MASARIKU UPDATE 10 Desember 2002
Dear All,
Situsi pasca Idul Fitri membuat kita sedikit miris, dengan terjadinya pertikaian antara
masyarakat Negeri Ureng dan Negeri Asilulu di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon.
Persoalannya sepele, hanya diakibatkan oleh senggolan dilaut antara speed boat
Negeri Ureng dan sebuah sampan/kole-kole asal Negeri Asilulu. Senggolan tersebut
berbuntut pada pemukulan yang dilakukan oleh pengemudi sampan dimaksud
terhadap pengemudi speed boat, ketika keduanya merapat di Pulau Tiga. Pemukulan
yang tak diterima tersebut menyeret pada penyerangan yang dilakukan masyarakat
Negeri Ureng ke Asilulu pada jam 24.00. Konflik terbuka pecah. Warga dari dua
negeri bertetangga itu saling baku tembak dan baku bakar. Tercatat 18 orang terluka,
4 orang meninggal dunia (sampai saat ini), 29 rumah di negeri Asilulu terbakar habis.
Sementara di Negeri Ureng 8 rumah rata dengan tanah.
Ironis memang bahwa masyarakat Maluku telah terkondisikan untuk
menginternalisasi karakter kekerasan yang terintrodusir oleh perjalanan panjak konflik
selama ini. Kekerasan menjadi buah kandungan yang sewaktu-waktu terlahirkan oleh
persoalan-persoalan sepele. Kekerasan yang mewujud tidak saja secara fisik,
melainkan juga kekerasan politis, dan kekerasan ekonomi.
Kekerasan bisa milik siapa saja di negeri ini. Kekerasan bisa milik seorang ibu tua
pedagang pasar kaget Batu Meja, yang memukul aparat dengan peti kayunya hingga
semaput. Persoalannyapun sepele. Hanya karena dengan sedikit kasar aparat
kotapraja itu memintanya memindahkan barang dagangannya dari ruas jalan raya
yang menyempit. Kekerasan juga bisa menjadi miliki Front Pembela Islam Maluku
pimpinan Husni Putuhena, yang menggelar demonya kemarin di halaman Masjid
Raya Alfatah. Mengusung demo untuk menolak carateker gubernur Sinyo
Sarundayang dan menuntut diangkatnya Nurdin Ralla bisa saja diterima sebagai
sebuah performa demokrasi. Namun usungan demo yang terbingkai fitnahan dan
ancaman dengan mengatasnamakan umat Muslim (yang kemudian dibantah berbagai
ormas Islam), hanyalah cara-cara usang untuk memprovokasi publik sebagai bentuk
kekerasan politik. Kekerasan bisa juga milik para pengungsi di Maluku Tenggara,
yang menyerang, menghancurkan, dan membakar kantor dinas sosial kabupaten
Maluku Tenggara di kota Tual pada tanggal 4 Desember lalu, hanya karena merasa
ditipu terus menerus oleh para pejabat dinas terkait.
Kekerasan telah dipertuankan ketimbang jalan dialog yang bermartabat. Namun
menilai kekerasan publik berdasarkan konsep etis 'benar' – 'salah' adalah sebuah
dilema tersendiri. Terutama ketika kekerasan publik mengemuka sebagai proyeksi
ketidakpuasan masyarakat. Kegalauan terhadap struktur-struktur politis dan
ekonomis yang memaksakan penundukan dan penerimaan publik, terhadap realitas
ketidak-adilan dan ketidak-benaran. Sementara hukum memperhambakan dirinya
pada ketiak penguasa. Kekerasan lalu terlahirkan sebagai sebuah reserve akhir dari
naluri liar masyarakat.
Menelusuri fenomena kekerasan di Maluku saat ini, menggiring kita menapaki sebuah
rantai kekerasan yang menimbulkan efect domino di setiap mata rantai. Tengoklah
ketika pertarungan para kandidat gubernur mulai memasuki arena pembantaian
karakter. Setiap kubu merasa sah saja untuk mengekspose titik lemah para lawan,
sebagai bagian dari sebuah game yang dianggap absah. Rakyat dipaksa untuk
menerima atau menolak berdasarkan besarnya kadar keburukan kandidat. Tanpa
menyediakan ruang yang sejajar untuk melakukan pengkajian publik, terhadap
kwalitas kepemimpinan dan prosentase keberhasilan. Ruang-ruang dialog publik
ditutup paksa oleh proses hegemoni intelektual, yang dilakukan oleh segelintir
intelektualis yang merasa paling berhak dalam kapling pembentukan opini publik.
Pada gilirannya grass root group distimulir sebagai kelompok pemukul yang siap
menjegal secara fisik, bila proses hegemoni dan manipulasi intelektual tak lagi ampuh
mencapai target.
Soal di atas hanya sebuah potret kecil yang buram dari seluruh realitas kekerasan,
yang mengemuka sebagai profil psiko-sosial masyarakat Maluku saat ini. Dan sekali
lagi, 'orang tak peduli'. Orang menerima penekanan kekerasan ke dalam rahim bawah
sadarnya. Karena orang sudah khatam bagaimana perihnya kekerasan
mencabik-cabik nurani, tanpa pernah mampu terurai oleh suatu proses hukum yang
teruji. Meskipun demikian sejauh ini kekerasan tidak lagi mewabah secara masif,
sebagai manifestasi solidaritas kelompok berbasis agama. Ada kecenderungan kuat
untuk mengalienasi kekerasan dari benturan antar kelompok agama. Tipologi
golongan lebih ditandai dengan pertarungan ekonomi, dan mengisi posisi-posisi politik
publik. Kekerasan mengalami reposisi ruang dan objek, dan menjelma pada
lingkup-lingkup yang lebih terbatas. Toh begitu tidak lalu berarti bahwa kekerasan
telah tereduksi dari dinamika keseharian rakyat. Ia hanya bergeser ruang sambil
memilih bentuk penampakan dengan objek-objek yang berbeda. Karena kekerasan
telah diterima sebagai buah kandungan rakyat, yang sewaktu-waktu terlahirkan
ditengah keluarga, lingkungan pergaulan, ataupun interaksi-interaksi sosial yang lebih
luas.
BERSAMBUNG
MASARIKU NETWORK AMBON
|