DetikCom, Sabtu, 11/1/2003
Sultan HB X: Rakyat Maluku Harus Mampu Menyembuhkan Diri
Kontributor : Dino F Umahu
detikcom - Ambon, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengingatkan, agar berbagai
pihak tidak membangun opini-opini yang membangkitkan sensitifitas di Maluku.
Karena rakyat Maluku harus mampu melakukan penyembuhan-penyembuhan diri
dengan dengan bagunan-bangunan mediasi dan komunikasi yang diciptakan dan
tumbuh dari kalangan grass rooth masyarakat lokal sendiri, bukan oleh orang lain, elit
politik maupun elit militer.
"Persoalaannya betul-betul tinggal kemauan warga Maluku sendiri, bagaimana
berusaha mentaati kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuatanya sendiri," kata
Sultan dalam orasi budaya pada acara ‘Pertemuan Raja/Latupati untuk Menata
Masa Depan Maluku' yang berlangsung di gedung PGSD kampus alternatif
Universitas Pattimura Jl. Dr. Latumeten Ambon, Sabtu siang,(11/1/2003).
Menurut Sultan, jika masalah-masalah tidak berakhir, ditinjau dari dimensi geopolitik
dan geostrategis konflik maluku yang berkepanjangan, pada akhirnya akan
melemahkan kondisi ketahanan bangsa.
Diakuinya, memang sulit memahami konflik Maluku dalam konteks kultural karena
masyarakat Maluku berasal dan memiliki akar dan budaya yang sama. Sultan
mencontohkan, sejarah Mataram menunjukkan bahwa ketika masyarakat yang
berbasis kultural sama, namun terlibat konflik maka ditengarai penyebabnya karena
banyak kepentingan luar.
"Maka itu, saya menghibau semua pihak yang bertikai atau yang memiliki
kepentingan dan kepedulian agar melihat derita rakyat Maluku dengan hati nurani dan
sikap empati," ujar Sultan.
Dikatakan Sultan, tanpa adanya nurani untuk segera mengakhiri permusuhan ini,
sangat mungkin Maluku tertinggal jauh dibanding perkembangan daerah lain. Oleh
karena itu dirinya berharap dalam musyawarah ini dicapai kesepakatan-kesepakatan
yang mampu mengantarkan Maluku pada satu titik akhir, dan bersifat win-win solution
sebagai solusi yang dipandang cukup memadai dengan menggunakan pendekatan
berbasis budaya.
Disisi lain Sultan menyatakan, sejak tahun-tahun terakhir ini sikap masyarakat
Indonesia yang terkenal ramah tampak semakin hilang ditelan eforia reformasi. Oleh
karena itu dirinya juga memaklumi jika seringkali terjadi saling silang antar
masyarakat yang mengganggu keselarasan koesistensi damai dalam berbagai ruang
budaya.
Hal ini menurutnya, telah menjadi fenomena nasional yang juga menandai adanya
identitas budaya kita yang tengah berada dipersimpangan jalan. Padahal identitas
budaya bangsa Indonesia menurut Sultan, telah mengalami pengentalan selama
hampir satu abad sejak pergerakan bangsa di masa perang kemerdekaan.
Krisia budaya menurutnya, merupakan tarik menarik antara kekuatan integerasi dan
disintegerasi yang menuju pada dua arah yang kemungkinannya pulih atau hancur.
Namun sebagai bagian dari masyarakat Indonesia kita tidak boleh berangkat dari
pesimisme.
"Karena perjalanan negeri ini selalu diwarnai kegelapan, terutama saat memasuki
masa-masa transisi. Saya kira kita perlu renungkan dengan hati nurani yang bersih
agar kita semua semakin peka untuk menghargai hidup dan kehidupan termasuk
dalam menyikapi tragedi kemanusiaan di Maluku," kata Sultan. (ir)
Copyright © 1998 - 1999 ADIL dan detikcom Digital Life.
|