MASARIKU UPDATE 29 Des 02
Seputar Natal 2002
Dear All,
Pada tanggal 24 Desember tengah malam, mobile phone kami diberodong SMS
berisikan ucapan selamat Natal. Beberapa diantaranya dikirim oleh teman-teman
Muslim di daerah Waihaong dan Galunggung, dengan kata-kata yang sangat
simpatik. 'Selamat Natal…, Semoga TerangNya memberi Damai dan Kekuatan Untuk
Menatap Masa Depan Maluku yang Lebih Baik' demikian redaksi salah satu SMS
yang kami terima dari daerah Galunggung. Sempat terlintas pikir, berpura-purakah
mereka untuk mengirimkan ucapan selamat Natal, setelah pada tahun-tahun
sebelumnya ucapan demikian seakan-akan diharamkan untuk dikatakan.
Berpura-purakah mereka, mengingat bahwa MUI dan Muhamadiyah pernah
mengeluarkan seruan untuk tidak memberi ucapan selamat Natal dan mengikuti
perayaan-perayaan Natal. Ataukah memang ucapan-ucapan ini bertendensi politis,
ditengah situasi konflik dimana orang sudah khatam dengan segala sesuatu yang
dipolitisir. Namun kembali kami berpikir, mungkinkah segala kepura-puraan dan
politisasi ucapan selamat Natal dialamatkan kepada kami. Orang dari segmen
masyarakat biasa, yang tak memiliki otoritas untuk mengalokasikan pembagian
proyek penanganan dampak kerusuhan. Pun juga tanpa akses untuk menentukan
posisi tawar jabatan-jabatan politis yang menjadi rebutan saat ini. Mungkinkah
ucapan selamat Natal dialamatkan kepada seorang pendeta, yang tergolong pada
kelompok yang paling dimusuhi oleh banyak komunitas Muslim selama
berlangsungnya konflik. Di tengah semua kemungkinan itu, kami lalu memutuskan
untuk tidak perlu membalas ucapan-ucapan tersebut. Biarlah ucapan-ucapan itu
menemukan maknanya di dalam proses interaksi yang lebih teruji.
Tanggal 24 berlalu tepat jam 24.00 tengah malam. Kami memasuki Natal dengan
perasaan sangat damai. Tak terdengar bunyi tembakan, ataupun banyak dentuman
bom dan tembakan mortir, sebagaimana yang biasanya terjadi pada suasana Natal di
tahun-tahun sebelumnya. Keluarga-keluarga Kristen beribadah dengan khusyuk dan
kemudian saling memberi selamat. Kidung-kidung Natal terdengar disetiap sudut
pemukiman Kristen. Sementara di bukit-bukit yang mengelilingi kota ataupun
puncak-puncak gedung bertingkat, berdiri megah pohon-pohon Natal berukuran besar
dengan ribuan warna lampu yang menjadi penghias wajah malam. Lampion-lampion
berwarna-warni bergelantungan disudut-sudut kota menerangi grafiti-grafiti natal sejuta
warna. Kreasi natal telah kembali. Ekspresi kreatifitas yang dinamis khas warga
Ambon setiap tibanya Natal. Dan malam itu tak ada ketakutan, terhadap datangnya
serangan dadakan. Atau kekhawatiran untuk tiba-tiba mengangkat kopor dan
mengungsi. Bukan karena banyaknya aparat keamanan yang digelar di seluruh kota.
Ataupun karena barikade berduri dipasang menyekat pemukiman Kristen dan Muslim.
Tetapi karena rasa percaya mulai terbangun. Rasa percaya yang lahir dari kejenuhan
akan dinamika konflik yang menguras air mata bertahun-tahun. Rasa percaya yang
lahir dari suatu pertumbuhan kesadaran baru. Untuk memaknai diri bersama sebagai
korban, dari sebuah proses manipulasi agama demi tujuan-tujuan politik sempit. Dan
rasa percaya yang mungkin terbangun, ketika para pedagang Muslim ramai menjual
berbagai jenis pohon Natal. Serta memutar semarak lagu-lagu Natal di Ambon Plaza,
dengan tujuan menarik minat pengunjung Kristen, yang menyemut masuk untuk
berbelanja. Tanpa lagi berpikir bahwa inilah daerah terlarang selama masa-masa
panasnya konflik.
