SINAR HARAPAN, Selasa, 14 Januari 2003
Misteri Perdamaian di Poso
POSO – Presiden Megawati Soekarnoputri menurut jadwal Rabu (15/1) akan ke
Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Di sanalah dipusatkan peringatan Hari
Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) tahun 2003. Pemerintah memilih Poso
sebagai puncak peringatan itu, dimaksudkan untuk meningkatkan persatuan
masyarakat di daerah yang dilanda konflik selama empat tahun itu, sekaligus
menjauhkan sikap permusuhan. Dengan demi-kian diharapkan akan tercipta
perdamaian yang abadi di masyarakat.
Kehadiran Presiden Megawati di Poso sangat berarti bagi masyarakat setempat,
sebab Presiden bukan hanya sekadar menghadiri peringatan HKSN, tetapi juga
dirangkaikan dengan penandatanganan pesan-pesan perdamaian di atas prasasti
yang nantinya dipampang pada sebuah monumen yang dibangun di tengah Kota
Poso. Itu pula sebabnya — meski Presiden hanya berkunjung sekitar satu jam di
Poso — masyarakat sangat menantikannya. Mereka berharap, pesan-pesan
perdamaian tersebut akan menjadi awal dari berakhirnya semua bentuk kekerasan di
bumi "Sintuwu Maroso".
Tanah Poso yang awalnya dikenal sebagai daerah tentram dan damai dicabik-cabik
konflik antara pemeluk agama Islam dan Kristen. Kedua agama itu, yang
mengajarkan perdamaian, persaudaraan, cinta kasih, dan toleransi, seperti
kehilangan roh. Atas nama agama, orang saling menebar fitnah, menyerang,
membakar, menjarah dan membunuh. Akhirnya tidak bisa dipungkiri, konflik terlihat
sebagai konflik agama.
Konflik yang meletus 24 Desember 1998 itu, akhirnya diikuti dengan pertikaian
lainnya yang susul menyusul. Konflik sosial antarwarga yang berbeda agama dan
etnis itu, akhirnya terpetakan bagai suatu adegan teateral, dari babak satu berpindah
babak yang lain. Dari situlah konflik mengakar hingga di penghujung tahun 2001, yang
kemudian menggiring tanah Poso dalam lingkaran konflik yang berdarah dan mubazir.
Di tengah sesi-sesi pertikaian itu, berbagai upaya sudah dilakukan untuk meredam
amarah dari masing-masing kelompok yang bertikai. Tetapi mengapa konflik itu tetap
saja masih langgeng sampai empat tahun? Kemudian muncul pula pertanyaan,
apakah langkah Pemerintah Kabupaten Poso dalam merawat perdamaian? Apakah
para pejabat setempat dapat mencium sengatan titik api konflik yang selama ini
menjungkirbalikkan sistem sosial di Poso?
Bila ditelusuri lebih jauh, ada kesan kuat negara hanya mengurusi Poso kalau
eskalasi konflik di daerah itu tengah berkecamuk. Dan, di saat suasana Poso lagi
adem ayem, pemerintah kembali ke pekerjaan rutinitasnya, seakan konflik Poso
sudah selesai dan tutup buku. Padahal, kalau mau dirunut sepanjang pasca Deklarasi
Malino, boleh dibilang letupan-letupan yang terjadi di kabupaten penghasil kayu hitam
itu, mulanya terkategori kriminal murni. Namun modus dari aksi-aksi kekerasan dan
teror yang terjadi tidak mungkin dikatakan kriminal murni.
mendapat reaksi
Misalnya, letupan yang paling besar terjadi 28 Mei 2002. Sebuah bom rakitan
diledakkan di Pasar Sentral Poso. Dan, yang paling dahsyat terjadi 5 Juni 2002, lalu
terjadi pula peledakan bom di sebuah bus umum, PO Antariksa jurusan Palu
—Tentena. Bom itu meledak di dalam mobil di pinggiran Kota Poso, tepatnya di Desa Toini,
Kecamatan Poso Pesisir. Peledakan bom itu menewaskan lima warga sipil dan
melukai 16 penumpang lainnya. Peristiwa ini langsung mendapat reaksi dari petinggi
di Jakarta. Menko Kesra HM Jusuf Kalla, misalnya, merasa heran dan kecewa
dengan masih adanya ledakan-ledakan bom di Poso.
Yang menarik, eskalasi kekerasan itu meningkat, justru bertepatan dengan saat
pasukan keamanan dari TNI dan Polri siap untuk ditarik kembali ke kesatuannya
masing-masing. Tugas mereka berakhir enam bulan setelah dicetuskan Deklarasi
Malino, 20 Desember 2001. Detik-detik terakhir pasukan keamanan ditarik, di Kota
Poso dan beberapa tempat lainnya mulai lagi terjadi aksi-aksi teror meski masih
kecil-kecilan.
Misalnya, munculnya tulisan-tulisan pada tembok-tembok rumah warga. Ada tulisan
yang bernunyi; "Kedatanganmu Adalah Kematianmu". Atau aksara lainnya yang
tertulis; Tinggal Sebulan Lagi Torang (kita) Bersaudara".
