The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Masariku Network


MASARIKU UPDATE 08 Januari 2003

Refleksi Awal Tahun

Dear All,

Tepat jam 24.00 WIT tanggal 31 Desember 2002, terdengar bunyi sirene sambung menyambung dari berbagai kapal yang berlabuh di pelabuhan Ambon. Raungan sirene seakan menjadi pemicu bagi pelbagai bunyi lainnya di seantero kota. Tembakan senjata organik menyalak dalam ritme satu-satu, ataupun berentetan. Disana-sini ledakan bom terdengar memekakan telinga, diselingi ledakan-ledakan lain yang lebih kecil bunyinya. Di udara terlihat berbagai jenis kembang api yang ditembakan mewarnai pekatnya malam. Ribuan botol pelita dibakar lalu diatur rapi sepanjang jalan raya. Sebagian wajah kota pekat diselimuti asap. Sementara itu aparat keamanan mengambil posisi siaga pada sejumlah pos yang digelar di berbagai sudut kota.

Di bundaran tugu Trikora masa dari dua komunitas yang bertikai selama ini, bergerombol dan berhadap-hadapan. Mereka disekat puluhan aparat keamanan, maupun barikade-barikade berduri yang dipasang. Namun tak nampak amarah di wajah mereka. Tidak juga terdengar teriakan-teriakan saling mengejek dan memprovokasi. Tangan mereka tidak menggenggam bedil, parang, ataupun bom yang siap dilemparkan satu kepada lainnya. Amarah telah tergantikan dengan teriakan-teriakan gembira penuh sukacita. Bedil dan parang diganti ribuan trumpet kertas warna-warni, yang ditiup semarak tanpa nada. Pada tempat yang paling berdarah di pusat kota, selama berlangsungnya konflik. Orang-orang bergerombol menabur harapan. Berdiri diatas bekas-bekas genangan darah, yang telah jauh meresap ke dasar bumi. Bunyi bom, tembakan, asap, dan teriakan tidak lagi pertanda perang. Melainkan sukacita warga kota menyambut datangnya tahun baru. Tahun penuh harapan akan datangnya perdamaian abadi. Di tengah realitas negeri yang terkoyak akibat konflik sosial terbesar sepanjang sejarah perjalanan Indonesia. Konflik yang mengedepankan pembelaan terhadap panji-panji akidah agama, dan menyembunyikan rapat realitas pertarungan politik sebagai sumbu pemicu. Konflik yang tidak saja melahirkan para pembela hak rakyat tertindas, tetapi juga memproduksi gerombolan koruptor dan manipulator hak-hak rakyat tergusur.

Kami masih tetap berada disitu, pada batas pergantian tahun yang akan lalu dan datang. Mencoba kembali ke oasis batin yang bernama nurani, dan merenung dalam-dalam makna perdamaian. Perdamaian yang pernah kami kenal dan pelajari bersama di dalam sebuah rahim kultur. Kultur anak-anak adat yang mewajah pada ikatan-ikatan persaudaraan sejati. Patasiwa dan Patalima, Pela dan Gandong. Perdamaian yang terlahir bukan di atas sejarah putih tanpa perang. Karena toh Wemale dan Alune telah menorehkan karakter perang antar saudara. Namun perdamaian yang selamanya semakin mengental pada wujud ikatan bersaudara, ketika kita bersepakat mengakhiri perang. Makna kosmologi dualistis antara perang dan damai. Bejana kelahiran bagi jiwa anak-anak Maluku. Karenanya kita sungguh khatam bagaimana mengatur perang. Tetapi juga merajut damai. Namun dalam ziarah batin ini, perdamaian terasa begitu pahit. Karena terlahir sebagai kebutuhan dari perang yang telah terkotori atas nama agama, demi ambisi-ambisi politik yang secara licik menyembunyikan cakarnya. Sementara agama yang kita imani, tak selalu mampu dihayati secara purna pada tataran dialog batin. Lapisan lazuardi universal dimana kita menyatu dalam pertemuan dengan Sang Khalik. Tempat dimana kata-kata tak mampu mewakili ekspresi rasa. Bahkan sekedar untuk mengatakan saya Muslim atau Kristen. Karenanya dengan gampang keberagamaan ditundukan, serta terjerat dalam jejaring mafia politik. Kehilangan fitrahnya sebagai lautan teduh, bejana kebajikan, cinta, dan perdamaian.

