KOMPAS, Jumat, 03 Januari 2003
Rasa Aman, Mahal dan Mewah di Masohi
PUKUL 19.30 akhir Desember 2002, kota Masohi begitu senyap. Berjalan dari
Lapangan Nusantara ke pusat kota yang basah oleh hujan deras sepanjang sore,
hanya suara sember gerombolan kodok yang mengisi kegelapan malam. Tidak ada
satu pun kendaraan yang melintasi jalanan basah itu. Setiap malam selepas magrib,
ibu kota Kabupaten Maluku Tengah itu seperti kota tidak berpenghuni.
Siang hari, sisa rentetan kerusuhan yang melanda Masohi, yang terlihat adalah
puing-puing rumah ibadah yang dirimbuni ilalang dan semak belukar, serta tatap mata
tajam penuh curiga terhadap orang yang tidak dikenal. Kerusuhan yang melanda
Maluku, diawali kerusuhan di Ambon 19 Januari 1999, pada akhir 1999 merembet ke
Masohi. Sejak saat itu warga Muslim dan Kristen terpisah di komunitas
masingmasing. Jika tidak ada keperluan mendesak, mereka enggan keluar. Hingga
kini, korban kerusuhan yang beragama Kristen tidak berani kembali ke rumahnya di
komunitas Muslim, begitu pula sebaliknya.
Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal menuturkan, suasana Kota Masohi
beberapa bulan terakhir lebih kondusif. Sepanjang enam bulan terakhir tidak ada
kerusuhan yang meminta korban jiwa dan materi, meskipun pada pertandingan sepak
bola 17 Agustus-an lalu sempat terjadi keributan antara "kesebelasan komunitas
Muslim" dengan "kesebelasan komunitas Kristen".
Pascakerusuhan, rasa aman memang sesuatu yang paling mahal dan mewah di
Masohi. Menurut tokoh masyarakat Masohi, Junus Polnaya (67), untuk bangkit dari
puing-puing kerusuhan, prioritas yang mutlak dibutuhkan Masohi adalah rasa aman.
Rasa aman yang dimaksud Polnaya tidak serumit dan seabstrak "kondisi aman dan
kondusif" yang kerap didengungkan pejabat-pejabat daerah di Maluku.
"Ukuran rasa aman itu sederhana saja, yaitu warga Muslim dan Kristen bisa kembali
ke daerah asal masingmasing. Selama mereka di pengungsian, Masohi belum bisa
disebut aman. Bupati baru bisa dibilang sukses jika pengungsi bisa kembali dan
tinggal di daerah asal masing-masing," kata Polnaya.
Rasa aman merupakan modal awal bagi Masohi untuk kembali bangkit. Tanpa rasa
aman, pembangunan kembali (rebuilding) dan penataan kembali (resetlement) Masohi
yang digantungkan pada sektor swasta tak akan terwujud. anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) Maluku Tengah, yang sebelum kerusuhan rata-rata sekitar 60
persen disumbangkan oleh kota tersebut, jelas tidak mampu membiayai rebuilding
dan resetlement itu. Sumber dana yang diandalkan adalah sektor swasta.
"Kalau belum ada rasa aman, apa yang mau dibangun kembali? Masohi
menggantung harapan sangat besar pada sektor swasta. Dulu, Masohi dipenuhi
pengusaha dari Jawa, Makassar, dan Manado. Namun, kerusuhan membuat mereka
meninggalkan Masohi. Sampai kini belum satu pun yang kembali," papar Polnaya.
Sekarang, rasa aman itu belum ada?
"Begini. Saya tinggal di komunitas Kristen. Kami mau saja menerima tetangga kami
yang kebetulan Muslim kembali ke kampung kami, tetapi apa dia mau dan berani?
Kami di sini belum memiliki ketegasan hukum. Seandainya ada warga Kristen dan
Muslim yang mau kembali ke rumah masing-masing, ambil tindakan kalau ada yang
coba-coba mengganggu mereka. Kalau itu dibiarkan, rasa aman tidak akan pernah
tumbuh. Jadi, persoalan konkretnya adalah penegakan hukum. Selama ini, jika terjadi
perusakan dan penganiayaan terhadap rumah dan warga yang bermaksud kembali ke
kampung mereka, tidak ada tindakan hukum apa-apa dari aparat keamanan," kata
Polnaya.
Potret Masohi pascakerusuhan memang jauh berbeda dengan Masohi sebelum
Maluku rusuh. Rangkaian kerusuhan membuat potret indah masa jaya Masohi
menjadi potret buram puing-puing sebuah kota. Cikal bakal Masohi sebagai ibu kota
Maluku Tengah berawal dari perubahan Negara Indonesia Timur menjadi Daerah
Swatantra Tingkat II Maluku Tengah tahun 1952. Ketika itu, Ambon yang menjadi ibu
kota Daerah Swatantra Tingkat II Maluku Tengah. Tanggal 17 Agustus 1959, melalui
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, ibu kota dipindah ke Masohi di Pulau
Seram-pulau terluas di Maluku.
Masohi saat itu masih berupa hutan. Menurut Polnaya yang menjabat Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Maluku Tengah antara tahun 1980-1991, pembangunan
Masohi sebagai ibu kota antara tahun 1959-1969 merayap amat lambat karena belum
ada sarana transportasi, infrastruktur ekonomi, dan sarana pendidikan. Tahun 1957,
Presiden Soekarno meresmikan pembangunan Jalan Lintas Seram ditandai
penanaman pohon beringin di Lapangan Nusantara, alun-alun kota Masohi. Jalan
Lintas Seram itu menghubungkan bagian selatan (Masohi) dengan bagian timur,
bagian selatan dengan bagian utara, dan bagian selatan dengan bagian barat. Tahun
1969, memasuki rencana pembangunan lima tahun (Repelita) pertama, "pembabatan
alas" Masohi, 10 tahun pertama membuahkan hasil berupa berdirinya
sekolah-sekolah, dilaksanakannya program inpres jalan, serta pembangunan
infrastruktur ekonomi.
Ibarat lentera yang menarik laron-laron, pembangunan kota Masohi disertai urbanisasi
dari daerah-daerah sekitar, membuat Masohi semakin hidup dan berwarna. Menurut
rencana induk (master plan) Maluku Tengah, Masohi dicita-citakan sebagai kota
terindah di kabupaten tersebut. Ditambah lancarnya penyeberangan laut dan
penerbangan dari Ambon ke Masohi, dari waktu ke waktu Masohi terus berkembang.
Namun, kerusuhan yang dimulai tahun 1999 ibarat jentikan jari yang memusnahkan
hasil pembangunan selama puluhan tahun itu. Amuk massa dan rasa saling benci
dalam sekejap membuat Masohi jatuh ke titik nol.
Selain mengharuskan 98.867 jiwa warga Kabupaten Maluku Tengah menjadi
pengungsi, kerusuhan mengakibatkan penerbangan Ambon-Masohi dan pelayaran feri
dari Pelabuhan Liang (Pulau Ambon) ke Pelabuhan Kairatu terhenti, dan larinya
investor dan pengusaha kecil.
Hingga kini, rasa aman adalah barang paling mahal yang belum terbeli. (Ferry Irwanto)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|