SINAR HARAPAN, Senin, 20 Januari 2003
Kejaksaan Akan Paksa Manuputty ke Jakarta
Jakarta, Sinar Harapan
Kejaksaan akan melakukan upaya paksa terhadap terdakwa kasus dugaan makar,
Alexander Hermanus Manuputty dan Semuel Waelerruny (Semy), agar yang
bersangkutan menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Upaya tersebut akan dilakukan apabila para terdakwa telah dipanggil secara layak
sebanyak tiga kali, tetap tidak memenuhi panggilan sidang dan tidak memberikan
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Demikian diungkapkan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan
Agung (Kejagung) Antasari Azhar ketika dihubungi SH, Minggu (19/1) malam. "JPU
pasti akan mempelajari terlebih dahulu apa yang menjadi alasan para terdakwa tidak
bersedia memenuhi panggilan sidang dan akan melakukan pemanggilan kembali
sebanyak tiga kali. Akan tetapi, kalau alasan tersebut tidak dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum tentunya JPU dapat melakukan upaya paksa sesuai dengan
undang undang," ujarnya.
Menurutnya, meskipun saat ini Alex Manuputty dan Semy sudah bebas demi hukum
akan tetapi status mereka masih tetap terdakwa yang wajib mengikuti jalannya
persidangan. Ketidakhadiran Manuputty dalam persidangan lanjutan sebelum
permintaannya ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh dan
HAM) tersebut juga dibenarkan Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM) Jakarta Louis
Risakota ketika dihubungi SH secara terpisah.
Tunjangan Hidup
Para terdakwa beberapa waktu yang lalu meminta tunjangan hidup selama di Jakarta
kepada Menkeh dan HAM sekitar Rp 200 juta. Uang tersebut untuk menenuhi
kebutuhan para terdakwa selepas dirinya dibebaskan dari rumah tahanan (rutan)
Mabes Polri. Namun, permintaan tersebut sampai saat ini belum dikabulkan. Louis
mengatakan bahwa para terdakwa sebenarnya memiliki niat baik untuk mengikuti
persidangan di PN Jakarta Utara.
"Akan tetapi ini menyangkut masalah HAM terdakwa. Bagaimana mereka dapat hidup
di Jakarta apabila tidak ada uang. Soalnya, dia ada di Jakarta adalah untuk mengikuti
persidangan, bukan acara seminar. Untuk itu, mereka kembali ke Ambon untuk
berkumpul dengan keluarganya," paparnya.
Menurutnya, biaya para terdakwa selama di Jakarta memang selayaknya menjadi
tanggung jawab pemerintah, yakni Departemen Kehakiman. Pasalnya, para terdakwa
dibawa dari Ambon ke Jakarta berdasarkan surat penetapan Menkeham. Pada saat
itu, Menkeh dan HAM membuat keputusan memindahkan tempat persidangan
Manuputty dan Semy dari PN Ambon ke PN Jakarta Utara demi alasan keamanan.
"Jadi sudah layak kalau pemerintah harus membiayai kehidupan mereka meskipun
saat ini mereka sudah tidak ada di dalam tahanan," imbuhnya.
Sedangkan salah satu kuasa hukum terdakwa, Sahara Siahaan yang dihubungi
terpisah mengaku tidak tahu bahwa kliennya tidak bersedia menghadiri persidangan
lanjutan di Jakarta. "Saya tidak mendengar adanya kabar itu, justru saya tahu dari
Anda (SH,Red)," ujarnya.
Seperti diberitakan, Manuputty dan Semmy Waelerunny akan mengikuti sidang di PN
Jakarta Utara pada tanggal 27 Januari 2003. Namun kedua pimpinan FKM ini masih
ada di Ambon. Untuk itu mereka minta biayanya ditanggung negara. Pasalnya, masa
tahanan mereka sudah habis sejak tanggal 27 Desember 2002. Selama bebas dari
tahanan, Alex dan Semmy merasa berat soal biaya hidup di Jakarta tanpa
tanggungan negara. Itu sebabnya mereka mengirimkan surat dan mencoba menemui
Menkeh dan HAM awal Januari 2003.
Saat itu, Alex dan Semmy diterima Sekjen Depkeh dan HAM Hasanuddin. Ada 2 opsi
yang diajukan. Pertama, negara menanggung hidup selama di Jakarta. Kedua,
kembali ke Ambon dan bila akan digelar sidang, negara menanggung biaya
penginapan dan ongkos Ambon-Jakarta boak-balik.
Sementara itu, Kajati Maluku Badrani Rasyid sudah melayangkan surat kepada para
terdakwa yang isinya agar para terdakwa segera meninggalkan kota Ambon dalam
waktu sepuluh hari. Para terdakwa diminta untuk segera menghadap Kajari Jakarta
Utara guna melanjutkan proses sidang kasus yang didakwakan kepada mereka pada
tanggal 27 Januari 2003 mendatang. (ina)
Copyright © Sinar Harapan 2002
|