Karenanya ziarah perdamaian harus bermula pada sebuah dialog batin. Melepaskan ruh dari labirin-labirin debu penuh kerosi kehidupan. Lalu masuki ruang pertautan dengan Sang Khalik. Lahan kepasrahan tempat iman disemaikan. Bukankah disitu akan kita temukan bahwa harkat kita Cuma ciptaan. Tanpa otoritas untuk mengangkat tangan dan menghancurkan sesama ciptaan. Bahkan untuk alasan akidah agama sekalipun. Bukankah disitu akan kita temukan bahwa bilur-bilur penderitaan dan air mata, adalah tahapan ujian bagi pemurnian jiwa. Bukankah disitu akan kita temuan bahwa dendam dan pembalasan adalah melulu hak Ilahi.

Dialog batin bukan sebuah basa basi politik. Pun juga bukan sebuah debat publik untuk menentukan benar dan salah. Karena di dalam percakapan nurani kita melebur diri kepada kebenaran itu sendiri. Dialog batin membutuhkan penundukan tanpa reserve, untuk memaknai hakekat transendental dalam perjumpaan dengan Kebenaran Hakiki. Dialog batin adalah pelepasan raga dan bukan lagak. Peresapan rasa dan bukan kata. Laksana seorang pengelana menemukan dan melebur diri kedalam sangkan parannya, maka dialog batin merupakan sangkan paran tempat kita membasuh diri. Membasuh realitas perpolitikan yang menisbikan moral. Karena memang bermula dari dialog batin, kita temukan pemaknaan nilai luhur polithea. Sebagai tolak ukur penataan hidup perpolitikan sepanjang sejarah. Membasuh wajah hukum yang membusuk dan tergadaikan. Karena bertolak dari dialog batin kita peroleh pencerahan tatanan hukum kodrat, sebagai penerang abadi realitas hukum positif. Bahkan membasuh penampakan keberagamaan formal dan simbolis, yang mengklaim kebenaran pada kutub-kutub umat yang tersegregasi. Karena bertolak dari dialog batin pula, kita melembagakan pengalaman-pengalaman religius kita, di dalam wajah berbagai agama.

Sesungguhnya wilayah dialog batin tidaklah jauh dari kita. Ia bukan sebuah ruang maya yang perlu dicari dengan susah payah. Kita bahkan kerap mengunjunginya, sepanjang ziarah pembatinan diri. Hanya saja kita tak cukup berani memaknainya dalam realitas pertarungan kemanusiaan kita. Karena memang dialog batin mengharuskan keberanian. Untuk memaknakan cinta kasih pada ranah kemanusiaan. Untuk mengalungkan pengorbanan diri pada kursi para penguasa. Untuk melekatkan keadilan pada lidah para pendekar hukum. Untuk menyiramkan pengampunan pada api dendam dan amarah. Untuk melahirkan perdamaian dari rahim permusuhan dan kebencian.

Ziarah perdamaian di kedalaman dialog batin bukan lalu berarti menisbikan ketidakadilan dan ketidakbenaran, di bawah ketiak cinta kasih dan pengampunan. Sebaliknya melalui dialog batin diperoleh keberanian jiwa, untuk mewartakan keadilan dan kebenaran. Tetapi juga kebesaran budi untuk menerima maknawi keadilan dan kebenaran hakiki. Sekalipun mungkin terasa pahit, untuk dikunyah dan ditelan. Karena mengunyah akar pahit keadilan dan kebenaran, adalah jauh lebih berguna untuk menggandakan takaran kemanusiaan kita. Ketimbang mengulum pucuk manis ketidakadilan dan ketidakbenaran. Demi kalungan untaian kuasa dan uang yang temporer, yang selamanya harus tertanggalkan ketika kita masuki percakapan nurani. Karenanya ziarah perdamaian harus terus berlanjut. Sampai tempayan nurani mengalirkan keadilan dan kebenaran, untuk menggemburkan lahan cinta kasih dan pengampunan.

SELAMAT MEMASUKI TAHUN 2003

MASARIKU NETWORK AMBON
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kesui2001
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044