The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Darurat Militer Bukan Solusi Bagi Konflik Maluku


TEMPO, 29 Apr 2002 18:59:43 WIB

Darurat Militer Bukan Solusi Bagi Konflik Maluku

29 Apr 2002 18:59:43 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Komite Kebenaran Keadilan dan Penghentian Kekerasan Maluku (Kondpas), Gerakan Baku Bae Maluku (GBBM), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) beranggapan darurat militer bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Maluku. "Faktanya, hanya diberlakukan darurat sipil saja korban sudah mencapai ribuan, bagaimana kalau darurat militer?" tegas Anthoni Hatani, Koordinator Kondpas dalam jumpa pers di kantor YLBHI Jakarta, Senin (29/4).

HaL ini diungkapkannya sehubungan dengan rencana pemerintah pusat untuk memberlakukan darurat militer di Ambon, menyusul terjadinya tindak kekerasan di Ambon selama tiga hari belakangan. Hatane mengungkapkan, saat diberlakukan darurat sipil pemerintah yang notabene penguasanya adalah gubernur, nyawa masyarakat seperti tak ada harganya. Ia mengkhawatirkan, intervensi militer malah akan menambah ketidakpastian keamanan bagi masyarakat.

Hatane mendesak pemimpin darurat sipil, pemerintah pusat, dan militer untuk tidak menggunakan ancaman maupun tindak represif untuk menangani konflik Maluku karena masyarakat sudah berada di bawah ancama dalam empat tahun belakangan. "Hendaknya lebih mengutamakan tindakan persuasif damai, dan melibatkan masyarakat bawah sebelumnya tak pernah diikutsertakan dalam mencari solusi damai Maluku (saat perjanjian Malino dicapai -red)," pintanya.

Selain menolak darurat milier, ketiga lembaga tersebut menilai bahwa penangkapan Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM) Alex Manuputty justru mengundang simpati dan radikalisme di sebagian masyarakat Ambon. Mereka juga beranggapan, sikap represif pemerintah terhadap para pengibar bendera Republik Maluku Selatan (RMS) bukan memberantas benih separatisme melainkan menimbulkan konflik baru. "Apalagi tindakan represif itu juga tidak dilaksanakan seperti yang telah dijanjikan pemerintah. Ini malah menurunkan wibawa pemerintah sendiri," tegas Abu Bakar Riry, fasilitator GBBM.

Dalam pernyataan bersama yang dibacakan, berdasarkan fakta yang ditemukan YLBHI, Kondpas dan GBBM, pembakaran kantor DPRD dan gubernur serta gereja Silo dilakukan untuk meneruskan konflik horisontal. Karenanya, ketiga lembaga juga meminta agar pemerintah daerah maupun pusat harus menindak tegas orang-orang yang berupaya melanggengkan konflik horisontal di Maluku. Hal lainnya yang mereka inginkan dari Pemerintah yakni dilakukan revisi ulang terhadap perjanjian Malino II. Baik Hatane maupun Riry mengatakan, tidak semua komponen masyarakat Maluku dilibatkan dalam perjanjian Malino II.

"Kami ingin seperti pengungsi, korban tindak kekerasan, para profesional, bahkan para pemimin perang dari tiap daerah di Maluku diajak serta untuk merevisi ulang Malino II," tutur Hatane. Pasca Malino II, kata Hatane, sebenarnya banyak kelompok masyarakat Maluku terutama para pemimpin perangnya yang marah karena merasa tidak diikutsertakan dalam perjanjian Malino II. "Ini juga yang menyebabkan selalu munculnya letupan-letupan pasca Malino II," ujarnya memaparkan. Dalam konferensi pers yang berlangsung kurang lebih satu jam ini, Hatane dan Riry didampingi oleh Kepala Divisi Hal Sipil dan Politik LBH Indonesia, Mulyadi Goce S.H. (Sri Wahyuni-Tempo News Room)

© tempointeractive.com
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kariu67
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044