Majalah TEMPO, Edisi No. 43/XXXI/23 - 29 Desember 2002
OPINI
Tersangkut Jamaah Islamiyah?
Nama Sjafrie Sjamsoeddin ramai diberitakan media pekan-pekan ini. Pemicu
utamanya adalah laporan International Crisis Group, How the Jemaah Islamiyah
Terrorist Network Operates, yang beredar luas di masyarakat pada 11 Desember
2002. Dokumen lembaga nirlaba yang berpusat di Brussels, Belgia, itu menyinggung
adanya komunikasi intensif antara Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin dan seorang
tokoh Gerakan Aceh Merdeka. Yang membuatnya lebih menarik, sosok bernama
Fauzi Hasbi Geudong itu ternyata punya hubungan dengan sejumlah pemimpin
jaringan Jamaah Islamiyah. Maka, timbul berbagai spekulasi tentang adanya kaitan
antara Kepala Pusat Penerangan TNI itu dan Jamaah Islamiyah. Tudingan bahwa TNI
punya hubungan dengan organisasi yang secara resmi dinyatakan PBB sebagai
teroris itu pun langsung marak. Pertanyaannya kemudian: benarkah tuduhan itu?
Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin telah mencoba mengklarifikasi soal ini melalui sebuah
konferensi pers. Ia juga telah mengirimkan kuasa hukumnya menemui Sidney Jones,
pembuat laporan ICG, untuk menyatakan bantahan dan, jika dianggap perlu,
melayangkan gugatan hukum. Rupanya klarifikasi tertulis ICG, yang menyebutkan
adanya beberapa kekeliruan pengutipan oleh media massa dan disebarluaskan ke
khalayak luas, dianggap belum cukup. Kepada TEMPO, Sidney menyatakan
pihaknya tak keberatan mengedit laporan awalnya dengan mengubah kata
"komunikasi intensif" menjadi sekadar "komunikasi". Sedangkan dalam konferensi
pers, Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan kontaknya dengan Fauzi Hasbi
Geudong terakhir terjadi tahun 2000, yaitu ketika Hasbi ingin menulis buku dan
memerlukan keterangan dari perwira TNI yang menangkapnya di tahun 1977 itu. Fauzi
membenarkan keterangan bekas Panglima Kodam Jakarta tersebut.
Jika hanya itu soalnya, ribut-ribut tentang lulusan terbaik Akabri 1974 ini hanyalah
sensasi yang membuang-buang waktu saja. Namun, penelusuran majalah ini
menyimpulkan perkara ini tak sesederhana itu. Nomor telepon rumah Sjafrie muncul
di catatan pemakaian telepon saku Fauzi yang ditelisik polisi karena nomor telepon
Fauzi itu ternyata didapat di saku Akim, pelaku pengeboman Natal di Bandung yang
tewas oleh bomnya sendiri. Karena Akim diduga kuat adalah anggota jaringan
Jamaah Islamiyah, klarifikasi yang paling tepat untuk soal ini sepatutnya dilakukan
oleh lembaga yang profesional dan independen.
Ketika ditanya soal ini, Sjafrie mengaku tak mengenal Akim. Ia mungkin berkata jujur.
Tapi, karena latar belakang perwira yang dibesarkan di Komando Pasukan Khusus ini
penuh dengan misteri, pemerintah sepatutnya segera membuat penyelidikan khusus
untuk menuntaskannya. Orang ramai perlu diberi kejelasan apakah Jenderal Sjafrie
adalah seorang anggota komplotan jahat yang telah menjerumuskan TNI dan negeri
ini, dan karena itu harus dihukum, atau dia sebenarnya salah satu perwira terbaik TNI
yang terus-menerus dirundung sial karena berada di tempat yang salah pada waktu
yang keliru?
Coba simak perjalanan karier militer pria ganteng berusia 51 tahun ini. Awalnya
dimulai sebagai lulusan terbaik Akabri 1974, dan ia kemudian masuk Kopassus.
Setelah itu, anak Panglima Kodam di Makassar ini ikut dalam berbagai operasi
tempur dan intelijen di Timor Timur, Aceh, dan Papua. Ia menjadi komandan satuan
tugas intelijen di Timor Timur ketika terjadi tragedi Santa Cruz, 1991, dan menjadi
komandan satuan pengawal pribadi Presiden Soeharto ketika terjadi peristiwa
demonstrasi Dresden, Jerman, 1995. Namanya semakin dibicarakan orang ketika ia
diangkat menjadi Panglima Kodam Jakarta termuda, 15 September 1997. Namun,
enam bulan kemudian Jakarta dilanda huru-hara yang baru dapat diredam setelah
berlangsung tiga hari. Akibatnya, beredar berbagai isu miring mengenai dugaan
keterlibatan Jenderal Sjafrie dalam berbagai kejadian misterius seperti penembakan
mahasiswa di Trisakti, huru-hara Jakarta, dan penculikan aktivis mahasiswa.
Berbagai dugaan itu tak pernah dapat dituntaskan karena tak pernah dilakukan
investigasi yang menyeluruh mengenai hal ini. Sjafrie kemudian menjadi staf ahli di
Markas Besar TNI, tapi posisi ini tak membebaskannya dari berbagai cerita gelap. Ia
diisukan terlibat dalam operasi gelap di Aceh, Timor Timur, dan Papua. Dan kini,
setelah kontroversi penunjukannya sebagai Kepala Pusat Penerangan TNI mulai reda,
catatan kontaknya dengan tokoh GAM yang punya hubungan dengan Jamaah
Islamiyah dipertanyakan orang.
Pertanyaan ini harus segera dijawab dengan tuntas. Presiden Mega harus
memerintahkan Panglima TNI agar segera melakukan investigasi. Sebab, saat ini
hanya ada batas tipis yang membedakan apakah Jenderal Sjafrie seorang penjahat
ataukah sosok yang sial.
Copyright @ tempointeraktif
|