KOMPAS, Senin, 27 Januari 2003
Pesta Kecil di Balik "Status Quo" Transportasi
SAMBIL menggenjot becak, Piet Alfons, terus mengisap rokok putihnya. Tanggung,
kata pemuda 25 tahun yang tiap pagi mangkal di depan Hotel Amans, Ambon,
Maluku itu. Rokok memang bukan simbol gaya hidup serta tidak menunjukkan status
sosial dan ekonomi pengisapnya. Namun, di kota besar seperti Jakarta sekalipun,
sulit dijumpai pekerja kasar seperti Alfons mengisap rokok putih yang harga per
bungkusnya Rp 6.500-Rp 7.000 itu.
ALFONS, yang dalam bayangan kita hanya mengumpulkan receh demi receh
sehari-harinya, setiap hari menghabiskan satu bungkus rokok sponsor lomba balap
mobil Formula 1 itu. Sulit membayangkan berapa pendapatannya per bulan, jika
untuk pengeluaran rokok dalam sebulan saja mereka memerlukan uang Rp
195.000-Rp 210.000.
Januari ini, empat tahun sudah tragedi kemanusiaan di Ambon berlalu. Kerusuhan
yang meletus 19 Januari 1999 hanya gara-gara aksi pemerasan pemuda itu diikuti
rangkaian kerusuhan lanjutan dan menyebar luas ke seluruh Maluku. Perasaan saling
benci dan dendam antara umat Islam dan umat Kristen membuahkan pembakaran,
pembinasaan, dan pembunuhan. Sendi-sendi ekonomi, hukum, sosial, politik, dan
budaya meleleh oleh api dendam. Jika tidak kehilangan nyawa, masyarakat
sedikitnya kehilangan lapangan pekerjaan.
Membayangkan betapa hancurnya sendi perekonomian di Ambon akibat rentetan
kerusuhan, lalu menyaksikan Alfons mengisap rokok putihnya, membuat kening
berkernyit tanda tidak mengerti. Berapa penghasilan Alfons sebagai penarik becak,
yang membuat dia tidak bermasalah dengan pengeluaran untuk rokok putihnya?
"Kalau lagi sepi, seharian saya mendapat sekitar Rp 50.000. Kalau lagi ramai, bisa
Rp 150.000 sehari. Dipotong uang sewa becak Rp 15.000 per hari, sebesar itulah
pendapatan saya," kata Alfons membuka rahasia. Jika dalam satu bulan pemuda itu
menarik becak selama 25 hari, dalam sebulan dia mengantungi pendapatan Rp
875.000-Rp 3.375.000.
Dalam bahasanya yang sederhana, Alfons menjelaskan, di samping membawa
musibah dan kesengsaraan, rangkaian kerusuhan yang melanda Maluku juga
membawa "berkah". Dia menuturkan, sebelum terjadi kerusuhan, hampir tidak ada
nyong Ambon yang menjadi penarik becak. Orang Ambon, demikian Alfons, bersifat
priyayi, sehingga pekerjaan menarik becak ketika itu umumnya dilakoni pendatang
dari Buton, Bugis, dan Makassar (BBM).
Setelah terjadi kerusuhan, komunitas masyarakat terbagi menjadi dua, Muslim dan
Kristen. Angkutan kota, yang sebelum kerusuhan menghubungkan seluruh wilayah di
Ambon, juga terbagi menjadi dua. Angkutan kota yang umumnya melewati
lokasi-lokasi komunitas Muslim berpangkalan di Batu Merah, sedangkan angkutan
kota yang melewati lokasi-lokasi komunitas Kristen berpangkalan di kawasan Chitra.
Angkutan kota bertrayek komunitas Muslim tidak berani memasuki komunitas
Kristen, begitu pula sebaliknya. Akibatnya, untuk bepergian ke tempat-tempat yang
jauh cukup melelahkan jika ditempuh dengan berjalan kaki, warga masyarakat
memilih naik becak. Namun, para penarik becak asal BBM yang umumnya beragama
Islam tidak berani melewati lokasi-lokasi komunitas Kristen.