Tanggal 25 Desember selepas ibadah pagi, orang mulai ramai saling mengunjungi.
Barikade-barikade jalan kembali dibuka, sekalipun aparat keamanan tetap siaga. Dari
gereja kami mencoba mengitari kota, untuk meresapi kebebasan ekspresi Natal
warga Ambon. Disepanjang jalan raya Pattimura kami berpapasan dengan sejumlah
ibu berkerudung, yang berjalan iring beriring dengan anak-anak dan suami mereka.
Tak sulit untuk menduga bahwa mereka merupakan sebagian dari warga Muslim,
yang sedang mengunjungi para kerabat Kristen untuk menyampaikan selamat Natal.
Jalan mereka bergegas karena rintik hujan mulai turun. Namun wajah mereka
sumringah penuh senyum. Tak nampak raut cemas ataupun ketakutan untuk
menjalani daerah-daerah pemukiman Kristen. Karena mungkin rasa percayapun mulai
tumbuh, yang dibahasakan lewat kunjungan selamat Natal. Satu yang pasti bahwa
mereka orang-orang kecil, dari segmen masyarakat biasa. Kelompok rakyat jelata
yang mengusung ketulusan untuk menyampaikan selamat Natal, tanpa tendensi
politis ataupun ekonomis. Sebuah ekspresi kemanusiaan universal, untuk merajut
ulang relasi-relasi sosial yang telah hancur. Dan bukankah Natal bermakna
universal?. Penghampiran Allah dengan wajah marginal. Bermula dari penyapaan
terhadap komunitas pinggiran. Kemudian menggaung menembusi batas-batas suku,
ras, strata sosial, dan bahkan batas-batas keberagamaan sekalipun.
Kami kembali ke rumah menjelang jam 13.00. Saat dimana jalanan semakin penuh
dengan hilir mudik orang yang saling mengunjungi. Kami memasuki rumah seiring
berhentinya tiga buah mobil tepat di depan rumah. Dari mobil turun teman-teman
Muslim dengan wajah penuh keakraban, sambil menyalami kami satu persatu.
Beberapa diantaranya kami kenali yang mengirimkan SMS pada tanggal 24 tengah
malam. Ternyata SMS bukan sebuah bentuk kamuflase, untuk menyembunyikan
ketidak beranian penyampaian selamat Natal secara langsung. Siang itu Natal
menjadi sangat berarti untuk membingkai sebuah relasi yang hampir terputus akibat
konflik. Didalam bingkai Natal kami bercerita banyak tentang bentuk-bentuk
manipulasi yang terjadi pada setiap kelompok selama konflik. Tentang bagaimana
kelompok Coker yang disusupi Kopasus. Tentang bagaimana Laskar Jihad
bertopengkan agama. Tentang bagaimana pemaksaan penggunaan cadar yang
ditolak banyak wanita muslim lokal. Dan bahkan tentang keyakinan bersama untuk
menjadi lebih kuat sebagai orang Maluku pasca konflik. Namun diujung pertemuan
yang diwarnai begitu banyak kata manis, masing-masing kami menyimpan luka batin
yang dalam. Menyadari bahwa kami harus pulang ke wilayah masing-masing, dan
kembali hidup tersegregasi. Dalam penantian panjang untuk hidup berbaur, sambil
merobohkan tembok-tembok segregasi. Yang membentang kokoh menyekat wilayah,
maupun pikiran masing-masing. Setidaknya Natal telah membingkai stand point yang
sama, bahwa kami membutuhkan hidup berdampingan.
MASARIKU NETWORK AMBON
|