Media Indonesia, Minggu, 19 Januari 2003
'Negara Harus Netral terhadap Semua Agama'
PADA 1-12 Januari lalu, Profesor Dr Abdullah Ahmed An-Na'im berkunjung ke
Indonesia atas undangan Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarief Hidayatullah, Jakarta, bekerja sama dengan Ford Foundation. Selama di
Indonesia, profesor hukum dari Emory University, Atlanta, Georgia, AS, itu berkunjung
ke Jakarta, Medan, dan Yogyakarta, untuk suatu studi tentang kedermawanan sosial
dalam Islam dan kontribusinya bagi keadilan dan penguatan masyarakat sipil.
Di Indonesia, An-Na'im lebih dikenal sebagai pemikir Islam. Bukunya, Dekonstruksi
Syariah, terbitan LKiS Yogyakarta, cukup populer di Indonesia. Lebih dari itu, pemikir
asal Sudan ini juga adalah ahli hak asasi manusia. Tak heran bila ia cukup fasih
bicara tentang hak-hak bagi masyarakat sipil, dipadukan dengan perspektif agama.
Bertempat di Hotel Ambara, Jakarta, 5 Januari lalu, wartawan Media Refly Harun
menemui bapak tiga putra itu untuk suatu wawancara khusus. Berikut petikannya.
Apa pendapat Anda terhadap rencana serangan AS terhadap Irak, yang sepertinya
tinggal menunggu waktu?
Masyarakat AS tidak cukup tahu mengenai politik luar negeri AS. Karena itu, tidak
cukup banyak protes terhadap rencana serangan AS terhadap Irak. Pemrotes itu
masih minoritas. Kalau mereka sudah menjadi mayoritas, saya kira pemerintah AS
akan mendengarkan mereka. Harus ada mayoritas masyarakat yang menyatakan
tidak terhadap rencana itu, tapi hingga sekarang mereka masih minoritas.
Bukankah ada banyak demonstrasi yang menentang rencana itu, seperti yang kita
lihat dari pemberitaan-pemberitaan selama ini?
Yang Anda lihat adalah para demonstrasi yang menentang rencana serangan itu.
Tapi, Anda tidak melihat mereka yang tidak di sana. Demonstrasi yang ada sekarang
tidak sebanyak demonstrasi ketika menentang perang Vietnam misalnya. Ya, kita
memang sudah memiliki permulaan yang baik, yaitu ada demonstrasi, tapi jumlah
dan frekuensinya belum cukup untuk memengaruhi kebijakan AS. Yang kita butuhkan
adalah lebih banyak lagi protes dan demonstrasi.
Mungkin ada cara terbaik untuk menyelesaikan konflik di Timur Tengah dari sudut
pandang AS, terutama dalam penyelesaian masalah Palestina?
Ini masalah besar. Perspektif AS telah bias karena informasi yang mereka terima.
Mereka memandang negatif dunia Arab, dan dalam jangka waktu bersamaan bersikap
positif terhadap Israel. Mereka menganggap Israel sebagai korban dari pola kekerasan
Palestina atau Arab, misalnya fenomena bom bunuh diri.
Tapi, mengapa AS tidak mau menyelesaikan soal ini, karena mereka memandang
Israel adalah sekutu yang paling setia di kawasan itu. Padahal, saya berpendapat,
tidak ada perdamaian tanpa keadilan bagi rakyat Palestina. Rakyat Palestina harus
diberi hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka harus diberi hak untuk
memiliki negara sendiri. Tanpa itu tidak akan ada perdamaian. Karena itu, kita
membutuhkan lebih banyak propaganda untuk Palestina, bukan dengan kekerasan,
untuk mengubah perspektif dunia.
Bukankah masalah dunia Islam tidak hanya Palestina, masih ada Chechnya atau
Moro di Filipina Selatan?
Betul, itu memang masalah. Tetapi, sesungguhnya tidak hanya itu masalah dunia
Islam. Kemiskinan, keadilan, instabilitas politik juga adalah masalah. Tetapi, kita
tidak boleh menganggap itu persoalan muslim sendiri. Kita harus bekerja sama
dengan mereka yang memiliki problem serupa meskipun berbeda agama. Jadi, kita
memerlukan solidaritas di antara berbagai umat beragama. Harus ada kerja sama di
antara umat beragama ketimbang hanya fokus pada permasalahan diri sendiri.
Masalah Chechnya, ya. Bosnia, ya. Tetapi, pendekatan kita bukan kita muslim
berhadapan dengan umat lain. Tetapi, kita umat manusia ingin menegakkan keadilan.
Siapa pun kita.
Apakah relevan bicara tentang negara Islam saat ini seperti yang kerap disuarakan
berbagai kalangan?
Negara adalah suatu yang terorganisasi. Rakyat dari berbagai agama hidup di
dalamnya. Maka seharusnya negara tidak berdasarkan atas agama tertentu. Semua
rakyat harus diperlakukan sama. Namun, itu tidak berarti agama tidak relevan. Karena
agama dibutuhkan bagi banyak orang. Mereka melakukan banyak hal karena
dukungan agama. Jika agama hanya menghidupkan elemen radikal dalam negara,
agama memang tidak relevan untuk diadopsi negara. Negara memang tidak
seharusnya mempromosikan atau cenderung pada agama tertentu. Negara harus
bersikap netral sejauh berhubungan dengan agama. Secara politik dan sosial agama
memang sangat penting. Rakyat akan dipengaruhi oleh ajaran agama mereka.
Apakah ada cukup ruang bagi orang Islam untuk menjalankan ibadahnya di AS?