Tulisan-tulisan itu tidak jelas siapa yang melakukannya. Namun yang pasti,
coretan-coretan itu adalah sebuah teror, yang tertuju kepada para pengungsi dan
warga Poso, baik yang beragama Islam maupun beragama Kristen yang siap-siap
kembali ke Poso. Karena kondisi itulah, Bupati Poso, Abd Muin Pusadan akhirnya
meminta pasukan tambahan, baik dari TNI maupun Polri untuk kembali menjaga
keamanan pasca Deklarasi Malino. Dan, penambahan pasukan keamanan itu,
memang mendapat restu dari Panglima TNI maupun Kapolri.
Sedangkan Wakil Bupati Poso, Abd Malik Syahadat selaku Ketua Kelompok Kerja
(Pokja) Rekonsiliasi konflik Poso melaporkan sejak Januari - Juni 2002, kegiatan
untuk mensosialisasikan Deklarasi Malino sudah menghabiskan dana Rp 2,2 miliar.
Sebuah angka yang cukup bombastis. Biaya sebesar itu digunakan untuk
transportasi tim Pokja ke kecamatan-kecamatan dan desa-desa untuk
mensosialisasikan Deklarasi Malino serta biaya operasional Sekretariat Pokja Poso.
Dana itu masih di luar anggaran untuk biaya operasional keamanan yang dilakukan
TNI dan Polri di Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali yang terimbas dampak
konflik.
Ketika terjadi teror bom yang meledak di beberapa mobil angkutan umum jurusan
Palu - Poso, terjadi pula aksi-aksi penembakan misterius di beberapa sudut desa di
pinggiran Kota Poso. Aksi penembak misterius itu, sempat mengundang perhatian
dunia internasional setelah tewasnya seorang turis warga Italia, Lorenzo Taddey, 9
Agustus 2002 di Desa Mayoa, Kecamatan Pamona Selatan. Turis itu terkena tembak
di bagian punggung kirinya saat mobil yang ditumpanginya, bus Batutumongga
melintas di kawasan Pendolo. Korban paling terakhir terjadi di sekitar Pasar Sentral
Poso, 26 September 2002. Lokasinya tidak jauh dari Mapolres Poso.
Sosialisasi isi Deklarasi Malino yang menghabiskan dana miliaran rupiah itu, seakan
tidak berarti apa-apa. Apalagi untuk meredam aksi-aksi yang dilakukan
kelompok-kelompok yang terkategori sangat misterius. Inilah yang menjadi
pertanyaan besar bagi masyarakat Poso pasca Deklarasi Malino. Beberapa kasus
penembakan misterius dan penyerangan-penyerangan bersenjata di beberapa desa
pinggiran Kota Poso tidak pernah terdeteksi aparat keamanan. Sampai sekarang pun,
tidak diketahui siapa penembak misterius itu.
Malahan, sebuah aksi penyerangan bersenjata yang tergolong sangat terbuka di Desa
Matako dini hari 4 Agustus 2002, juga tidak teridentifikasi siapa pelakunya. Padahal,
di desa itu sudah ditempatkan aparat TNI maupun Polri. Pasukan penjaga keamanan
itu tidak bisa berbuat banyak untuk mengejar para penyerang. Alasan klasik dari
petugas, sulit untuk mengidentifikasi pelakunya karena warga melakukan gerakan
tutup mulut. Sebab, bila mereka buka mulut ke petugas, nyawa pelapor pun terancam
melayang.
Dari Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia
(LPS-HAM) Sulawesi Tengah mengeluarkan angka statistik korban kekerasan pasca
Deklarasi Malino I. Untuk wilayah Poso, 23 orang tewas secara tidak wajar, termasuk
delapan orang meninggal saat terjadinya penyerangan di Desa Sepe dan Silanca
serta empat orang meninggal di Desa Mayumba, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten
Morowali.
Data lainnya juga menunjukkan terdapat 37 rumah di Desa Matako dibakar, 21 rusak
berat, 16 rusak ringan. Di Desa Tagolu dan Poso Kota masing-masing satu rumah
dibom. Sedangkan 40 rumah tinggal sementara (RTS), 17 buah di Desa Malitu dan 20
RTS yang dihuni pengungsi musnah dibakar. Di Desa Sepe dan Silanca juga terdapat
400 rumah musnah dibakar. Dan, lagi-lagi aksi pembakaran maupun penyerangan di
beberapa daerah itu, pelakunya tidak mampu dideteksi pihak keamanan.
Akibatnya masyarakat Poso menjadi bingung. Kondisi bingung itu semakin
memuncak ketika di Desa Matako, yang warganya telah terjadi pembauran antara
Muslim dan Kristen, juga tidak luput dari sasaran penyerangan. Padahal, penjagaan
keamanan di Poso pasca Deklarasi Malino terbilang sangat ketat. Dan, 27 Juli 2002,
sebanyak 12 anggota Kopassus diturunkan ke Poso, enam orang ditempatkan di
Poso dan enam lainnya ditempatkan di Tentena. Tetapi kehadiran anggota pasukan
elite TNI itu tidak pula mampu meredam letupan-letupan di sana-sini.