Inilah yang dimaksud "berkah" oleh Alfons. Karena kebutuhan masyarakat akan jasa
penarik becak itu demikian tinggi dan penarik becak asal BBM tidak berani melintasi
komunitas Kristen, nyong Ambon yang beragama Kristen pun mengambil
kesempatan tersebut. Mereka menjadi penarik becak, mengisi ceruk pasar yang tidak
dimasuki kolega asal BBM. Apa pun alasannya, karena impitan keadaan ataukah
justru memanfaatkan kesempatan, pekerjaan menarik becak menjadi lahan nafkah
baru bagi mereka.
Ridwan, pemuda Bugis yang juga menarik becak dan biasa berpangkalan di Batu
Merah, menuturkan hal senada. Namun, Ridwan tidak merasa rezekinya terebut oleh
penarik becak nyong Ambon. "Rezeki sudah diatur Allah. Saya tidak sedikit pun
merasa tersaingi oleh penarik becak penduduk asli. Biarlah kami berbagi rezeki, toh
saya juga di sini merantau," kata Ridwan, yang menarik becak di Ambon sejak tahun
1997.
Di samping penarik becak, ojek sepeda motor juga mendapat "berkah". Seiring
dengan terputusnya jalur angkutan kota antara komunitas Muslim-Kristen, ojek
sepeda motor juga kian menjamur. Secara terpisah, John, tukang ojek yang biasa
mangkal di Tanah Tinggi (kawasan komunitas Kristen), dan Bobby yang mangkal di
depan Hotel Wijaya II, menuturkan, rata-rata pendapatan harian mereka mencapai Rp
100.000. Bagi pelanggan yang sudah dikenal baik, Bobby dan rekan-rekannya yang
dapat dijumpai di depan Hotel Wijaya II bisa juga menyewakan motor mereka dengan
tarif Rp 15.000 per jam.
Jika tukang becak dan ojek melayani tujuan dalam kota, perjalanan ke luar kota
menjadi rezeki pengemudi mobil-mobil pribadi yang disulap menjadi mobil carteran
dan taksi. Dengan tarif carter mobil per jam berkisar Rp 30.000-Rp 40.000, atau Rp
300.000 untuk pemakaian seharian, sang sopir siap mengantar penumpang ke mana
pun.
Tidak hanya di darat sedikit nikmat di balik kerusuhan bisa dipetik. Juga akibat
kerusuhan, operasional feri Ambon-Masohi (Pulau Seram) dihentikan sejak akhir
tahun 1999. Setelah feri tidak lagi beroperasi, speed boat yang melayani
penyeberangan Ambon-Masohi makin marak. Sama seperti pangkalan angkutan kota,
pangkalan speed boat di Pulau Ambon pun terbagi dua, di Tulehu untuk kalangan
Muslim dan di Passo untuk kalangan Kristen.
Sjamsul, pemuda Makassar yang menjadi pengemudi speed boat yang mangkal di
Tulehu, mengisahkan, rata-rata dia bisa membawa pulang uang Rp 100.000 setiap
harinya--setelah dipotong uang setoran kepada tauke, biaya solar, dan upah bagi dua
asistennya. Untuk tiap sekali menyeberang, speed boat Sjamsul rata-rata
mengangkut 25 penumpang, dengan tarif Rp 45.000 per orang. Sebelum kerusuhan,
tarif penumpang hanya Rp 15.000 per orang.
"Sejak feri berhenti beroperasi, setiap hari saya bisa jalan dua rit
(Ambon-Masohi-Ambon, atau Masohi-Ambon-Masohi). Kalau lagi ramai, bisa juga tiga
rit," kata Sjamsul, yang menggunakan motor berkekuatan 160 PK.
Ketika kerusuhan masih marak melanda Ambon dan sekitarnya, demikian Sjamsul,
aparat TNI juga sempat kecipratan rezeki. Ketika itu, untuk menjamin keamanan
speed boat dari penembakan gelap, tiap speed boat menyewa jasa seorang aparat
TNI untuk turut menyeberang, dengan biaya Rp 100.000-Rp 150.000.
