The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Masariku Network


MASARIKU UPDATE 08 Desember 2002

Dear All,

Situasi Ambon dan sekitarnya sampai saat ini terlihat tenang-tenang saja. Interkasi penduduk diantara dua komunitas yang bertikai selama ini berlangsung lebih intens. Hal itu antara lain nampak dengan semakin leluasanya kedua pihak untuk memasuki wilayah-wilayah yang telah tersegregasi secara total selama berlangsungnya konflik. Kecurigaan dan rumours-rumours yang biasanya ramai dipercakapkan pada waktu-waktu sebelumnya semakin berkurang seiring bergeraknya waktu. Aktifitas masyarakat terlihat lebih banyak diarahkan pada pengembangan ekonomi, yang terpuruk akibat konflik yang memporak-porandakan seluruh sektor kehidupan. Suasana memasuki Idulfitri sendiri berlangsung dengan aman. Sekalipun mengawali malam takbiran dipasang banyak barikade untuk menyekat daerah komunitas Muslim dan Kristen, namun ternyata sampai saat ini tak terlihat adanya kejadian-kejadian yang menyolok. Dalam suasana ini Masariku Network sendiri memperoleh kesempatan untuk memasuki dua masjid besar di kota Ambon. Masing-masing Masjid Raya Alfatah, dan Masjid Jami. Belakangan memang kami dipercayakan untuk membuat clip-clip televisi bagi iklan layanan masyarakat, berkaitan dengan proses-proses interaksi antar dua komunitas yang bertikai selama ini. Untuk maksud itulah, selama dua hari Masariku Network Ambon diijinkan (dan bahkan disambut) ketika memasuki Masjid Jami dan Alfatah, disaat sedang berlangsungnya sembahyang umat Muslim disitu.

Apakah ini merupakan tanda-tanda bagi berakhirnya seluruh pertikaian yang terjadi selama ini?. Seluruh kalangan masyarakat cenderung berharap demikian. Sekalipun tentunya rasa saling percaya diantara kedua komunitas masih harus terus ditumbuhkan.

Situasi Ambon dan sekitarnya yang semakin kondusif tidak lalu berarti terselesaikannya seluruh persoalan yang muncul sebagai dampak konflik. Segregasi wilayah antara Kristen dan Muslim seakan telah mempertegas kapling-kapling sosial dan georgrafis antara Salam dan Sarane, yang cenderung telah terwariskan sejak zaman Belanda dulu. Ironisnya batas-batas sosio-geografis ternyata juga terinternalisasi dan mengental pada wilayah pemahaman dan kesadaran publik. Hal ini bahkan terbingkai dalam struktur-struktur kalimat ditengah pergaulan masyarakat sehari-hari. 'Daerah Katong' vs 'daerah dong' ; 'pi di dong' vs 'datang ke katong' adalah beberapa contoh istilah yang menegaskan betapa parahnya proses pembelahan masyarakat telah terjadi. Warga kota Ambon dan sekitarnya telah terpaksakan untuk mengenal dan memahami dirinya diantara dua kutub. 'Kami' dan 'Mereka'.

Dibelakang pengkutuban antara 'kami' dan 'mereka' terseret rangkaian memori terhadap hancurnya sebuah kehidupan bersama. Kehidupan 'kita'. Pengahancuran yang mungkin tidak akan pernah dimengerti, baik aktor maupun tujuannya. Penghancuran yang dipaksakan untuk terlupakan dari lembaran-lembaran memori publik, berdasarkan alasan klise 'jangan lagi memancing munculnya ketegangan baru'. Karenanya masyarakat digiring juga untuk menerima penyelesaian persoalan Maluku sebagai suatu penyelesaian politik, dengan menegasi realitas ketidakadilan, ketidakbenaran, pelanggaran Ham, serta sejumlah pengalaman pahit yang terlanjur telah terkandung dalam proses pembentukan karakter generasi baru Maluku. Padahal jujur harus diakui bahwa pendekatan politik tidak sangat banyak memberi kontribusi bagi terciptanya situasi kondusif saat ini. Bahkan mungkin sebaliknya lebih banyak menimbun persoalan. Malino II umpanya, ternyata lebih merupakan sebuah upaya penyelesaian pada level politik, dalam upaya mencuci wajah pemerintah ditengah berkembangnya opini international tentang ketidakmampuan pemerintah Indonesia. Ketimbang sebuah usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan Maluku. Toh sampai saat ini ketidakseriusan itu nampak nyata dari proses implementasi Malino II yang baru berlangsung lebih kurang 40% dari total semua item yang disepakati di malino. Celakanya selama tenggang waktu pengimplementasian deklarasi Malino II (Pebruari 2002 s/d Oktober 2002) tak satupun tim monitor yang dibentuk untuk mengawasi proses implementasi butir-butir kesepakatan tersebut, sebagaimana yang disepakati di Malino. Hal ini mengakibatkan terjadinya berbagai penyimpangan dalam upaya penanggulangan kerusuhan, yang hampir seluruhnya keluar dari pembingkaian kesepakatan Malino II. Tak melulu salah bila kemudian berkembang opini bahwa Malino II menjadi bukti, bahwa posisi rakyat selamanya termarginalisasi oleh praktek-praktek manipulatif dalam penentuan kebijakan-kebijakan politis. Rakyat selamanya menjadi pion yang gampang dikorbankan dalam suatu setting politik konflik. Tetapi juga yang dikendalikan dalam suatu setting politik perdamaian. Dalam kaitan ini perdamaian bukan merupakan suatu manifestasi moral yang jujur, bebas, dan berperi kemanusiaan. Sebaliknya perdamaian dikapling sebatas memenuhi target-target politik tertentu.