Ya, sepanjang mengenai agama, AS sangat memberikan ruang. Tidak hanya muslim,
melainkan juga rakyat dari berbagai agama lain. Karena negara sama sekali otonom
atau netral terhadap semua agama, apakah itu Islam atau Kristen.
Tetapi, selama ini tidak ada menteri atau penjabat tinggi negara yang berasal dari
kalangan Islam?
Itu masalah demografis. Karena jumlah umat Islam begitu kecil dan tidak cukup suara
untuk mendudukkan mereka dalam pemerintahan. Saya beri contoh, sepanjang
sejarah AS, hanya ada satu presiden yang berasal dari Katolik, yaitu John F
Kennedy. Tidak ada presiden dan wakil presiden yang berasal dari kalangan Yahudi,
demikian pula dari kalangan kulit hitam. Penunjukan Collin Powel sebagai Menteri
Luar Negeri (state secretary) adalah kejadian yang pertama. Ini realitas AS.
Apakah itu demokratis?
Ya, dalam pengertian apa yang rakyat pilih. Tetapi, ini tentu tidak baik karena
minoritas tidak cukup memiliki ruang untuk memengaruhi kebijakan negara. Ini
betul-betul problem AS. Namun, hal yang sama juga berlaku di negara-negara Islam,
seperti Iran, Irak, Maroko, Arab Saudi, Aljazair, dan Sudan. Golongan lain tidak cukup
terwakili dalam negara.
Bukankah presiden bisa menunjuk satu atau dua menteri dari golongan Islam?
Pertanyaannya apakah golongan Islam memiliki persatuan, sehingga mampu
mendesakkan keinginan mereka dan bisa diperhatikan para politikus. Selain itu
jabatan menteri terbatas jumlahnya. Seandainya golongan muslim bersatu dalam
pemilihan misalnya, maka mereka dapat memengaruhi presiden. Jika tidak, adalah
dukungan yang terorganisasi dari masyarakat muslim, presiden tentunya tidak
memiliki keuntungan untuk mempertimbangkan suara mereka. Sejauh ini tidak ada
dukungan yang terorganisasi dari masyarakat muslim di AS.
Apakah ada restriksi, sehingga mereka tidak bisa tumbuh menjadi organisasi yang
kuat?
No, tidak ada. Tidak ada restriksi bagi muslim untuk membentuk organisasi yang
kuat. Mereka bahkan berlaku rasis terhadap golongan mereka sendiri. Misalnya,
muslim dari Timur Tengah tidak mau campur dengan muslim dari Afrika. Tidak ada
perkawinan di antara wanita muslim dari Timur Tengah dengan pria dari muslim Afrika
misalnya. Ya, memang tidak bisa digeneralisasi, tetapi sepanjang pengamatan saya
memang ada social separation di antara mereka. Jadi, tidak hanya antara golongan
kulit putih dan muslim AS, melainkan di antara orang-orang muslim itu sendiri.
Berapa jumlah muslim di AS?
Saya kira kurang dari satu persen. Atau lima juta dari 270 juta warga AS. Anda tidak
bisa ikut pemilu dengan mengatakan, 'Pilih saya karena saya muslim.' Tetapi, 'pilih
saya karena saya bisa membangun komunitas kita, entah itu muslim, yahudi, atau
katolik'.
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar, sekaligus salah satu
negara yang paling korup di dunia. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?
Ya, saya kira ini manusiawi di mana pun. Kita percaya bahwa agama kita tidak
mengajarkan itu, tapi perilaku kita mengarah ke sana. Jadi, sebelum kita
menyalahkan orang lain, marilah kita bersikap kritis terhadap diri sendiri. Sebagai
contoh tentang rasisme tadi. Kita tidak bisa menyalahkan bangsa kulit putih yang
bersikap rasis, kalau kita sendiri juga melakukan hal yang sama. Misalnya Indonesia,
Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak suku bangsa dengan tingkat
ketegangan yang cukup tinggi. Tetapi, dibandingkan dengan negara-negara lain,
Indonesia sebenarnya lebih baik. Tensi di sini tidak setinggi di tempat lain. Tetapi,
dalam jangka waktu bersamaan, jika Indonesia sudah puas dengan diri sendiri, itu
akan menjadi masalah.
--------------
Biodata:
Nama : Abdullah Ahmed An-Na'im
Pekerjaan: Profesor Hukum di Emory University, Atlanta, Georgia, AS Pendidikan:
- LLB (honours) dari University of Khartoum, Sudan;
- LLB (honours) dan diploma dalam bidang kriminologi dari University of Cambridge,
Inggris
- PhD dalam bidang hukum dari University of Edinburgh, Skotlandia.
Buku:
- Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law
(Syracuse: Syracuse University Press, 1990);
- Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship?, editor bersama
Jerald D Gort, Henry Jansen, dan Hendrik M Vroom (Grand Rapids: Eerdmans
Publishing, 1995);
- Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus (Philadelphia,
PA: University of Pennsylvania Press, 1992);
- Human Rights in Africa: Cross-Cultural Perspectives, bersama Francis M Deng
(Washington, DC: Brookings Institution, 1990);
- The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (in Arabic) (Cairo: Ibn
Khaldun Center for Developmental Studies, 1994);
- Universal Rights, Local Remedies: Legal Protection of Human Rights under the
Constitutions of African Countries (London, Interights, 1999);
- Proselytization and Communal Self-Determination in Africa (Maryknoll, NY: Oribis
Books, 2000);
- Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book s. (London, UK:
Zed Books, 2002);
- Cultural Transformation and Human Rights in Africa (London, UK: Zed Books, 2002).
Copyright © 1999-2002 Media Indonesia. All rights reserved.
|