keesokan harinya.
Yang jelas, ini merupakan tantangan besar bagi pemerintahan Megawati
Sukarnoputri. Mencari akar kisruh Maluku adalah jalan satu-satunya untuk
menyelesaikan konflik berdarah yang telah memakan ribuan nyawa selama empat
tahun terakhir itu. Perjanjian Damai Malino II tak ada artinya tanpa kesediaan untuk
melihat apa yang terjadi di akar rumput serta tanpa bertindak adil sesuai dengan
prosedur hukum terhadap siapa saja, kelompok Islam ataupun Kristen, yang
melanggarnya.
Leanika Tanjung, Friets Kerlely, Yusnita Tiakoly (Ambon)
© tempointeractive.com
|