Pengkaplingan upaya perdamaian didalam dominasi pendekatan dan target politik, pada gilirannya memunculkan praktek-praktek manipulatif yang sangat kotor dan cenderung bebas nilai. Penanganan pengungsi umpamanya berselimutkan jubah korupsi dan pengebirian hak-hak pengungsi. Beras-beras jatah pengungsi diperdagangkan oleh mafia Satkorlak Provinsi berlangsung marak sampai ke wilayah-wilayah kecamatan. Pembangunan kembali rumah-rumah (tepatnya 'kandang') para pengungsi dikebiri dikebiri milyaran rupiah oleh para pejabat dinas terkait, sampai pada para kontraktor di lapangan. Korupsi merajalela seperti penyakit menular di setiap alur bantuan penanganan pengungsi, serta pembangunan kembali Maluku pasca konflik. Semua hal ini telah menjadi sebuah realitas jamak yang diketahui (dan cenderung diterima) publik. Dan rakyat tak menuntut !. Mereka telah terbiasa menerima dirinya sebagai korban. Bahkan berulangkali menjadi korban ganda. Dan dimanapun juga korban cenderung tak memiliki posisi tawar. Bahkan posisi tawar terhadap hak-hak dasar yang melekat pada kemanusiaannya. Sementara para pejabat terkait keasyikan menggelembungkan rekening pribadinya dengan milyaran rupiah dana pengungsi (yang katanya 'dititipkan'), sambil bermain judi di ruang-ruang ber-AC, dan menyetubuhi perempuan lacur dalam setiap kesempatan ke Jakarta (yang katanya 'mengurus nasib pengungsi'). Semuanya mungkin dan sangat mungkin berlangsung, karena memang sejak awal upaya perdamaian dan penanggulangan telah tergiring di atas track politik kotor, yang cenderung menegasi norma-norma moral sebagai sebuah common ground morality. Sehingga semua orang merasa bebas meraup keuntungan politik yang kerap sangat berhimpitan dengan keuntungan ekonomis.

Runtuhnya moralitas para pemimpin dalam upaya bersama penanggulangan konflik, ternyata menyeret hancurnya moral publik secara bertahap. Penyakit-penyakit sosial khas daerah konflik berkembang marak disudut-sudut kota. Pelacuran terselubung misalnya menjadi fenomena yang membuat miris setiap orang yang mencoba untuk mengamatinya dari dekat. Tak aneh jika ditemukan pengemudi becak atau ojek motor yang dibekali mobile phone oleh para germo, untuk mencari dan mengantar jemput para wanita panggilan. Wanita muda belia penjaja cinta yang berterbaran bak kunang-kunang di waktu malam, kebanyakan datang dari komunitas pengungsi yang memang terpuruk karena nasibnya serba tak pasti. Ironis memang bahwa keterpurukan telah menggiring mereka untuk memasuki geliat perdagangan gelap, dengan menggunakan tubuhnya sebagai alat tukar bagi selembar atau dua lembar pecahan lima puluh ribuan. Sementara itu bisnis persetubuhan gelap iring beriring dengan maraknya distribusi dan penggunaan narkotik serta obat-obatan aditif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa diruang-ruang karaoke beberapa hotel pesta narkoba kerap berlangsung, dengan melibatkan para pejabat kota ini sebagai peserta. Beberapa eksekutif publik maupun anggota legislatif provinsi diketahui sebagai pelanggan tetap pesta ini. Dan orang toh tak lagi peduli, karena demoralitas cenderung diterima sebagai karakter masyarakat di wilayah konflik.

BERSAMBUNG

MASARIKU NETWORK AMBON
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/kesui2001
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044