Kondisi gawat itu seakan memaksa petinggi Jakarta kembali melakukan pertemuan
dengan para deklarator Malino di Palu Golden Hotel, 9-12 Agustus 2002. Yang
menarik, ketika para deklarator bersiap-siap menandatangani hasil-hasil evaluasi,
sebuah mobil PO Alugoro di Terminal Tentena dibakar massa. Bahkan, belum kering
tinta para deklarator Malino I itu meneken hasil evaluasi keamanan di Poso, lima jam
kemudian Desa Sepe, Silanca dan Batugencu kembali dibumihanguskan orang-orang
yang tidak dikenal. Ratusan aparat keamanan yang diturunkan ke sana, tidak
seorang pun yang mampu menangkap pelakunya.
Meskipun 10 butir isi Deklarasi Malino sudah disepakati kelompok Islam dan Kristen,
bukan berarti kehidupan sosial antarwarga di Poso dijamin aman. Belum lagi, seperti
yang dikatakan seorang anggota DPRD Sulteng, Nawawi Sang Kilat, ada kesan over
acting dari pihak aparat keamanan yang kerap kali mudah memancing reaksi balik
dari masyarakat untuk melawan. Pada 22 Oktober lalu misalnya, beberapa anggota
Brimob Polda Sulawesi Tenggara yang ditugaskan di Desa Matako, Kabupaten Poso,
menghajar seorang pemuda berusia 19 tahun, Farid Lasampe.
Meski pun kerap kali terjadi letupan-letupan, sejak hari raya Idul Fitri, Natal dan Tahun
Baru 2003, kondisi Poso sudah semakin kondusif. Tidak ada lagi letupan-letupan
yang terjadi. Harmoni sosial masyarakat Poso semakin terlihat. Mobil-mobil angkutan
umum sudah tampak lalu lalang, melintas bebas tanpa adalagi rasa ketakutan.
Warga juga tidak lagi merasa takut bekerja di kebunnya. Aktivitas keseharian warga
sudah kembali normal seperti semula. Pendek kata, segala sendi kehidupan
masyarakat mulai berjalan normal.
Yang mencerminkan kalau konflik Poso belum berakhir, karena masih banyaknya
dijumpai pos penjagaan di beberapa tempat. Apalagi, pos pengamanan di Desa
Tumora, Poso Pesisir, semua mobil angkutan umum maupun pribadi yang melintas di
desa itu, harus diperiksa isinya, termasuk para penumpangnya yang harus
menujukkan KTP atau tanda pengenal lainnya. Tetapi petugas keamanan
mengatakan, itu adalah sebuah standar pengamanan di wilayah konflik.
Menurut Malik Sjahadat, kondisi Poso sekarang yang semakin membaik, merupakan
modal besar untuk kembali merajut perdamaian di Kabupaten Poso. Meski begitu,
pemerintah setempat masih sangat membutuhkan kehadiran aparat keamanan.
Untungnya, Kapolri memberi restu permintaan masa perpanjangan enam bulan
kepada pasukan keamanan dari kepolisian di Poso, sampai dengan Juni 2003. Sebab
sampai sekarang, kata Malik, masih banyak program pemerintah yang belum dapat
diselesaikan dan membutuhkan pendampingan dari kepolisian. Misalnya,
pembangunan RTS untuk pengungsi, pengamanan dalam menangani pengungsi yang
kembali serta pelatihan-pelatihan kamtibmas.
Karena kondisi yang semakin membaik itulah, kata Malik, masyarakat Poso
benar-benar memanfaatkan kunjungan Presiden Megawati sebagai momentum yang
sangat berharga. Berbeda dengan kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid (ketika
itu) yang hanya dihadiri orang-orang tertentu, sekarang dihadirkan semua strata,
mulai dari lapisan paling bawah sampai tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat
untuk bersama-sama hadir mendengarkan langsung pesan-pesan perdamaian yang
akan diberikan Presiden Megawati.
"Masyarakat Poso sebenarnya sudah lelah bertikai. Semua pihak sangat
mendambakan kehidupan yang damai, namun ada kelompok yang entah dari mana
yang masih selalu melakukan bentuk kekerasan. Itulah yang akan diperangi bersama
oleh masyarakat," kata Malik Sjahadat.
Kunjungan Presiden Megawati itu, juga dinilainya sebagai awal dari kebangkitan
kembali masyarakat Poso. Selain memiliki hikmah untuk merajut perdamaian, juga
memiliki filosofi, masyarakat bersama-sama pemerintah kembali membangun
kehidupan yang lebih baik. Makanya, perlu dibangun fasilitas pendidikan,
menumbuhkan ekonomi kerakyatan dan bidang-bidang lainnya untuk menyongsong
kehidupan masa depan yang lebih baik.(SH/Tasman Banto)
Copyright © Sinar Harapan 2002
|