Menurut Sjamsul, pelaku penembakan gelap itu "orang seberang" (sebutan untuk
orang yang berbeda komunitas agama). Ketika ditanya lebih lanjut apakah dia
mempunyai bukti "orang seberang" yang melakukannya, dan bukan oknum TNI
supaya tawaran jasa pengamanan tidak ditolak, Sjamsul angkat bahu. "Tak tahulah.
Pokoknya penembakan gelap. Tetapi, syukurlah, setengah tahun terakhir ini keadaan
sudah aman, tidak ada lagi penembakan gelap sehingga kami tidak perlu lagi
menyewa jasa pengamanan," katanya.
Beda di speed boat, beda pula di karaoke. Meskipun keadaan Ambon sudah relatif
lebih aman dibandingkan beberapa saat sebelumnya, sejumlah oknum aparat
keamanan hampir setiap malam menagih "uang keamanan" di karaoke-karaoke yang
ada di Kota Ambon. Suatu malam pada pertengahan Desember, Kompas
menyaksikan sendiri beberapa oknum polisi dalam seragam dinas menagih sejumlah
uang dan beberapa bungkus rokok di karaoke Hotel Amans. Sekitar satu jam
kemudian, giliran beberapa oknum Polisi Militer (PM) yang juga berseragam dinas
meminta jatah yang sama.
APAKAH transportasi di Ambon akan dibiarkan seperti itu--dalam kondisi status quo,
terbelah dua dan terputus? Sampai kapan masalah transportasi di Ambon tetap
menjadi seperti teka-teki silang yang tidak bisa sepenuhnya terisi?
Kepala Dinas Perhubungan Maluku LA Waleuru saat dijumpai Kompas awal Januari
di Ambon menuturkan, dalam waktu dekat belum akan ada perubahan terhadap
kondisi angkutan darat di Ambon.
"Untuk angkutan darat, saya pikir tidak akan ada perubahan. Anda kan lihat
bagaimana situasi keamanan sekarang, sudah bagus sekali dibandingkan bulan-bulan
lalu. Namun, kita tidak boleh ceroboh. Usaha ke arah itu (menormalkan kembali
transportasi di Ambon) tetap akan dilakukan, tetapi kalau kondisi masyarakat sendiri
masih belum bisa...? Kita harus melakukannya secara alamiah. Selain itu, sarana
dan prasarana pendukung sudah habis. Terminal-terminal, misalnya, kan sampai
sekarang belum dibangun lagi. Jadi, kita memang belum bisa berbuat banyak,"
katanya.
Sementara itu, mengenai angkutan laut, Waleuru menuturkan, "Soal penyeberangan
itu lebih kena kalau ditanyakan ke PT ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan
Penyeberangan) yang berada di bawah Menteri Negara BUMN, untuk bagaimana
mereka bisa mendatangkan feri ke Maluku. Kita sudah meminta berulang-ulang,
tetapi tidak ada jawaban. Dulu PT ASDP memang berada di bawah Departemen
Perhubungan, tetapi sekarang tidak lagi."
Waleuru mengaku tidak dapat memperkirakan kapan kondisi transportasi di Ambon
akan kembali normal. Yang penting, katanya, kondisi keamanan di Ambon sudah
lebih baik dan kondusif. "Satu per satu warga Muslim sudah bisa masuk ke
komunitas Kristen, begitu pula sebaliknya. Kita berjalan dengan itu dulu," ujarnya.
Ditanya, apa agenda Dinas Perhubungan Maluku untuk tahun 2003 ini, Waleuru
mengemukakan, "Saya kira (dibicarakan) nanti di saat kita jumpa pers saja. Kalau
kita salah ngomong, masyarakat jadi bertanya-tanya lagi. Pada kondisi seperti ini,
barangkali sebaiknya kita kendalikan diri dululah. Jangan ngomong sembarangan
kepada masyarakat. Pers ini kan memberikan pemahaman kepada masyarakat.
Kalau kita salah memberikan pemahaman kepada masyarakat, kan bisa
menimbulkan kepanikan...." (fey)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|